"Cium?" Ah, jantung Sinta jadi deg-degan, kan. Dia langsung ingat kejadian semalam. Tubuhnya panas dingin kayak orang kena tipes membayangkan bagaimana saat Dewangga mengecup bibir kecilnya yang manis.
"Kenapa? Gak mau nyium saya?" Duh! Suara Dewangga terdengar angkuh. Dingin. Padahal dia yang minta dicium, tetapi seolah-olah tak butuh. Dasar laki-laki sok jual mahal! Untung saja Sinta masih polos, jadi dia tidak berpikiran seperti itu terhadap calon suaminya.
"Bu—bukan begitu, Pak." Sinta cepat-cepat menimpali. Bukannya dia tidak mau mencium calon suaminya itu, tapi kalau tiba-tiba begini kan dia jadi malu. Lagipula seumur hidup belum pernah dia nyium laki-laki selain adik-adiknya sendiri.
"Terus apa? Ya, sudah kalau tidak mau," sahut Dewangga singkat, tetapi mobil yang tadinya melaju lambat, sekarang menjadi cepat. Sudah persih seperti pembalap. Sinta merasa ketakutan dan berpegangan pada kursi.
Duh, gimana, nih?
Sinta menjadi cemas. Dia takut kalau mobil yang mereka kendarai menabrak sesuatu. Sinta masih muda dan dia tidak ingin mati dulu. Dia ingin menikah, punya anak, dan melihat adik-adiknya sekolah tinggi.
"Ppak — Ppak Dewa?"
Lelaki itu pura-pura tak mendengar. Dia jengkel setengah mampus dan juga malu. Sudah mempertaruhkan harga diri untuk minta cium, e malah dicuekin. Ah, benar-benar menjengkelkan!
"Pak Dewa, awas!" teriak Sinta ketika ketika tiba-tiba angkot yang berjalan di depan mereka berhenti mendadak padahal bukan di lampu merah atau halte bus. Huh, dasar angkot! Sejak dulu dia dan becak memang sudah menjadi raja jalanan. Untungnya dengan sigap Dewangga langsung menginjak rem. Sedikit saja terlambat, bemper depan mobilnya pasti sudah menabrak bagian belakang angkot itu.
Dewangga makin kesal. Dia menekan klakson berkali-kali lalu melajukan mobilnya lagi. Hal seperti ini sudah terbiasa di Jakarta, jadi percuma saja kalau dia ingin mengumpat. Tidak akan berpengaruh apa-apa untuk supir angkutnya. Lagipula, Dewangga juga menyadari bagaimana terpinggirkannya akomodasi umum itu sekarang.
Digeser oleh ojek online, sudah jarang penumpang yang memilih angkot sebagai alternatif. Selain karena sering nongkrong untuk menunggu penumpang, supir yang ugal-ugalan, lintas angkutan umum juga terbatas karena tidak semua jalanan di Jakarta boleh dilalui oleh kendaraan umum.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Dewangga tanpa menunjukkan rasa cemasnya. Padahal dia sudah merasa takut.
"Tti ... tidak, Pak. Cuma kaget."
Dewangga bernapas lega. Beberapa hari lagi mereka akan menikah, kalau sampa terjadi sesuatu pada calon istrinya, bisa kacau semuanya.
"Pak Dewa sudah gak marah lagi?" tanya Sinta ragu-ragu. Dewangga tidak menjawabnya sampai mobil mereka tumpangi berhenti di parkiran basement supermarket.
"Siapa yang marah?" sahut Dewangga sambil melepaskan sabuk pengaman. Suaranya terdengar datar, tetapi ada kejengkelan di sana.
"Keluarlah. Kita sudah sampai."
"Tunggu!" Sinta menarik lengan lelaki itu ketika Dewangga hendak keluar dari mobil.
"Ada apa?" Dewangga menoleh sambil memicingkan mata. "Kalau tidak ada apa-apa, cepatlah turun."
Tanpa berkata-kata Sinta langsung mendaratkan bibirnya ke pipi Dewangga yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
"Ja — jangan marah lagi ya, Pak!" kata Sinta tergagap lalu keluar dari mobil. Rasanya dia malu sekali dan ingin segera pergi dari sana, tapi pergi ke mana? Dia tidak tahu dia sedang berada di mana.
***
"Apa-apaan ini?!" Mike melempar kertas pembagian harta yang diberikan oleh pengacara keluarga Wijaya. "Saya anak kandung pendiri perusahaan dan hanya dapat saham 5%?" katanya lagi dengan jengkel. Dia sudah jenuh karena dikurung di dalam rumah dan tidak boleh keluar karena ada bodyguard yang berjaga di depan rumahnya dan sekarang Pak Irwan datang membawa pemberitahuan yang seperti bom waktu untuk meledakkannya.
Pak Irwan tahu ini akan terjadi, tetapi sudah menjadi tugasnya untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh Melati Wijaya. "Ini sudah menjadi keputusan Bu Presiden. Tugas saya hanya menyampaikan." Lelaki paruh baya itu menghela napas panjang.
"Dan Sinta? Kenapa anak yang baru dikenal kemarin sore itu mendapatkan bagian 10%? Jangan bilang kamu tidak tahu berapa banyak 10% itu!!"
Pak Irwan sudah menyiapkan diri untuk dimaki. Jadi dia tak membalas kata-kata Mike yang dinilainya tidak penting. "Sekarang kalian harus tanda tangan di sini," ucap Pak Irwan sambil menyodorkan kertas dan pulpen. "Tugas saya hanya menyampaikan. Tidak lebih."
Mona meskipun tidak terima, dia tidak protes. Tentu saja tidak secara langsung, padahal di hatinya dia sangat gondok. Namun, bagaimanapun juga 5% sudah lebih baik daripada tidak sama sekali.
Sejak kecil Nenek memang tidak menyukai dirinya. Tidak seperti Dewangga yang selalu dimanjakan dan diperlakukan bak seorang pangeran. Setelah lulus kuliah pun Dewangga langsung diberikan jabatan sebagai jajaran eksekutif di perusahaan, berbeda dengan dirinya yang sama sekali tidak boleh menginjakkan kaki di kantor.
Di mata Nenek, Mona sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk memimpin. Jadi, kalau mau bekerja, Mona harus bekerja mulai dari bawah.
Itu sebabnya Mona lebih memilih untuk tidak bekerja. Dia terlalu gengsi untuk bekerja sebagai karyawan biasa.
"Jangan, Mon!" Mike mencegah putri kesayangannya untuk tanda tangan. "Mami tidak terima kita diperlakukan seperti ini! Mami akan protes ke nenekmu!"
Huft! Mona menghela napas. Dia tahu neneknya tidak akan berubah pikiran apa pun yang dikatakan dan dilakukan ibunya.
"Lima persen lebih baik daripada tidak sama sekali kan, Mam?"
Mike menyipitkan mata dan memandang putrinya dengan sinis. "Kamu tahu bukan itu maksud Mami, kan? Pokoknya, sampai dunia kiamat sekali pun Mami gak akan biarin gadis udik itu mendapatkan harta keluarga Wijaya! Mami gak akan biarin dia menikahi kakakmu!"
***
"Mahal sekali!" pekik Sinta ketika melihat harga tempe di depannya sambil tidak berhentiengagumi sayur dan buah yang tertata rapi di sepanjang etalase. Suasana di pasar modern ini benar-benar sangat berbeda dari pasar yang pernah dia kunjungi bersama ibunya. Tempatnya bersih, sejuk, dan tidak becek. Semuanya menakjubkan kecuali harga-harganya yang super duper mahal.
"Ambil saja kalau mau," kata Dewangga yang sejak tadi mendorong keranjang belanjaan yang masih kosong karena setiap akan membeli barang, Sinta selalu berkata MAHAL. Baru kali ini dia merasa kesusahan karena harga makanan.
"Gak, ah. Mahal! Di kampung, Sinta biasa beli dua ribu, kok. Ukurannya lebih besar, lagi," gerutu Sinta persis seperti emak-emak yang suka nawar di tukang sayur. "Ke pasar beneran aja yuk, Pak," ajak Sinta.
Pasar beneran? Emangnya ini pasar boongan? Pikir Dewangga yang merasa bahwa Sinta terlalu pelit. Terlalu melihat harga. Kalau mau, jangankan tempe harga sepuluh ribu, kalau mau Dewangga bisa membeli supermarketnya.
"Sinta ...." Dewangga mendekati tubuh Sinta kemudian berbisik. "Cium saya lagi, nanti saya antar ke pasar betulan."
0 Comments