"Bagaimana keadaanmu?" tanya Dewangga yang sejak tadi tidak beranjak dari samping calon istrinya. Belum pernah dia sekuatir ini terhadap orang lain. Selama ini, hanya kelangsungan perusahaanlah yang membuatnya kuatir. Sebaggai workaholic, selain pekerjaannya tak ada lagi yang dia pikirkan.
Sinta mengerjapkan matanya. Meski tanpa melihat, dia tahu milik siapa suara itu. Meski kepalanya masih terasa nyeri, pipinya juga perih, tetapi hatinya senang ketika melihat lelaki itu ada di sampingnya. Huh, jatuh cinta memang hal aneh! Dia bisa membuat orang yang sakit jadi sembuh dan yang lapar jadi kenyang. Pantas saja banyak yang bilang makan tuh, cinta!
"Aku ...." Sinta mencoba bangkit dari pembaringannya, tetapi tubuhnya begitu lemah, pipinya terasa perih, belum lagi kepalanya yang nyut-nyutan karena tadi Mona menarik rambutnya sangat kuat. Sinta bahkan bisa merasakan kalau ada rambutnya yang tercabut paksa.
"Lebih baik Anda tidur dulu." Suara itu, belum pernah Sinta mendengarnya.
Gadis itu melihat ke samping kirinya. Ada seorang lelaki berpakaian sangat rapi dan mengenakan kacamata dengan frame tebal. Ia juga mengenakan jas dokter berwarna putih. "Saya dr. Setiawan. Dokter keluarga Wijaya. Pak Dewangga memanggil saya kemari." Lebih tepatnya memanggil dengan ancaman. Lanjut lelaki itu lagi, tetapi cukup di dalam hatinya. Kalau sampai mulutnya yang bicara seperti itu, bisa tamat riwayatnya.
Mendengar kata-kata dokter yang kelihatan tidak muda lagi itu akhirnya Sinta ingat bahwa dia sempat pingsan. Dan sebelum pingsan, dia juga yakin bahwa Dewangga muncul untuk menolongnya.
"Dengarkan kata-kata dokter itu," sahut Dewangga dengan suara dingin dan tawar seperti biasa.
"Tapi, Pak ...." Sinta masih berusaha untuk bangkit. Dia tidak ingin terlihat seperti gadis lemah dan tidak berguna di depan calon suaminya.
"Dengar, aku tidak suka dibantah. Kalau kubilang istirahat, istirahatlah!" Tegasnya suara Dewangga dan bagaimana tegangnya wajah lelaki itu, membuat Sinta tidak berkutik. Dia kembali berbaring karena tak ingin membuat calon suaminya makin murka.
"Cepat masuk!" perintah Dewangga dengan nada yang penuh dengan kemarahan karena tadi melihat pemandangan yang tidak pantas saat dia baru pulang dari kantor.
Ketika Sinta sedang tertidur di sofa, sengaja Dewangga tidak membangunkan gadis itu saat akan pergi ke kantor. Dan begitu dia pulang, dilihatnya Mona dan ibunya sedang menganiaya calon istrinya. Sungguh perbuatan yang tidak termaafkan!
Mendengar sekilas jeritan Sinta dan melihat bagaimana takutnya gadis itu, membuat darahnya mendidih. Dan begitu Sinta jatuh tak sadarkan diri, rasanya pikirannya jadi kacau. Dia takut sesuatu akan terjadi pada Sinta.
"Berlutut!" katanya lagi pada adik dan ibunya yang sudah masuk ke dalam kamar.
Mona dan Mike langsung berlutut di lantai dengan tubuh genetar. Baru kali ini mereka melihat Dewangga semarah itu.
"Sudah berapa kali kubilang jangan pernah ke sini," kata Dewangga sambil mengendorkan dasinya. Di kantor dia sudah pusing dengan setumpuk pekerjaan dan sekarang adik serta ibunya membuat ulah saat dia tidak rumah.
"Kka—kami cuma main kok, Mas."
"Diam!"
Bukan hanya Mona dan Mike saja yang kaget. Suara menggelegar Dewangga juga membuat Sinta tersentak. Dia berpikir bahwa cara marah lelaki itu lebih menakutkan daripada bapaknya ketika marah.
"Siapa yang mengijinkan kalian ke sini?"
"Nak ...."
"Diam!" Dewangga tak cuma membentak adiknya. Dia juga membentak ibunya. Sejak kecil, hubungan mereka memang tidak pernah baik. Ibunya hanya tahu bagaimana cara bersenang-senang dan tidak pernah menjalani perannya sebagai istri dan ibu. Dan begitu suaminya meninggal, Mike Wijaya makin menjadi. Tidak jarang dia tidak pulang ke rumah hanya agar bisa menginap dengan laki-laki di hotel.
Sebagai ibunya, Nenek sudah tak bisa mengatasi putri kandungnya sendiri. Mau semarah apa pun, dia pasti bisa memaafkan kesalahan Mike karena bagaimanapun dia adalah darah dagingnya. Anak satu-satunya. Satu-satunya yang bisa Nenek lakukan adalah merawat Dewangga. Orang yang dianggapnya sebagai pewaris keluarga dan bisa meneruskan keturunan Wijaya.
Mike Wijaya menciut. Dewangga jarang sekali marah, tetapi kalau sudah meledak-ledak begini, dia tak kenal lagi siapa kawan siapa lawan. Bahkan saudaranya sendiri pun tak ada ampun.
"Berikan kunci mobil dan semua kartu kredit yang ada di dompet kalian."
"Tapi, Mas ...."
Dewangga berdiri sambil mengepalkan tangannya yang gemetar karena menahan amarah. Kesabarannya sudah habis. Sudah cukup dia bersabar. "Cepat lakukan dan pulanglah!"
Tak ingin menerima tumpahan kemarahan Dewangga lebih lama, Mona dan Mike memilih untuk menyerahkan kunci mobil dan kartu kredit mereka lalu keluar dari kamar dengan perasaan jengkel.
Mona sendiri memang tidak pernah akrab dengan kakaknya. Bukan hanya sifat mereka yang bertolak belakang, tetapi Mona juga tidak mengetahui kenapa Dewangga selalu membencinya.
Memang, kakaknya itu tidak pernah mengatakan secara terang-terangan bahwa dia membenci adiknya, tetapi Mona masih ingat bagaimana Dewangga selalu menhindarinya sejak kecil.
Saat Mona ingin bermain dengan Dewangga atau saat mereka bertemu di luar rumah, Dewangga tidak menanggapi sapaannya. Seolah-olah Mona hanyalah angin lalu yang tidak kelihatan dan harus diabaikan.
Begitu adik dan ibunya pulang, Dewangga menarik napas dalam-dalam. Ia memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Sinta yang diam-diam memerhatikan calon suaminya itu menjadi cemas.
"Pak Dewa tidak apa-apa? Maafkan Sinta, Pak."
Lelaki itu membalik tubuhnya dan melihat wajah Sinta yang masih kemerahan. Goresan merah bekas cincin Mona juga masih ada di sana. Namun, sepertinya dia sudah lebih baik sekarang. Wajahnya tak sepucat tadi. "Kenapa harus minta maaf? Harusnya saya yang minta maaf atas perbuatan mereka."
Yang harusnya minta maaf kan mereka. Mereka yang salah. Pikir Sinta sedih karena di hari pertamanya tinggal di Jakarta, dia sudah memiliki musuh.
"Kalau sudah baikan, makanlah itu." Dewangga menunjuk ke arah semangkok bubur yang ada di nakas.
"Pak Dewa yang masak buat aku?" tanya Sinta dengan mata berbinarnya.
Lelaki itu melihat ke arah Setiawan yang masih berdiri dan mengamati mereka. "Dokter Setiawan yang membelinya."
Dokter Setiawan tersenyum pedih. Rasanya dia ingin menimpali ucapan sahabatnya bahwa dia dipaksa membeli membeli bubur yang gerobaknya biasa mangkal di depan rumah.
***
Setiawan menjatuhkan tubuhnya di sofa. Bahunya pegal sekali karena menyetir dengan terburu-buru. Hampir saja nyawanya melayang karena tadi dia hampir menabrak becak yang menyeberang jalan sembarangan. "Kamu yakin akan menikahi gadis kecil itu?" tanya Setiawan penasaran sekaligus meyakinkan kalau asumsinya benar. Selama mengenal Dewangga, belum pernah perjaka tua itu perhatian ke pada siapa pun selain pekerjaannya. Baginya, pekerjaannya lebih penting daripada perempuan-perempuan yang selama ini mengejar dirinya.
Dewangga hanya terdiam. Dia tidak yakin akan menikahi gadis itu setelah kejadian seperti ini, tetapi melepaskan Sinta sekarang juga bukan pilihan tepat baginya. Terlambat baginya untuk menolak pesona Sinta.
0 Comments