"Jadi ini istri kakakmu?" kata Mike ketika dia sudah sampai di rumah putra sulungnya.
"Iya kali, Mam. Lihat saja mukanya yang jelek itu!" balas Mona jengkel sambil memandangi Sinta yang masih tidur di sofa. "Udah jelek, ngileran pula."
"Selera kakakmu memang aneh! Cepat ambil air, Mon."
Mona langsung berjalan menuju dapur. Begitu menemukan kulkas, dia mengambil sebotol air dan membawanya ke Mike. "Ini, Mam," kata Mona memberikan botol itu ke ibunya.
Mike yang tidak tahan lagi melihat betapa nyenyak tidur Sinta langsung menyiram wajah gadis itu menggunakan air dingin.
Mihat gadis itu bangun dengan cemas seperti cacing kepanasan, Mike dan Mona tertawa puas.
"Si—siapa kalian? Kenapa menyiramku?" Sinta mengelap wajahnya menggunakan ujung rok. Dia sendiri tidak sadar sudah berapa lama tertidur di sofa, tetapi saat melihat ke luar, langit sudah gelap dan lampu-lampu di taman menyala.
Mona tersenyum simpul lalu duduk di sofa. "Cepet ambilin minum! Haus, nih."
"Ja—jawab dulu siapa kalian? Kenapa masuk ke rumah orang tanpa permisi?" Sinta tetap memberanikan diri bicara meskipun sebenarnya dia takut.
Ha-ha-ha! Mike tertawa. Tawanya seperti orang yang kerasukan. Itu menurut Sinta. "Dasar gadis gak punya sopan santun! Aku ini ibunya Dewangga. Buat apa masuk ke rumah anak sendiri pakai izin?"
Ah, jadi ini ibu dan adiknya Pak Dewa?
"Eh, malah bengong lagi! Cepetan buatin minum!" sentak Mike gemas melihat Sinta hanya bengong. Menurutnya, tampang gadis itu persis seperti orang bloon.
Sinta berdiri dengan cepat. "Be ... bentar ya, Bu. Sinta buatin minum dulu."
Segera gadis itu berlari ke dapur dan membuka kabinet kaca yang berisi gelas. Sinta belum pernah melihat gelas yang berjajar rapi dan bagus begitu karena di rumahnya, gelas hanya ditaruh di rak piring yang terbuat dari bambu. Pun gelasnya bukan yang mewah dan mahal, melainkan gelas belimbing kecil yang sudah kusam.
Setelah mengambil dua gelas panjang, Sinta mengisinya dengan air dingin yang dia ambil dari kulkas lalu membawanya ke ruang tamu, tempat calon ibu mertua dan adiknya duduk.
"Silakan diminum." Sinta menaruh kedua gelas itu di atas meja dengan sangat sopan karena bagaimana pun juga mereka adalah ibu dan adik dari lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.
"Air putih?" protes Moda sambil menaruh kakinya ke atas meja. "Orange juice, kek. Masak cuma air putih doang!"
Sinta yang panik langsung kembali ke dapur. Dia membuka kulkas lagi dan melihat isinya dengan teliti. Tidak ada apa pun selain air putih dan kaleng bertuliskan beer. Dia juga membuka kabinet satu persatu. Tidak ada makanan di sana, apalagi orange juice.
Dengan perasaan takut, Sinta kembali ke ruang tamu dan menghampiri Mona. "Tidak ada orange juice. Adanya air putih dan minuman kaleng."
Hah, kalau itu aku juga tahu! Batin Mona yang merasa dirinya menang. Dia sangat tahu kalau di rumah kakaknya tidak ada apa-apa selain air putih dan juga beer.
"Ya, sudah!" Mona mengambil gelas itu dan meminum airnya. "Cepetan pijitin kakiku. Pegel nih habis belanja!"
Gadis malang itu menjawab apa-apa karena terlalu takut. Wajah calon adik iparnya terlihat galak dan juga bicaranya jauh lebih kasar daripada bapaknya. Sinta langsung duduk di lantai lalu perlahan tangannya memijit kaki Mona dengan hati-hati.
"Lebih keras lagi, dong!"
Sinta menambahkan lagi tenaganya.
"Nah, gitu. Oya, copot soft lens yang kamu pakai. Jelek, tauk! Orang kampung gak cocok pakai soft lens."
"Sof len? Apa itu, Mbak?" tanya Sinta tak mengerti dengan ucapan Mona. Baru kali ini dia mendengar kata-kata soft lense.
Mike terbahak-bahak mendengar pertanyaan Sinta. "Ternyata bukan wajahnu saja yang bloon, tapi otaknu juga dongoh!"
Kata-kata Mike terasa asing di telinga Sinta. Bloon? Dongoh? Baru pertama kali dia mendengar kata semacam itu. Namun, dia yakin itu adalah kata-kata yang kasar.
"Ma—maaf, Bu. Sinta beneran gak tau apa itu sof len."
"Ah, percuma deh ngomong sama orang udik!" Mona langsung menarik tubuh Sinta dan berusaha mengambil sesuatu dari matanya. Sinta meronta, dia takut Mona akan mencungkil bola matanya.
"Jangan, Mbak. Jangan ambil mata Sinta. Sinta gak mau buta!"
"Diem! Siapa yang mau nyongkel matamu! Aku cuma mau lepas sofl lens yang kamu pakai!"
"Sinta gak pakai itu, Mbak. Ini asli mata Sinta!"
Karena Sinta meronta dan sulit ditaklukkan, Mona meminta tolong pada ibunya. "Mam, pegangin gadis kampung ini, dong!"
Mike dengan senang hati membantu putrinya. Dia memegangi kedua tangan Sinta, sementara Mona memegang kepala Sinta. "Diem atau aku colok matamu!"
Sinta berhenti meronta, tetapi dia tidak berhenti menangis. Perlahan tapi pasti jari-jari Mona mendekat ke bola matanya dan membuat Sinta makin ngeri.
"Jangan kedip-kedip!" kata Mona jengkel karena Sinta tidak berhenti mengedipkan matanya.
"Aku takut, Mbak. Sumpah demi Allah Sinta gak pakai apa-apa."
"Sudah kubilang diem!" Mona menarik rambut Sinta ke belakang lalu berusaha mencubit bola mata Sinta.
"Tolooong!" Sinta sangat takut. Dia merasa ngeri dan sekujur tubuhnya lemas. Dia tidak tahu apa kesalahannya sampai-sampai ibu dan saudara suaminya berbuat demikian. Bahkan, sejahat-jahatnya bapaknya pun tidak pernah berbuat seperti ini pada dirinya.
Sinta sekali lagi menutup matanya. Lebih erat. Karena merasa gemas, Mona pun menampar wajar gadis itu. "Sialan! Sudah kubilang jangan tutup mata!" Mona terus menampar wajah Sinta berkali-kali. Dia pasrah. Dia juga lelah. Dia tidak tahu jika menikah dengan Dewangga akan seberat ini.
"Pak Dewa, apakah aku akan mati?" gumam Sinta terakhir kali sebelum dia memejamkan mata karena kehilangan kesadaran. Namun, sebelum jatuh pingsan dia bisa mendengar suara lelaki itu. Lelaki yang baru pertama dia temui, tetapi sudah membuatnya jatuh hati.
"Sinta!" teriak Dewangga ketika melihat perbuatan adik dan ibunya.
Mendengar suara Dewangga, Mike dan Mona langsung melepaskan tubuh Sinta.
"De—Dewa? Kapan kamu pulang, Nak? Mami bisa jelaskan semua ini. Ini bukan seperti yang kamu lihat," kata Mike dengan suara gemetar. Dia tak menyangka kalau Dewangga akan pulang dari kantor secepat ini. Padahal biasanya dia baru akan pulang saat tengah malam.
Dewangga tidak menggubris. Dia mengangkat tubuh Sinta yang tergeletak di lantai dan berusaha memanggil namanya. "Sinta? Bangun, Sinta."
Lelaki itu terlihat cemas karena Sinta tak kunjung sadar. Diambilnya ponsel dalam sakunya dan melakukan panggilan.
"Cepet datang ke rumahku atau kupecat jadi dokter keluarga!"
"Sinta ...." Dewangga yang sudah menutup ponselnya berusaha menyadarkan Sinta kembali, tetapi nihil. Dan ketika dia melihat goresan di kedua pipi Sinta bekas baretan cincin Mona, amarahnya semakin muncak. Dia menaruh tubuh Sinta ke atas sofa lalu meminta adiknya untuk berdiri.
"Mas—ampuni Mona, Mas. Mona cuma main-main, kok."
Lelaki itu memejamkan mata. Main-main katamu? Memukul Sinta sampai pingsan dan katamu cuma main-main?
Tanpa berucap apa-apa Dewangga langsung menampar pipi adiknya. Saking kerasnya, tubuh Mona sampai terhutung dan sudut pipinya berdarah.
"Gimana? Sakit? Itulah hasil permainan konyolmu! kata Dewangga lalu membawa tubuh Sinta ke lantai dua menuju kamarnya.
0 Comments