"Mari, Bu. Saya antar ke kamar Pak Dewa," kata Hani dengan senyum yang ramah seperti biasa. Ketika Sinta akan menggeret koper di samping sofa, dengan cepat dia melarangnya. "Jangan, Bu. Nanti akan ada yang mengantarkannya ke kamar Ibu."
Sinta merasa malu, tetapi dia juga sangat senang karena semua orang baik padanya. Terutama Hani dan juga Dewangga, tetapi kesenangannya itu hilang ketika berhadapan langsung dengan Dewangga. Lelaki itu tidak bisa tersenyum, cara bicaranya kaku, dan banyak mengatakan hal yang dia tidak mengerti. Selain itu juga dia merasa bahwa calon suaminya itu tidak menyukainya.
"Sudah paham apa yang saya katakan?" tanya Dewangga datar.
"Umm—." Sinta takut bicara jujur. Tatapan tajam Dewangga tidak hanya membuatnya gugup, tapi juga merinding. Tenyata calon suaminya itu bukan hanya memiliki wajah tampan, tetapi juga menyeramkan.
Dewangga mendesah panjang sambil mengendurkan dasinya. "Hah, ternyata kamu tidak paham. Tanda tangan saja di situ. Saya akan memperlakukanmu dengan baik selama jadi istri saya."
Sinta langsung tanda tangan tanpa membaca apa yang tertulis. Kepalanya pusing dan matanya berkunang-kunang membaca tulisan sebanyak itu, tetapi jika hanya dengan tanda tangan bisa menjadikannya istri Dewangga, gadis itu tidak keberatan.
"Bagus." Dewangga mengambil kertas-kertas yang telah Sinta tandatangani lalu memasukkannya ke dalam tas. "Besok pagi kita akan berangkat ke Jakarta menggunakan helikopter. Kita akan ketemu dengan Nenek."
"Baik, Pak."
"Ingat apa yang tadi kukatakan kalau ketemu Nenek?" Sekali lagi Dewangga berusaha meyakinkan.
Sinta mengangguk. "Bersikap apa adanya dan jangan dibuat-buat."
"Bagus. Sekarang keluarlah dan pergi ke kamarmu sendiri."
Sinta masih terpaku di tempat duduknya. Ia meremas tangannya karena merasa grogi. "Saat kita nikah nanti, keluargaku akan datang ke Jakarta?"
"Tidak. Ayahmu sudah mewakilkannya. Kamu tidak perlu kuatir soal itu."
Sinta memang tidak kuatir, tetapi dia ingin ibu dan adik-adiknya datang saat pernikahannya. Mereka belum pernah memiliki foto keluarga, terlalu sulitkan jika menginginkan hal itu? Bahkan, dalam saat-saat seperti ini pun di merindukan ayahnya yang barangkali lelaki itu tidak mengingatnya.
"Ada lagi?" tanya Dewangga datar, persis seperti robot.
"Ti—tidak, Pak."
"Kalau begitu keluarlah, saya capek mau istrirahat."
"Ba—baik, Pak." Sinta langsung pergi dari kamar itu, tetapi Dewangga justru makin pusing dengan kepergian Sinta. Gadis itu bukan hanya polos, tetapi juga bodoh, dan penakut. Dewangga merasa kuatir, akankah gadis semacam itu bisa bertahan hidup di keluarganya.
***
Semalaman Sinta tidak bisa tidur padahal kasur hotel sangat nyaman, empuk, dan juga hangat. Ada juga televisi besar yang menayangkan film-film barat, tetapi entah mengapa dia merasa kesepian. Dia rindu ibunya, adik-adiknya, dan juga rumahnya yang sangat sederhana. Jika kemarin dia senang karena akan menjadi istri Dewangga, entah mengapa hari ini dia merasa takut dan sendirian. Rasanya gadis itu ingin pulang saja.
"Sudah siap?" tanya Dewangga tanpa melihat Sinta yang sedang cemas di kursinya.
"Ssu—sudah, Pak."
"Hani, bawa dia ke atas. Heli sudah menunggu."
Hani yang sejak tadi menemani Sinta mengangguk patuh. Dia membawa Sinta naik ke atap gedung dan melepas kepergian Sinta bersama dengan bosnya itu. Sebagai pebisnis muda, Dewangga tidak hanya bekerja di perusahaan keluarga, tetapi juga memiliki bisnisnya sendiri di dunia perhotelan dan resort yang tersebar di Indonesia. Hani memang jarang bertemu Dewangga karena lelaki itu juga jarang pergi ke Pekalongan, tetapi dia sangat tahu orang seperti apa Dewangga Satria. Tegas, berdedikasi tinggi, tidak pernah tersenyum, dan gila kerja.
Sesaat dia merasa kasihan pada Sinta karena gadis desa sepolos itu terjerat dengan kehidupan konglomerat macam Dewangga. Biasanya hubungan semacam itu tidak akan bertahan lama dan akan menemui banyak masalah. Hani mendesah panjang ketika melihat helikopter itu menjauh dari gedung hotel. Uang memang penting, tapi kebahagiaan dan rasa dihargai tak kalah pentingnya, kan?
Sepanjang perjalan menuju Jakarta Sinta ketakutan. Dia takut kalau helikopter yang ditumpanginya jatuh. Selain itu juga perutnya mual dan kepalanya pusing. Rasanya apa yang tadi dimakannya ingin keluar.
"Pegang tanganku." Dewangga memberikan telapak tangannya pada Sinta yang sejak tadi tubuhnya mengkerut karena ketakutan.
Sinta diam sejenak lalu meraih tangan Dewangga. Tangan itu begitu besar, dua kali lipat dari tangan gadis itu. Tangan lelaki itu juga hangat dan kehangatan itu merambat ke hati Sinta. Sekarang perutnya sudah tidak mulas lagi, kepalanya juga sudah tidak pening, tetapi jantungnya berdebar sangat cepat dan keras. Rasanya dia bisa mendengar bunyi detak jantungnya sendiri.
Tanpa terasa Sinta mulai mengantuk. Matanya perlahan tetpejam dan kepalanya menyandar di bahu Dewangga.
Lelaki itu mendesah perlahan. Dia membiarkan calon istrinya tidur di bahunya dan tanpa ia sadari tangan kanan mengelus rambut Sinta yang hitam dan berkilau. Dia sama sekali tidak menyangka gadis buruk rupa yang dilihatnya kemarin bisa menjelma menjadi gadis cantik yang anggun.
Belum lagi mata biru itu, mata yang sangat jarang dimiliki oleh orang Indonesia. Kulit Sinta tidak putih, tetapi sangat bersih. Semalam saat Sinta masuk ke kamarnya, Dewangga hampir lupa kalau gadis itu masih berumur sembilan belas. Gadis yang sebenarnya pantas menjadi anaknya.
Seandainya saja Sinta tumbuh di keluarga yang mumpuni, sekarang ini dia pasti sudah menjadi model atau artis ibukota. Dia juga pasti akan dikelilingi oleh banyak lelaki. Dan entah mengapa hanya memikirkan itu saja membuat hati Dewangga tidak tenang. Rasanya dia tidak ingin membagi kecantikan Sinta dengan siapa pun.
0 Comments