"Ini rumah Pak Dewa?" tanya Sinta kagum ketika mobil yang mereka tumpangi masuk ke halaman rumah. Dari luar pagar, rumah Dewangga memang tidak kelihatan karena tertutup pagar yang tinggi. Namun, begitu pintu pagar terbuka otomatis, Sinta bisa melihat bagaimana hijau rerumputan dan pepohonan di sana dan betapa megahnya rumah calon suaminya itu.
"Ya." Dewangga hanya menjawab seadanya. Dia malas melayani pertanyaan Sinta.
"Bagus, ya. Kayak tipi-tipi." Sinta tidak bisa berhenti mengagumi sekelilingnya. Luas halaman itu bahkan lebih luas daripada rumahnya di kampung.
"Keluarga Pak Dewa ke mana? Kok, sepi? Nenek tinggal di sini juga?"
Dewangga menghirup udara perlahan dan saat paru-parunya penuh oleh oksigen, dia mengeluarkannya perlahan.
"Jangan bicara kalau tidak ada yang penting," jawab Dewangga yang langsung membuka pintu. Dia tidak ingin meladeni pertanyaan-pertanyaan gadis cerewet itu. Dia juga tidak ingin dekat-dekat dengan Sinta karena gadis itu membuatnya merasa tidak nyaman.
"Siapa bilang itu tidak penting? Aku kan ingin tahu semua tentang Pak Dewa. Pak Dewa gak lupa kalau sebentar lagi kita akan nikah? Ibu bilang, tugas istri adalah melayani suami. Makanya Sinta harus tau soal Pak Dewa agar bisa melayani dengan baik."
Dewangga berhenti sejenak kemudian berbalik dan menatap Sinta. "Jangan lupa, pernikahan kita hanya di atas kertas. Selama kamu tidak ikut campur urusan saya, saya akan memberikan uang berapa pun yang kamu mau."
Sinta terperangah. Tubuhnya gemetar dan matanya terasa panas. Air matanya hendak jatuh, tetapi dia tahan. Hatinya terasa pedih karena Dewangga mengingatkannya kembali bahwa pernikahan mereka hanya pernikahan di atas kertas. Dewangga menikahinya karena ingin mendapatkan warisan Nenek, sementara Sinta menikahi Dewangga hanya karena bapaknya membutuhkan uang. Dengan kata lain, Bapak telah menjualnya.
Semakin berusaha menahannya, gadis itu tidak kuasa. Di rumah yang luas ini, tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Tidak ada ibunya, adik-adiknya, tidak juga bapaknya.
Sinta akhirnya memilih duduk saja di sofa sambil sesenggukan. Habisnya mau gimana lagi? Dia memang telah memilih menjadi istri bayaran Dewangga, tetapi saat lelaki itu mengingatkannya kembali, entah kenapa rasanya sakit sekali.
***
"Ada yang lain?" tanya gadis itu kepada pelayan toko sambil melemparkan tas yang tadi diberikan ke atas meja. "Gak ada yang lebih bagus? Masak barang murahan gini dikasihkan ke saya, sih!" lanjutnya lagi dengan nada pongah.
"Iya, ih. Kita kan orang kaya, masak dikasih tas murahan begini! Kasih merek yang lain, deh!" sambung Mike Wijaya, ibu Mona Wijaya.
Gadis penjaga toko itu mencoba tersenyum meski sebenarnya dia ingin sekali mengusir mereka. Dua orang itu memang orang kaya dan sudah menjadi langganan, tetapi sikapnya itu lho, menyebalkan! Benar-benar tidak menggambarkan orang dari kalangan atas.
"Tas KREMES-nya sudah habis, Bu. Kebetulan baru datang minggu depan," sahut gadis itu berusaha sabar. Sebagai seorang pegawai, tugasnya adalah membuat pelanggan merasa nyaman. "Bu Mike mau melihat katalognya terlebih dahulu?"
Dengan angkuh wanita berusia enampuluhan itu melengos. "Hmmph! Tidak perlu! Saya beli semua barang yang akan datang nanti. Ini uangnya!" Mike melempar kartu kreditnya yang berwarna hitam ke lantai. Gadis pelayan toko itu menarik napas dalam-dalam dan mengambil kartu kredit itu.
Mona dan Mike yang melihatnya tertawa dengan puas. "Tuh, kan, Mam. Apa Mona bilang? Uang itu bisa membuat orang-orang miskin ituberlutut sama kita!" Mona, adik Dewangga itu tertawa bahagia melihat bagaimana gadis penjaga toko itu menundukkan badannya di hadapan mereka tanpa protes.
"Betul, Mon! Orang-orang miskin itu memang seperti budak! Ha-ha-ha."
Ya, Tuhan! Gadis itu mengelus dadanya ketika meninggalkan Mike dan Mona yang duduk di ruang tunggu. Dulu sekali sebelum dia bekerja di toko tas VIONA yang menjual berbagai macam tas bermerek, dia mengira bahwa orang yang kaya dan memiliki pendidikan tinggi juga akan melmiliki attitude yang bagus pula, tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Ia sering menemui pembeli yang sering menganggap rendah orang lain hanya karena mereka memiliki uang lebih.
"Silakan, Bu," kata gadis itu setelah mengurus pembelian. Dia menyerahkan kartu kredit itu pada Mike. "Kami akan mengirim barang-barangnya begitu kami selesai mengeceknya."
Mike dengan kasar mengambil kartu kreditnya lalu mengelapnya dengan tisu basah. "Pastikan tidak ada yang lecet atau saya bisa minta bosmu untuk memecat gadis miskin sepertimu!"
"Baik, Bu Mike. Saya akan memastikan kalau tas-tas ibu dalam keadaan prima."
"Yuk, ah, Mam. Mona bosen nih di sini!"
Moda dan Mike berdiri dari sofa dengan angkuh. "Oya, bersihkan ini, ya, " kata Mona sambil menumpahkan jus jeruk yang ada di atas meja. "Upss, jangan marah ya, gadis miskin. Bye ... bye ...."
Tangan gadis itu gemetar begitu Mike dan Mona meninggalkan toko. Kedua temannya langsung mendekat dan membantu membersihkan tumpahan jus jeruk itu.
"Kamu gak apa-apa, Nit?"
"Aku gak apa-apa, kok. Thanks, ya. Udah dibantuin." Tentu saja Nita berdusta. Tubuhnya panas dingin, tangannya gemetar, dan dadanya kembang kempis menahan kemarahan serta penghinaan Mike dan Mona.
"Mam, ke mana kita?" tanya Mona pada ibunya ketika mereka telah sampai ke dalam mobil.
"Ke mana lagi kalau bukan ke rumah kakakmu? Mami penasaran, istri macam apa sih yang dia pilih?"
Mona menyunggingkan bibirnya. Senyumnya bukan hanya terlihat jahat, tetapi juga menyepelekan.
***Terima kasih sudah membaca sampai di sini. Jika suka dengan cerita Sinta dan Dewangga, tolong share ke sosial media kamu dan tag akun sosmed aku, ya.
0 Comments