"Orangtuamu tahu kalau kamu hamil, Lin?" Gadis itu menggeleng gemas. Dia hamil di luar nikah, dengan suami orang lain pula. Mana mungkin dia memberitahukan kepada papa-mamanya? Bisa-bisa Mama pingsan mengetahui satu-satunya anak kesayangannya hamil dengan lelaki yang telah menjadi suami wanita lain.
"Aku tak mungkin menceraikan Rani dan menikahimu, Lin."
"Aku tak minta kamu menceraikannya, Mas. Jadikanlah aku istri keduamu. Aku rela membagi Mas Aryo dengan Mbak Rani."
Tapi rela jugakah Rani membagi suaminya dengan wanita lain? Dan wanita lain itu juga sama-sama sedang mengandung benih Aryo.
"Rani tak mungkin setuju, Lin. Apalagi ku sudah berjanji padanya tak akan mengkhianati perkawinan kami lagi."
"Tapi Mas terlanjur mengkhianatinya, kan? Dan di perutku ini anak Mas Aryo juga."
Nah, itu masalahnya. Dia sedang memikirkan bagaimana caranya menikahi Lina dan membawa Lina ke rumahnya tanpa ketahuan. Dan ide itu pun muncul di kepala Aryo.
"Aku sedang membutuhkan pembantu. Aku bisa menikahimu, tetapi tak bisa membawamu ke rumah dengan status seorang istri."
Senyum lebar di bibir Lina sudah menjawab segalanya. Dia tak menolak usul Aryo. Dia tak peduli lagi, jadi babu, kek. Kacung, kek. Selama dia bisa menjadi istri Aryo. Namun keinginannya itu bertolak belakang dengan keinginan kedua orangtua Lina Kusuma.
Mula-mula Papa dan Mama marah ketika Lina menceritakan tentang perselingkuhannya dengan Aryo, tetapi ketika melihat putri kesayangan mereka menangis, sebagai orangtua mereka tak tega berlama-lama memarahi Lina.
Sejak kecil Lina tidak pernah hidup susah, dia selalu dimanja, dan tanpa meminta pun semua barang yang diinginkannya sudah tersedia di depannya.
"Bagaimana ini, Pah?" tanya Mama ketika mereka sudah masuk ke kamar tidur yang selama puluhan tahun menjadi tempat tidur mereka. Tempat mencurahkan segala kasih dan cinta yang telah mereka bangun sejak bangku SMA.
"Kita turuti saja keinginan Lina, Ma. Bagaimanapun Aryo pria yang baik."
"Pria baikkah namanya kalau menyelingkuhi istrinya?"
"Namanya juga lelaki, Ma."
"Papa juga lelaki. Tapi Papa gak pernah selingkuh."
Papa hanya diam dan direngkuhnya Mama ke dalam dekapannya. Bagaimanapun juga dia tak ingin mengecewakan Lina serta cucunya. Asal anaknya itu bisa bahagia, jangankan jadi jongos, kalau Lina mau jadi relawan di negara yang sedang berperang pun dia rela.
***
"Pak Fery?" Hampir jatuh mata Aryo ketika melihat siapa yang sedang duduk di sofa mewah yang harganya barangkali seharga mobilnya. Sofa itu terbuat dari kulit asli dan nampak serasi dengan ruang tamunya yang luas dan seperti di dalam televisi.
Aryo sendiri tak pernah tahu bahwa Lina adalah anak orang kaya, dan tak pernah menyangka pula bahwa Fery Kusuma, pemilik sejaligus dirut bank tempatnya bekerja adalah ayah Lina.
"Duduklah, Aryo. Kamu pasti kaget melihatku di sini."
Bukan hanya kaget! Batin Aryo yang langsung duduk di depan bosnya itu.
"Lina sudah menceritakan semuanya padaku dan karena dia adalah anak kesayanganku, aku tak tega untuk menolaknya. Tetapi, jika kamu menceraikan istrimu, aku bisa menaikkan pangkatmu. Kamu bisa menjadi vice president di kantor pusat."
Vice president? Entah aku harus bekerja berapa puluh tahun agar mendapat jabatan itu. Pikir Aryo resah, tetapi menceraikan Maharani? Rasanya dia belum bisa. Apalagi dalam keadaan hamil tua begini.
"Kamu tidak harus menceraikan istrimu sekarang," kata Fery seolah bisa membaca keresahan calon nenantunya. Dia adalah pebisnis unggul di bidang perbankan. Berkat usahanyalah bank yang dia dirikan menjadi besar seperti sekarang ini dan memiliki banyak cabang yang berdiri di seluruh kota besar yang ada di Indonesia. "Setelah istrimu melahirkan, ceraikan dia. Aku berjanji akan memberikan segala yang kamu butuhkan ketika kalian resmi berpisah."
Dan siang itu juga, Aryo mengatakan semuanya pada ibunya. Tentu saja tidak di rumah agar tak ada orang lain lagi yang mendengar, tetapi Aryo meminta ibunya untuk bertemu di restoran saat jam makan siang.
"Jadi itu alasanmu meminta Ibu ke sini?" tanya Ibu yang kepalanya sudah berdenyut nyeri. Soal mencari pembantu saja belum kelar, sekarang justru putra yang dibanggakannya malah menghamili gadis lain dan ingin menikahinya.
"Iya, Bu. Orangtua gadis itu mau saya segera menikahinya."
"Tentu saja. Mereka kan tahu kamu manager bank. Siapa sih yang gak tergiur dengan jabatanmu, Yo?"
"Lina bukan anak orang miskin, Bu. Dia jauh lebih kaya daripada keluarga kita."
Mana ada anak orang kaya kok jadi teller bank? Pikir Ibu merendahkan. Tetapi ketika melihat rumah Lina yang besar dan megah, barang-barang antik yang dipajang di ruang tamu, pikiran Ibu berubah menjadi kagum. Anak konglomerat begini kok mau kerja jadi teller? Padahal bapaknya yang punya bank.
"Silakan diminum, Jeng," kata Mama ketika meletakkan secangkir teh hangat di hadapan Ibu.
"Gak perlu repot-repot, Jenk. Saya sudah minum, kok."
"Gak merepotkan. Kita kan calon besan."
"Ini bukan teh lokal ya, Jeng? Kok baunya lain."
"Ah, Jeng ini tahu saja. Kebetulan minggu lalu saya baru dari Inggris."
"Pantas. Aromanya lain!" cetus Ibu bersemangat dan langsung menyesap teh di depannya. "Enak Jeng. Rasanya luxury! Apalagi cangkirnya juga bagus."
"Jeng mau? Saya punya banyak set cup yang begitu dan belum pernah dipakai. Saya ambilkan ya, Jeng."
Duh, enak betul punya besan kaya raya. Pikir Ibu gembira. Beda banget dengan besannya yang satu lagi, klau ke sana paling-paling Ibu cuma disuguhi teh manis yang disajikan dengan gelas belimbing. Pokoknya beda kasta!
"Ini Jeng." Mama menaruh kotak mewah berwarna emas dengan hiasan bunga-bunga, dan ketika membukanya, Ibu tak berhenti berecak kagum. Belum pernah dia melihat cangkir yang begitu bagusnya. "Dan ini ada lagi, Jeng." Mama menyodorkan kotak berwarna emas. Bukan kotak berukuran besar, tetapi Ibu bisa mencium aroma yang harum dari sana.
"Buka saja, Jeng."
"Cincin berlian?" Melongo mulut Ibu ketika membuka kotak perhiasan itu. Berliannya memang tak begitu besar, tetapi kilaunya benar-benar menyilaukan mata. Lagipula tak peduli sekecil apa pun berlian, dia tetap berharga, kan?
"Kebetulan saya punya bisbis berlian, Jeng. Ini adalah model terbaru. Memang kecil, tetapi berliannya istimewa. Cuma produksi sepuluh karena saking mahalnya."
Ibu yang tak begitu mengerti tentang berlian hanya manggut-manggut. Peduli setan mau berlian dari negara mana, yang apa namanya, yang penting dia mendapatkannya secara cuma-cuma!
"Oya, Jeng. Bisa minta tolong?"
Ibu yang sedang mengagumi cincin berlian barunya itu mau tak mau mendengarkan calon besannya. "Katakan saja, Jeng. Jangan sungkan."
"Tolong jaga Lina, ya. Biar kata di sana nanti dia jadi pembantu."
"Soal itu tenang saja, Jeng. Biar saya yang urus semuanya!"
0 Comments