"Boleh beli minyak seperempat, Bu?"
Bu Narsih yang sejak tadi bengong langsung tersenyum sumringah. "Boleh, Bu Is. Ada lagi, Bu?"
"Telurnya dua butir."
Wanita itu dengan senang hati melayani. Bu Is kalau belanja memang sedikit-sedikit, tetapi wanita yang berprofesi sebagai buruh cuci itu tak pernah ngutang. Padahal Bu Narsih tak keberatan kalau Bu Is ngutang. Maklum, Bu Is seorang janda dengan dua anak yang masih sekolah.
"Ini, Bu. Semuanya lima ribu," kata Bu Narsih sambil menyerahkan belanjaan Bu Is.
Bu Is yang menerima bungkusan itu pun tercengang. Mana ada harganya murah begini? Ditatapnya Bu Narsih dengan mata berkaca-kaca. Karena tak ingin menyinggung perasaan Bu Is, Bu Narsih tersenyum lembut. "Telurnya kecil-kecil, Bu."
Tentu saja Bu Is tahu Bu Narsih berdusta. Telur yang dipilihkan Bu Narsih tadi ukurannya besar-besar dan yang paling baik bentuknya.
"Terima kasih ya, Bu Nar. Saya permisi dulu," kata Bu Is menyerahkan selembar uang lima ribuan.
"Sama-sama, Bu Is ." Bu Narsih tak mau kalah. Senyumnya mengembang. Senyum yang paling tulus dan paling manis. Membantu orang lain tak selalu dengan cara memberi, kan? Agar tak melukai perasaan yang diberi, sebagai penjual dia memurahkan harga.
Belakangan ini memang toko kelontong Bu Narsih tak seramai biasanya. Beras masih menumpuk, telur masih banyak, gula, dan tepung masih tertata rapi. Padahal, biasanya para tetangga hilir mudik di tokonya. Entah itu beli sembako atau kebutuhan sumur. "Katanya Bu Narsih ambil pesugihan!" kata Sulis saat menjajakan dagangannya di depan toko Bu Narsih kapan hari.
"Siapa pun yang belanja di toko Bu Narsih, bakalan jadi tumbal!" lanjut Sulis lagi yang sudah memastikan bahwa tak ada orang lain lagi selain mereka. Dia gak mau kalau sampai orang lain dengar. Ibu-ibu di gang buah kan kebanyakan orangnya rese, tukang ngutang lagi. Kalau gak diutangin, ngambek. Uh, kayak anak kecil aja.
"Lah, kalau saya ambil pesugihan kok gak kaya kaya to, Bu Lis? Lagian siapa tumbalnya?"
"Lho, Bu Nar belum tahu kalau Bu Dona sakit?"
Bu Dona? Ah, dia lagi. Sekarang dia tahu siapa yang menyebar kabar seperti itu. Pasti Bu Dona!
"Tumben sepi, Bu?" tanya Bu Sugi pura-pura. Padahal dia sudah tahu gosip yang merebak di gang buah-buahan. Dan tentu saja dia tahu kalau gosip yang disebar tetangganya itu tidak benar, tetapi yang soal Bu Narsih gak mau ngutangin lagi, itu baru benar. Dan Bu Sugi merasa dia ikut dirugikan karena kebijakan baru Bu Narsih. Wah, ternyata gak cuma DPR aja yang bisa bikin kebijakan. Penjual toko kelintong juga bisa. Udah gitu efeknya langsung dirasakan rakyat kecil lagi.
"Iya nih, Mbak Sugi. Mbak Sugi mau belanja apa?" tanya Bu Narsih dengan senyuman ala kadarnya karena jantungnya sudah berdegup dengan cepat. Dia takut kalau Bu Sugi ngutang lagi, padahal hari ini Bu Narsih harus beli token listrik. Kalau tidak, malam nanti dia busa tidur gelap-gelapan.
"Telur aja sekilo, Bu," jawab Bu Sugi dengan senyum yang dimanis-maniskan. Padahal, semanis apa pun bibirnya tersenyum, Bu Narsih tak akan tergoda. Kali ini Bu Narsih sudah berniat untuk menagih utang tetangganya itu.
"Ini, Bu." Bu Narsih memberikan telur yang telah dibungkus plastik hitam. "Dua lapan ya, Bu."
Tanpa menunggu lama Bu Sugi mengeluarkan uang dua ratus ribu dari dompetnya. "Sama nyicil yang kemaren ya, Bu."
Alhamdulillah. Bu Narsih tersenyum lega. Biarpun nyicil, setidaknya Bu Sugi sudah berusaha melunasi utangnya dan warung pun bisa berputar karena modalnya gak macet.
"Makasih Mbak Sugi."
Bu Sugi tersenyum lalu meninggalkan toko kelontong Bu Narsih. Padahal dia sendiri enggan membayar utang meski punya uang, tetapi entah kenapa pagi ini dia melihat ceramah di facebook yang lewat berandanya soal utang piutang. Mendengar ceramah itu membuatnya merinding dan mau tak mau dia harus membayarnya.
0 Comments