"Kariiin!" teriak Irene ketika melihat laporan di depannya yang amburadul. Sudah satu tahun Karina menjadi sekretarisnya, tetapi sama sekali tak ada perubahan.
"Sudah kukatakan aku tak berbakat," jawab Karina acuh tak acuh. Dia juga sudah jemu kena omel atasannya sekaligus kakak tirinya itu. Meskipun mereka berdua memutuskan untuk berdamai, tetap saja Karina merasa kalau Irene masih membecinya karena tak pernah berhenti mengomel. Hah! Ini salah, itu salah. Pokoknya semua yang dia kerjakan selalu salah! "Lebih baik kau saja yang urus semua perusahaan Papa. Lagipula kan sudah ada Anggun yang membantu. Kenapa aku harus turun tangan juga?"
Hih! Irene mengeram gemas. Adiknya itu memang keterlaluan. Entah dari apa otaknya itu terbuat? Bikin laporan begini saja tak bisa?
"Itu kan perusahaanmu juga. Maju atau tidak perusahaan itu tergantung padamu."
"Padamu juga." Karina tak mau kalah. "Wasiat Papa adalah saham 30% milikmu, 30% milikku."
Huh ... Irene mendesah panjang. Tadinya dia sama sekali tak ingin menerima warisan apa pun dari Santoso, tetapi Rosmia yang memaksa. Selama berbulan-bulan Rosmia terus mendatanginya, meminta maafnya, dan melakukan semua yang tak bisa ibunya lakukan semasa hidup dulu. Dan terlebih lagi Gea bahagia ketika Rosmia memperkenalkan diri sebagai neneknya.
"Betul nenek itu neneknya Gea, Ma?" tanya Gea bersemangat ketika sore itu Rosmia datang lagi mengunjunginya ke rumah dengan membawakan makanan kesukaannya, sayur bayam dan sambal ikan panggang dicampur petai.
Irene mengangguk terpaksa dan Gea girang bukan main. Selama ini dia iri ketika teman-teman di sekolahnya menceritakan soal kakek-nenek mereka, tetapi kini dia tak perlu iri lagi. Tanpa bertanya yang aneh-aneh kenapa dia tiba-tiba punya nenek dan ke mana neneknya selama ini, Gea berjalan ke arah Rosmia yang duduk di sofa dan memeluk kakinya.
"Nenek, main sama Gea, yuk. Di kamar Gea punya punya banyak boneka, deh!"
Rosmia melihat ke arah Irene dengan tatapan memohon. Lama wanita itu terdiam sebelum akhirnya mengangguk. Dan senyum pun tersungging di bibir Rosmia. Kini satu persatu janjinya pada Santoso dan juga istri pertama Santoso terpenuhi. Di sisa hidupnya sebelum menyusul mereka, Rosmia akan menghabiskan sisa umurnya untuk mengurus kedua putrinya dan cucu-cucunya.
"Aku tak sanggup mengurusnya sendiri, Rin. Pekerjaanku sudah terlampau banyak."
"Nah, kalau begitu kamu harus lebih sabar lagi mengajariku. Jangan marah-marah melulu agar kamu tak cepat tua!"
Tapi sampai kapan aku harus mengajarimu? Keluh Irene dalam hati.
"Siapa pun akan marah kalau punya bawahan sepertimu!" Irene menyesap kopinya dan tiba-tiba matanya tertuju pada figura yang membingkai foto keluarganya. Adam, Gea, dan dirinya.
"Dariapa marah-marah terus, lebih baik kamu pulang dan mampir ke salon! Jangan sampai saat suamimu pulang nanti, dia tak mengenalimu karena semakin jelek!" kata Karina yang langsung kabur dari ruangan Irene sebelum ada cangkir melayang ke wajahnya.
Sialan! Gerutu Irene kesal, tetapi tidak ada rasa sakit hati atau tersinggung dalam hatinya. Dia mulai terbiasa dengan Karina. Dengan mulutnya yang tidak memiliki rem dan dengan kepergian Adam yang tanpa kabar.
Diambilnya kaca dari dalam laci dan dipandanginya wajah yang terpantul itu.
Memang sudah lama dia tak ke salon dan merawat diri. Sejak kepergian Adam, Irene menenggelamkan diri dalam lautan pekerjaan agar rasa rindu terhadap pria yang masih berstatus suaminya itu terobati. Namun, sebanyak apa pun pekerjaan yang dia geluti, bayangan suaminya tak pernah mau pergi dari pikirannya.
Irene sangat merindukan lelaki itu, terlebih lagi ketika melihat bagaimana bahagianya adik tirinya bersama suaminya yang baru.
"Masih marahkah kamu, Mas?" tanya Irene pada foto Adam yang ada di depannya. "Tidak bisakah kamu memaafkanku?"
"Melamun lagi?" Suara yang paling tak ingin Irene dengar muncul lagi di ruangannya dan mau tak mau dia menanggapinya.
"Ada apa lagi?" tanyanya pada Karina yang sudah menenteng tas bersiap untuk pulang.
"Jangan lupa mampir ke rumah untuk makan malam. Mama bilang kamu harus datang. Gea juga sudah ada di sana setelah pulang sekolah tadi."
"Hmmm. Cepatlah pulang. Kalau kamu ada di sini terus, pekerjaanku tak pernah selesai."
"Kerja apa ngelamun?"
Baru saja Irene mengangkat cangkir dan hendak melemparnya, Karina sudah mengeluarkan seribu satu jurus monyet lari mengejar pisang.
0 Comments