"Lembur kok gak bilang-bilang sih, Mas?" gerutu Karina ketika siang itu dilihatnya Adam muncul di ruang tamu yang jarang kedatangan tamu. "Aku masak sayur asem, sambel tomat, sama ikan asin kesukaan Mas Adam. Mas mau makan dulu?"
"Batre Mas habis, Rin." Adam menggeleng pelan kemudian merebahkan tubuhnya di sofa yang busanya sudah kempes. Kalau tadi dia sudah sarapan steik dengan kualitas daging terbaik, kenapa sekarang dia harus makan ikan asin? Sesuka apa pun dia, daging lebih sehat, lebih bergizi.
"Aku pijiti ya, Mas." Karin yang sedang hamil delapan bulan langsung melepaskan sepatu suaminya dan memijitinya penuh kasih. Setelah memutuskan hubungan dengan kedua orangtuanya, mertua meninggal, Adam adalah satu-satunya tempatnya bersandar."Capek ya Mas kerja jadi supir?"
Adam berusaha tersenyum sambil memegangi tangan istrinya. "Capeeek banget. Tapi kalau sudah lihat wajahmu, capeknya Mas langsung hilang!"
Wanita itu tersenyum dan menciumi tangan Adam. Dia sangat bersyukur karena setelah lama menganggur, suaminya kini telah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup untuk membiayai kehidupan mereka.
"Mas mau mandi? Biar Karin siapin airnya, ya?"
"Tidak usah, Rin. Mas mau tidur sebentar. Gak apa-apa, kan?"
Karina mengangguk dan meninggalkan suaminya. Dia pasti kelelahan mengantar bosnya ke sana ke mari pikir Karina polos. Padahal suaminya kelelahan bukan karena bekerja, tetapi karena bercinta dengan atasannya, orang yang menggaji dirinya. Dan sejak saat itu pula Adam semakin jarang di rumah. Alasannya ada-ada saja. Kalau tidak lembur ya mengantar bos ke luar kota. Bodohnya, Karina sama sekali tak pernah curiga. Ia percaya bahwa Adam bekerja keras untuk dirinya dan juga buah hatinya.
"Aku hamil, Mas," kata Irene ketika saat itu sedang makan malam di sebuah restoran mewah yang ada di tengah kota. Adam sendiri tidak kaget karena mereka terlalu sering bercumbu dan mereka pun tak pernah menggunakan pengaman. "Kapan Mas akan menceraikan Karina?"
"Tidak sekarang, Rin. Istriku sedang hamil tua. Aku tidak ingin anakku lahir tanpa ayah."
"Lalu bagaimana denganku? Mas rela anak kita jadi anak haram karena tak punya ayah?"
"Aku akan menikahimu, Ir."
"Jadi istri kedua?"
"Aku janji akan kenceraikan Karina kalau sudah waktunya." Tetapi entah kapan waktu yang dijanjikan Adam? Saat-saat itu tak pernah datang. Dan ketika Irene tahu bahwa Karina telah menggugat cerai suaminya, entah kenapa wanita itu tak bahagia. Apakah karena dia tahu bahwa di dalam hati Adam, separuhnya diisi oleh istri pertamanya, Karina.
***
"Mama!" teriak Gea sambil berlari ketika melihat Irene masuk ke dalam rumah. Wanita itu setengah berlutut dan merentangkan kedua tangannya untuk menyambut pelukan putri kecilnya. "Mama kok sampe malem, sih? Gea kangen deh sama Mama."
Diciuminya wajah putrinya dengan penuh cinta hingga gadis cilik itu merasa kegelian. "Mama punya banyak kerjaan, Sayang." Tentu saja Irene berdusta. Dia pulang malam hanya karena tak ingin bertemu dengan Adam. Dia muak melihat lelaki itu yang terlihat berputus asa dan terus-terusan bersedih. Seandainya sedih itu ditujukan untuknya, tentu saja dia bahagia. Namun, sayangnya kesedihan suaminya itu ditujukan untuk perempuan lain, istri pertama yang sebentar lagi akan menceraikannya.
"Makan yuk, Ma. Gea dan Papa sudah masak makanan kesukaan Mama."
"Duh, pinternya anak Mama."
"Anak Papa juga dong, Ma," kata anak itu dengan suara yang menggemaskan. Irene melihat ke arah suaminya yang sedang duduk sambil menatapnya.
"Gea ngapain aja di rumah tadi?"
Gea si kecil yang manja menuntun ibunya ke meja makan sambil berceloteh. Melihat kebahagiaan putrinya, betapa senangnya dia karena ayahnya menemani seharuan penuh, membuat Irene mau tak mau mengenyahkan sakit hatinya. Kekecewaannya.
"Lho, Mama kok gak nyium pipi Papa, sih?" protes Gea ketika melihat Irene langsung duduk di kursinya tanpa menyapa suaminya seperti biasa. Tak ingin mengecewakan Gea yang masih mengawasi mereka dengan matanya yang bulat, Irene terpaksa menyapa suaminya.
"Malam, Mas."
"Malam, Sayang," kata Adam sambil meraih pinggul istrinya dengan lembut, memikat, dan Irene tahu apa arti kata sentuhan itu. Sentuhan seorang suami yang ingin menggauli istrinya. Tetapi begitu sampai di kamar, Irene lebih memilih tidur setelah mandi daripada harus melayani Adam.
"Masih marah padaku?" tanya Adam berusaha memegangi bahu istri yang memunggunginya, tetapi wanita itu diam saja. Sudah bertahun-tahun dia mengalah, bertahun-tahun dia memendam sakit hatinya, tetapi sampai saat-saat terakhir Adam masih saja memikirkan Karina. Namun, salahkah lelaki mencintai istri pertamanya meski mereka sedang di ambang perceraian? Salahkah Adam jika selama ini dia membagi cibta, hati, dan tubuhnya? Toh, sejak awal Irene tahu siapa Adam. Lantas, kenapa sekarang dia harus marah?
"Salahkah jika aku marah pada suami yang memanggil wanita lain di depanku?"
"Dia juga istriku, Ir. Salah jika dalam keadaan mabuk aku memanggil namanya?"
"Salah!" Suara Irene terdengar tawar dan dingin. Belum pernah Adam mendengar suara istrinya seperti itu. Biasanya suara Irene merdu mendayu. Manja minta diperhatikan. Namun, kini entah ke mana istri yang selama dikenalnya. Dan lebih salah lagi kamu menganggap aku dirinya. Kamu mabuk-mabukkan sampai sekarat demi dia! Tetapi kata-kata itu hanya dipendan di dalam dadanya. Dan sekarang seuntai pertanyaan menggelayut di kepalanya. Bukankah aku ingin membalas dendam? Kenapa justru aku yang terluka?
***
"Apa yang Anda inginkan, Pak Santoso?" tanya Irene sinis, dingin, dan melecehkan. Dilihatnya lelaki tua itu dengan amat hati-hati. Rambutnya sudah memutih, kulit keriput, dan dia nampak sangat tua melebihi umurnya. "Saya tidak pernah menyangka Anda akan datang menemui saya."
Santoso tidak berkata apa-apa. Diamatinya betul-betul Irene. Wanita itu terlihat seperti wanita eksekutif. Pakaian, riasan wajahnya, dan tatanan rambutnya nampak sempurna. Rapi. Lenggak lenggok tubuhnya pun memikat, ia tampak piawai membawa dirinya sebagai seorang pebisnis dan Santoso tak bisa jika tidak membandingkan Irene dengan Karina.
"Bapak senang kamu tumbuh menjadi perempuan tangguh, Ir. Ibumu juga pasti bangga."
Mata Irene menatap Santoso nyalang. Seperti seekor chittah yang sedang mengamati mangsanya. Dadanya bergemuruh oleh kemarahan, rahangnya mengatup erat. Berani-beraninya Santoso memanggilnya dirinya sebagai bapak? Hah! Benar-benar tak tahu malu!
"Ibu dan bapak saya sudah mati, bagaimana saya bisa tahu mereka bangga atau tidak?"
"Kamu berhak marah sama Bapak. Berhak membenci," katanya dengan nada yang lemah, khas seperti kakek-kakek seumurnya. "Tapi jangan benci Karin dan ibunya. Mereka tidak bersalah."
Hah! Muak rasanya mendengar ucapan lelaki tua itu! Datang jauh-jauh ke kantornya hanya ingin membela anak-istrinya. Sungguh suami yang baik! Tapi, baikkah namanya jika seorang suami menelantarkan anak-istrinya demi menikahi perempuan lain? Perempuan yang lebih kaya dan lebih cantik.
0 Comments