Untuk pertama kalinya Karina melihat wajah Irene begitu kusut, muram, dan masam. Dia seperti mayat hidup dengan wajah yang pucat seperti itu.
"Silakan kopinya, Bu." Karina meletakkan secangkir kopi yang tadi dipesan oleh bosnya. Wanita yang sudah beberapa hari tak masuk kantor itu menatap ke arah Karin seolah-olah bertanya, kau beri apa kopiku barusan?
"Kopinya aman dari segala macam racun, Bu," ucap Karina sambil membentuk huruf O dengan jarinya kemudian berbalik, tetapi saat Irene mengatakan sebuah pertanyaan padanya, tubuh Karina berbalik dengan otomatis.
"Kamu akan menceraikan Mas Adam?"
Karina menghirup napas panjang dan saking panjangnya dia sampai lupa membuangnya. Wanita itu tak pernah menyangka bahwa Irene akan bertanya secepat ini. Hah, gak percuma jadi seorang direktur. Tegas, langsung ke pokok permasalahan, dan tak mau membuang waktu dengan berbasa-basi.
"Ya. Bukankah itu yang Bu Ir inginkan agar bisa memiliki suami saya secara utuh tanpa harus berbagi."
"Kamu tidak membenciku?"
"Tadinya saya membenci Ibu," katanya mantab dan berjalan ke arah meja bosnya dan mengambil cangkir yang tadi diberikan pada Irene. "Saya haus dan obrolan kita sepertinya akan panjang," lanjut wanita itu menyeruput kopinya lalu duduk di kursi dengan nyaman.
Irene hanya mendesah degan keras tanpa berkata apa-apa selain dadanya yang bergemuruh oleh kejengkelan. Sungguh arogan betul istri suaminya itu! Dia heran entah apa yang membuat Adam mencintainya? Lagak lagunya seenak udel, wajah dan bodynya juga gak sebagus dirinya. Hah, dasar lelaki!
"Saat mengetahu suami saya berselingkuh sampai mempunyai anak, hati saya rasanya tercabik-cabik. Saya ingin tahu wanita seperti apa yang mau menghabiskan waktunya dengan suami saya yang miskin. Saya bahkan ingin balas dendam, ingin merebut suami saya kembali, kemudian saya sadar vahwa suami saya tak berharga untuk diperebutkan. Pengacara orangtua saya sedang menyiapkan berkas perceraian. Saya jamin tak akan lama."
Irene menyunggingkan senyumnya dan menatap Karina dengan perasaan iri dan sakit. "Hah, orangtuamu pasti sangat menyayangimu."
"Tentu!" jawab Karina dengan sombong, dada membusung, dan besar kepala. Hubungannya dengan orangtuanya semakin membaik seperti dulu ketika Karina belum minggat dari rumah. Ditambah lagi sekarang Bagas ikut dengan kakek neneknya, tentu hubungan orangtua dan anak semakin harmonis.
"Baguslah," kata Irene singkat. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah jendela. Ditatapnya bangunan-bangunan yang ada di bawahnya dan deretan kendaraan yang memenuhi badan jalan. Seharusnya dia bahagia bahwa Karina dan Adam akan beecerai, tetapi entah kenapa dia justru tak bahagia. Ada rasa nyeri di dalam hatinya. Ada rasa iri melihat wajah Karina yang cerah ketika membanggakan orangtuanya.
Padahal, bukankah ini yang dulu dia inginkan ketika pertama kali berselingkuh dengan Adam? Setelah dia mencari tahu tentang ayahnya yang tak pernah pulang dan mencarinya hingga membuat ibunya meninggal, Irene mencari tahu semuanya. Siapa perempuan kejam yang merebut suami ibunya. Dan ketika dia tahu Rosmia adalah anak gadis dari bos ayahnya, Irene bertekad akan melakukan hal yang sama pada wanita itu. Yaitu merebut suami putri satu-satunya.
"Di mana anaknya sekarang?" tanya Irene kepada detektif andal yang disewanya untuk menyelidiki tentang Santoso, ayah yang telah menelantarakannya dan ibunya.
"Karina ada di rumah suaminya, Bu. Santoso tak merestui hubungan mereka, dan gadis itu kawin lari."
"Siapa suaminya? Di mana rumahnya? Apa pekerjaan mereka?"
Detektif itu tersenyum. "Tenang, Bu. Sabar. Semua informasi yang Bu Ir butuhkan, ada di sini!" Lelaki itu memberikan amplop coklat pada Irene.
Dibukanya amplop coklat itu dengan cepat. Tak hanya berisi laporan yang detail, juga berisi tentang foto-foto. Ah, jadi ini adik tirinya? Tak secantik yang dia bayangkan! Tetapi ketika melihat foto Adam, rupanya Irene tak hanya tertarik untuk balas dendam, tetapi juga tertarik dengan lelaki itu. Untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun Irene membenci makhluk bernama lelaki, entah mengapa Adam membuatnya jatuh hati.
"Dil, pasang iklan kalau kita sedang mencari supir. Cantumkan gaji yang besar dan tunjangannya."
Sekretaris Irene langsung melakukan perintah bosnya dan tak perlu menunggu waktu lama, orang-orang langsung beradatangan untuk melamar pekerjaan itu dan Adam-lah yang keluar sebagai pemenang.
"Silakan masuk, Pak. Bu Ir sendiri yang akan menjelaskan pekerjaan Pak Adam." Dila membuka pintu dan Adam langsung masuk. Ketika melihat wanita yang akan menjadi bosnya, Adam sama sekali tak menyangka bahwa Irene adalah seorang wanita yang jauh dari bayangannya.
Lelaki itu mengira bakal bosnya adalah perempuan yang gembrot, berkacamata, serta dandanan yang menor dengan rambut yang disanggul sehingga memberi kesan tua, tetapi di luar dugaan wanita yang di depannya itu memiliki postur tubuh yang menggiurkan.
Dadanya nampak membusung dibungkus blazer ketat warna merah dan roknya yang ketat berwarna senada memuat lekukan pinggul dan bokong wanita nampak sempurna.
"Pak Adam?"
Ah, hampir lupa Adam dengan sopan santunnya. Harusnya dia memberi salam terhadap wanita yang seolah sedang memamerkan keindahan tubuhnya itu.
"Ma ... maaf, Bu. Perkenalkan saya Adam."
Irene yang tadinya berdiri sambil membaca sebuah berkas langsung duduk di kursinya. Bibirnya yang basah dan berwarna merah darah menyunggingkan senyuman. Senyum yang bisa membuat pria mana pun akan berdecak kagum dan menelan ludah. "Saya tahu. Oya, bisa mulai bekerja hari ini?"
"Bbi bisa, Bu. Apa yang harus saya kerjakan?"
Setelah menanyakan hal itu barulah Adam nenyesali pertanyaannya. Dia melamar ke sini sebagai supir pribadi, tentu saja pekerjaannya adalah mengantarkan majikannya ke mana pun dia pergi dan bukan ke ranjang hangat bos barunya itu. Namun, ketika malam itu Irene mengundang Adam ke atas tempat tidurnya, lelaki itu tak pernah menyangka bahwa wanita yang memiliki kedudukan tinggi seperti Irene tertarik pada Adam yang kedudukannya hanya seorang supir.
"Apa bedanya supir atau bukan, Dam?" kata Irene ketika Adam hendak menolak undangannya. Tentu saja itu hanya basa-basi belaka, lagipula dia masih normal. Masih bisa membedakan barang kualitas nomor satu dan barang KW.
"Ttapi ... saya sudah beristri, Bu. Istri saya sedang hamil tua."
"Saya tidak keberatan," jawab Irene enteng dan kembali memagut bibir Adam dengan bibirnya yang basah menggoda. Tangannya yang tak mau kalah pun melepas satu persatu kancing kemeja yang membungkus dada bidang lelaki itu dan ketika bibir majikannya mulai turun ke dada Adam, lelaki itu tak menolak lagi, dia pasrah, lagipula sudah lama dia tidak berhasrat sehebat ini. Nafsunya membeludak sampai-sampai Irene bisa melihat tonjolan besar di balik celana supirnya dan apa yang dia inginkan pun akhirnya terjadi.
Di atas tempat tidurnya, dia berhasil membalaskan dendamnya. Dendam yang nikmat. Dendam yang membuatnya merintih puas dan berteriak hebat tatkala suami dari anak yang wanita yang telah menghancurkan keluarganya mengambil kegadisannya dengan sangat jantan dan liar kini lelaki itu terkulai lemas di samping tubuhnya.
0 Comments