Karina tersenyum sinis ketika melihat toples gula di depannya. Dia meraih toples itu dan mulai menyendoki butiran putih ke dalam cangkir. "Diabetes diabetes dah lu!" gumam wanita itu yang sudah memasukkan sepuluh sendom teh gula dan satu sendok kopi.
Setelah menuangkan air panas dan mengaduknya, segera mungkin dia membawa kopi itu ke ruangan Irene yang sudah tak sabar lagi ingin mencari-cari kesalahan agar bisa memarahi istri pertama suaminya itu.
"Lama sekali," sembur Irene begitu melihat Karina masuk ke ruangannya. Diamati lekat-lekat wanita itu. Terlihat lemah, wajahnya memerah seperti bekas gigitan semut, dan kurus. Belum lagi rambutnya yang terlihat tak alami. Hmmph! Dibandingkan dengan dirinya, Irene merasa dirinya lebih baik seribu persen. Dia sendiri heran, apa sih yang dilihat Adam dari wanita itu?
Irene lebih berpendidikan, pengusaha sukses, dan tak memiliki cela. Namun, entah kenapa sulit sekali meminta Adam untuk menceraikan Karina. "Jangan bilang kamu tidur di pantry," lanjut Irene dengan tatapan benci dan risih.
"Saya harus ngerebus air dulu, Bu," sahut Karina meletakkan cangkir kopi persis di depan Irene.
"Lho, kan ada dispenser. Buat apa ngerebus air?"
Karina menggelengkan kepalanya dan tersenyum mengejek. "Ckckck ... sungguh kasihan pria yang jadi suami Bu Irene. Bikin kopi itu paling enak pakai air yang baru mendidih."
Sialan! Maki Irene dalam hati. "Pergilah. Saya masih punya banyak kerjaan."
Karine berbalik dengan senyum kemenangan. "Siapa juga yang mau di sini."
"Ngomong apa tadi?" tanya Irene yang membuat langkah Karina berhenti tepat di depan pintu.
Karina membalikkan tubuhnya dan memberikan senyum termanis yang dia punya. "Ah, gak apa-apa kok, Bu. Silakan diminum kopinya, Bu. Keburu dingin. Nanti gak enak, loh."
Begitu Karina menutup, Irene meminum kopinya dan menyemburkan kembali. Karina yang menguping di balik pintu bisa mendengar jelas bagaimana bosnya mengumpat. "Karina sialan! Kau mengerjaiku lagi!"
Wanita itu terkekeh dan melangkah penuh percaya diri meski seragamnya bukanlah seragam eksekutif melainkan seragam office girl, jabatan yang dianggap paling rendah di perusahaan.
"Rasain lu! Emang enak?!"
***
Irene meremas kasar kertas di depannya yang terkena muncratan kopi dari mulutnya. Sialan betul si Karina! Pikir Irene jengkel. Nia meminta tim HRD untuk merekrut Karina karena ingin mengerjainya, tetapi justru dialah yang dikerjai. Hah, sungguh lancang pegawai rendahan itu.
Wanita itu langsung mengambil kaca di lacinya, membetulkan riasannya dan menyemprotkan parfum ke tengkuk lehernya. Dipijitnya perlahan kedua pelipisnya untuk menghilangkan stress agar tak muncul kerutan di dahinya. Setelah cukup rileks, Irene manganbil ponselnya di laci dan berusaha menghubungi lagi suaminya. Sudah seminggu Adam tak bisa dihubungi, dia juga tidak pulang ke rumah. Irene yakin tidak terjadi sesuatu dengan suaminya karena Karina bersikap biasa saja di kantor, tetapi dia sungguh ingin tahu apa alasan suaminya itu mengabaikan dirinya. Mungkinkah Karina meminta Adam untuk menceraikan Irene karena sudah tahu perselingkuhan mereka?
Ah, Irene benar-benar kehabisan akal.
"Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang berada di luar jangkauan."
Irene menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata kuat-kuat lalu meminta sekretarisnya untuk memanggilkan taksi. "Kalau kamu tidak datang padaku, biar aku yang mencarimu," gumam Irene sambil bersiap-siap mencari suaminya ke rumah yang ditinggalinya bersama Karina.
"Sudah sampai, Bu," kata supir taksi begitu ia sampai di depan rumah yang terlihat kumuh dan reot. Rumah itu rumah tua yang sama sekali tidak terawat dan hal itu mengingatkan Irene pada rumahnya di masa lalu. Sesaat, perasaan pedih menyayat hatinya karena bayang-bayang Ibu yang tiba muncul.
Masih melekat di ingatan Irene bagaimana ibunya saat meninggal dengan tragis. Dia tak pernah menerima pengobatan hingga detik-detik terakhir. Tidak ada acara pemakaman yang layak karena Bulik tak mau direpotkan. Katanya, dia kesusahan karena Paklik tak pernah lagi mengirimkan uang. Irene kecil hanya bisa pasrah lantaran hanya Bulik-lah satu-satunya keluarganya. Dan satu-satunya keluarganya jugalah yang membuang Irene kecil ke panti asuhan karena wanita kejam itu tak mau merawatnya. "Anak yatim harus tinggal bersama anak yatim," kata Bulik sesaat sebelum meninggalkannya yang sudah berderai air mata.
"Rene bukan yatim. Rene punya bapak!"
Langkah Bulik terhenti dan berbalik. Ia menatap Irene dengan pandangan mencemooh kemudian berjalan mendekati keponakannya itu dan memeluknya. Ia lalu berbisik,"Bapakmu telah membuangmu dan ibumu, Ir. Bapakmu sudah punya istri lagi sekarang."
Irene tak mau mempercayai kata-kata Bulik. Didirongnya tubuh wanita itu kuat-kuat hingga terjungkal ke belakang. "Bulik bohong! Bulik pembohong!"
Bulik hanya tertawa dan meninggalkan Irene yang terpaku sambil menatapnya. Dia tak peduli Irene percaya atau tidak, yang penting beban di pundaknya sudah lepas.
Bohong! Irene masih mempercayai jika kata-kata Bulik adalah kebohongan. Barulah ketika dia berada di panti asuhan beberapa bulan dan tak ada sosok Santoso yang mencarinya, dia akhirnya percaya bahwa apa yang dikatakan Bulik benar. Bapaknya telah mencampakkan dirinya dan ibunya. Bapaknya kawin lagi dengan perempuan lain dan membuang mereka seperti sampah. Butir-butir kebencian mulai bercokol di hati gadis kecil itu dan dia bersumpah pada dirinya sendirinya, demi ibunya yang telah meninggal, bahwa suatu saat dia akan membalaskan dendam pada ayah kandungnya sendiri dan keluarga barunya. Mereka harus merasakan sakit seperti sakit yang dia alami.
***
Irene menarik napas dalam-dalam sebelum melongok ke dalam rumah melalui kaca. Tidak ada orang kecuali sofa dan meja yang berantakan. Nampaknya habis ada perkelahian di sana, pikir Irene. Dia jadi penasaran dengan apa yang terjadi di rumah suaminya itu.
Irene menggeser pandangannya pada pintu, tidak tertutup rapat apalagi terkunci. Tnpa permisi wanita itu langsung masuk ke dalam. Aroma lembab dari tembok yang berjamur langsung memprotes hidungnya. Ditambah lagi bau asap rokok yang membuatnya dada sesak.
Dengan langkah perlahan dan pasti, wanita itu membuka kamar satu persatu sambil menutup hidungnya. Dan ketika membuka kamar terakhir, ia melihat suaminya terduduk di lantai dengan beberapa botol minuman keras yang berhamburan. Lelaki itu menatap Irene dan tiba-tiba merangkak di kakinya.
"Karin, kau pulang, Sayang? Maafkan aku telah menamparmu. Aku ...." Tangan Adam yang memegangi kaki Irene makin kuat dan tiba-tiba lelaki itu menciumi kakinya. "Aku hanya cemburu, Karina. Aku cemburu pada lelaki itu. Tolong maafkan aku."
Hancur hati Irene! Dadanya terasa sangat sesak dan matanya memanas.
"Sayang? Kenapa kau diam saja? Hmm?" Lelaki itu mendongak ke atas dengan tatapan yang memelas. Di sudut matanya, Irene bahkan bisa menangkap butiran air mata. "Maafkan aku, Rin. Aku tidak masalah jika kau berselingkuh, asal kau tidak pergi dariku, aku bisa memaafkanmu."
Oh, jika kiamat benar-benar ada, barangkali sekaranglah saatnya. Irene benar-benar sakit hati. Dadanya berdenyut nyeri. Seluruh tubuhnya gemetar menahan marah. Air matanya perlahan menerobos pertahanannya. Berani-beraninya Adam, memeluk kakinya, tetapi menyebutkan nama wanita lain.
0 Comments