Brian bisa merasakan punggungnya yang basah karena air mata Karin. Dia juga merasakan bagaimana kuatnya wanita itu mencengkram bahunya. Tubuhnya ikut bergetar karena menahan sesuatu yang bergejolak pada dirinya. Oh, rasanya Brian ingin sekali membalikkan tubuhnya dan membiarkan pujaan hatinya menangis di dadanya yang bidang.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Brian membuka mulut. "Rin ...."
Untuk pertama kalinya Karina mendengar Brian memanggil namanya dengan suara yang amat hangat dan sejenak dadanya seolah akan meledak. "Ya?" Karina melepaskan pipinya dari punggung Brian yng membuatnya merasa nyaman dan terlindungi.
Pria itu berbalik dan tanpa berkata apa-apa, ia menarik tubuh Karin ke dalam pelukannya. "Menangislah sampai air mtamu habis." Dan sekali lagi Karina menumpahkan air matanya. Lebih deras. Lebih keras. Dan getar punggungnya lebih hebat. Barangkali, ini adalah tangis yang keluar setelah sekian lama dipendamnya.
Dan untuk pertama kalinya juga Brian memeluk Karina. Dielusnya punggung wanita yang tenggelam di dadanya. Dikecupnya rambut palsu yang basah karena keringat, tetapi terasa nikmat. Ah, rasanya Brian tidak ingin saat-saat seperti ini berakhir. Nakun, adilkah membiarkan wanita yang dicintainya terus mengeluarkan air mata? Apalagi air mata itu demi pria lain. Demi suaminya.
"Tolong antarkan saya pulang," kata Karin begitu ia berhenti menangis. Saat hendak menarik diri dari pelukan Brian, lelaki itu mencegahnya. Ia melingkarkan tangannya di tubuh Karina hingga perempuan itu tak bisa mengelak karena kehabisan tenaga.
"Ke mana aku harus mengantarmu pulang? Rumah suamimu atau orangtuamu?"
"Ke rumah orangtua, Dok."
Brian memegangi bahu Karin dan mengangkat dagunya perlahan menggunakan tangan kiri. "Sudah kubilang kan, bisakah kau memanggil namaku? Dan sebaiknya mulai sekarang berhentilah bicara formal."
Karina mengangguk tanpa sadar. Dia telah terhipnotis wajah pria tampan yang ada di depannya.
"Kalau kau pulang ke rumah, orangtua dan anakmu pasti kuatir. Aku akan mengantarkanmu ke sana setelah lebam di wajahmu hilang."
Ah. Karina mengaduh. Dia baru sadar kalau rahangnya masih sakit karena tamparan Adam.
"Terus, ke mana aku harus pulang?"
"Tinggallah sementara di rumahku."
"Ru ... mahmu?" Karina buru-buru menggelengkan kepalanya. Mengusir pikiran kotor yang tiba-tiba hinggap di otaknya. Seorang pria dewasa dan wanita yang sama-sama dewasa pula, mana mungkin tak terjadi apa-apa saat tinggal di satu rumah.
Brian menyunggingkan senyumnya yang paling patin. Di mana Karin, entah kenapa lelaki utu terlihat lebih tampan dari biasanya." Singkirkan pikiran kotormu itu Nyonya Brian!" kata Brian sambil mendorong kepala Karin menggunakan ujung jarinya.
"Siapa yang berpikiran kotor?" Karin buru-buru memperbaiki posisi duduknya. Menghadap ke depan karena dia tak mau melihat tampang Brian yang mengandung magnet. "Dan siapa yang kamu panggil Nyonya Brian?"
"Siapa lagi? Ada orang lain kah di sini?"
"Terserah!" Karin sudah kehabisan kata-kata. Dengan cepat dia melepaskan wignya dan melemparnya ke kursi belakang. Sesaat saat mengelus kepalanya, ia bisa merasakan rambut yang mulai tumbuh. Terasa kasar, geli, dan menyakitkan seolah-olah ada seribu jarum yang menusuk ke dalam jantungnya.
Seolah tahu keresahan Karin, Brian langsung melajukan mobil sambil berbicara. "Rambutmu akan tumbuh lagi. Tidak perlu kuatir. Dan kau tetap cantik."
Karin melengos dan menatap sinis ke arah Brian. "Ah, matamu saja yang error. Penilaianmu tentang wanita cantik terlalu out of the box!"
"Hanya pria buta yang bilang kau tidak cantik."
"Justru merekalah yang waras," jawab Karin kesal dengan suara meninggi. Namun, Brian justru tertawa lepas. Tidak tersinggung sama sekali.
"Kau tahu, Rin?"
Tanpa sadar Karina menoleh dan mata mereka akhirnya bertemu. Ada debar hangat saat kedua pasang mata itu bertatapan. Ada gejolak aneh yang mereka sama-sama tahu apa namanya.
"Apa?"
"Sikapmu yang pemarah itulah yang membuatmu makin cantik. Membuatku makin tertantang."
Ah, ya Tuhan! Karina buru-buru melihat ke arah lain. Kalau tidak, jantungnya bisa meledak!
***
Ibu tidak berkata apa-apa begitu melihat Brian dan Karin berdiri di depan pintu. Wanita paruh baya itu hanya tersenyum lalu menggandeng tangan Karin. Melihat kedua wanita itu berjalan bersama membuat Brian bahagia. Dia tak keberatan seandainya Karin ingin tinggal di sini selamanya.
"Ibu tidak bertanya siapa saya?" tanya Karin heran karena sejak tadi Ibu tidak bertanya apa-apa, tetapi Karin tahu bahwa Ibu tidak membencinya. Perlakuan wanita itu hangat, persis seperti ibu kandungnya sendiri.
"Minumlah tehnya dulu sambil nunggu Ririn beresin kamar tamu."
"Maaf merepotkan, Bu."
"Justru Ibu senang Brian akhirnya membawa pulang seorang wanita. Ah, Ibu jadi gak sabar menimang cucu."
Karina tersedak saat mendengar kata-kata Ibu. Tahukah ibunya Brian kalau aku sudah menikah? Pikir Karin yang tiba-tiba resah. Dan tahukah Ibu kalau aku seorang perempuan yang berpenyakitan? Ah, Karin tiba-tiba merasa pusing memikirkan hal ini.
"Mbak, kamarnya sudah siap!" teriak Ririn sambil berlarian. Tanpa basa-basi dia langsung duduk di samping Karin dan bersandar di bahunya. "Ah, harusnya Mbak Karin tidur sama Ririn aja. Ah, Mas Brian, sih. Merusak acara!"
"Mbakmu kan butuh istirahat Cah Ayu. Toh, biasanya kan kamu juga tidur sendiri."
"Tapi kan Ririn ingin merasakan tidur sama Mbak Karin, Bu. Sejak kecil Ririn satu-satunya anak gadis di rumah ini."
Brian yang baru saja keluar dari kamar dengan rambut basah langsung melempar handuk ke wajah Ririn. "Siapkan makan malam dan biarkan Mbak Karin-mu itu mandi."
"MAS BRIAN!" teriak Karin kesal sambil melempar balik handuk basah Brian. "Lihat tuh Mbak kelakuan Mas Brian. Mentang-mentang Ririn masih kecil," adu Ririn manja tanpa rasa kikuk sedikit pun. Meski baru kali ini bertemu dengan Karina, gadis itu sudah sangat menyayanginya. Mungkin, karena pertemuannya dulu ketika ia hendak dilahirkan. Dan yang pasti, atas kebaikan Karina-lah Ririn terlahir ke dunia ini dengan selamat.
Melihat anak-anaknya berulah, Ibu hanya tersenyum. Baru kali ini dia melihat anak lelakinya begitu hidup, begitu bersinar, dan bersikap layaknya seorang kakak terhadap adiknya. Selama ini Brian hanya tahu bagaimana cara belajar dan mencari uang, tetapi sejak kehadiran Karin dalam hidupnya, Brian mulai mengerti apa artinya hidup. "Sudah sudah. Kalian ini ribut aja terus."
"Mas Brian tuh, Buk. Ayo Mbak, Ririn tunjukin kamarnya!"
Karina menggandeng tangan gadis itu tanpa ragu dan di rumah Brian, dia merasakan kehangatan.
0 Comments