"Mau masuk atau di mobil terus, Dok? Ada satpam, tak tak perlu takut mobilnya dicolong orang," ucap Karin melongok ke dalam mobil melalui jendela mobil yang kacanya terbuka.
"Saya sedang menunggu Tuan Rumah untuk menjemput," balas Dokter Brian keluar dari mobil dan mengambil tas Karin dari kap belakang mobilnya. "Jangan lupa membayar saya dengan secangkir kopi."
Karin yang sudah menaiki tangga menuju pintu masuk langsung menoleh ke belakang dan melihat pria yang sedang mengenakan kemeja biru tua yang dipadupadankan dengan celana warna hitam. Dokter Brian terlihat seperti embun yang disinari terik matahari pagi. Menyilaukan dan bercahaya. "Murah sekali harga Anda."
Dokter Brian tersenyum dan memperlihatkan lesung pipi yang menjadi salah satu daya tariknya. "Satu cangkir kopi setiap pagi. Bagaimana?"
Karin langsung cepat-cepat berpaling. Walaupun jengkel karena Dokter Brian selalu menggodanya, tetap saja dia adalah seorang wanita yang bisa merasa malu karena tahu apa yang dimaksud lelaki itu. Sebelum membuka pintu, Karin memperhatikan sekelilingnya. Tak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti pada hari dia meninggalkan rumah orangtuanya. Dan tanpa terasa, matanya berkaca-kaca mengingat bagagaimana ia diusir oleh ayahnya yang menentang pernikahannya dengan Adam. Seketika itu juga Karin terhenyak, nama Adam beberapa hari ini tidak mampir di kepalanya. Di manakah lelaki itu? Tidakkah dia khawatir karena anak istrinya belum pulang? Atau jangan-jangan dia sendiri yang belum pernah pulang ke rumah dan justru asik bermesraan dengan madunya? Karin menggenggam erat gagang pintu dan matanya berkobar dengan amarah. Cinta yang dia berikan, semua yang telah dia korbankan, lupakah Adam dengan semua itu?
"Sedang memikirkan suami Anda?"
Suara laki itu menyentakkan kesadarannya. "Sejak kapan Dokter jadi peramal?" sahut Karin judes seperti biasa lalu masuk ke dalam rumah yang sudah hampir sepuluh tahun ditinggalkannya. Rumah di mana dia dilahirkan dan dibesarkan.
"Karin?" gumam Papa begitu melihat putrinya membuka pintu. Dia hampir tak percaya bahwa anaknya itu benar-benar kembali ke rumahnya.
"Halo, Pa. Mama mana?"
Buru-buru Papa menyeka matanya yang basah di balik kacamata sebelum Karin menyadarinya. "Di dapur. Bikin pisang goreng. Siapa yang mengantarmu pulang, Rin?"
Wanita itu menahan tawa lalu menoleh ke arah samping. "Papa gak kenal dia?"
Santoso lekas berdiri dan berjalan mendekat. Begitu melihat sosok Dokter Brian dengan jelas, dia hampir tak percaya. "Selamat pagi, Pak Santoso. Maaf mengganggu pagi Anda."
"Selertinya saya perlu ganti kacamata! Ayo masuk. Dokter belum sarapan, kan? Dokter Brian suka pisang goreng?"
"Saya bisa makan apa saja, Pak," jawab Dokter Brian dengan perasaan tak karuan. Dia merasa seperti seorang pria yang datang ke rumah gadisnya untuk meminang. Ada perasaan takut dan grogi.
"Berarti Dokter bisa makan rumput juga, dong?" goda Karin yang langsung menyeruput kopi di cangkir papanya.
"Hus! Gak sopan. Cepat panggil Mamamu, bilang kalau Dokter Brian datang berkunjung."
"Siapa yang berkunjung? Dokter cuma nganter Karin, kok. Gak ada yang istimewa."
Pria paruh baya itu mendesah dan merasa malu. Karin ... Karin ... kapan kamu bisa bersikap seperti usiamu?
"Maafkan anak saya, Dok."
"Tidak apa-apa, Pak Santoso. Saya sudah terbiasa."
"Terbiasa cari perhatian ya, Dok?"
"Karin!" sentak Papa yang kesal dengan kelakuan putrinya.
"Iya deh, iya. Karin panggil Mama ...," balas Karin sambil lalu menuju dapur di mana Mama sering menghabiskan waktunya kalau Papa sedang pergi ke kantor.
"Ma, buruan deh ke depan!"
Rosmia tidak kaget suara siapa yang didengarnya barusan. Sejak tadi suara itu sudah mengganggu telinganya.
"Ada siapa memangnya? Suamimu?"
"Bukan. Suami Karin sedang asik sama selingkuhannya."
Mama geleng-geleng. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya ada di benak putrinya. Membicarakan perselingkuhan suaminya seperti sedang menawar bayam di tukang sayur.
"Kamu yakin tidak mau menggugat cerai Adam? Perusahaan kita kan punya banyak pengacara."
Karin menyomot pisang goreng yang baru diangkat Mama. "Panas!"
"Tunggu dingin dulu."
"Kalau dingin gak enak, Ma," sahut Karin langsung menggigit pisang goreng yang renyah sekaligus manis. "Mama lupa? Karin kan sudah dicoret dari KK. Jadi, perusaan Santoso punya Papa. Bukan punya Karin."
Mama mendengus pelan dan melihat Karin yang mulutnya sedang terbakar, tapi tak berhenti makan. "Semarah-marahnya Papamu, kamu tetap anaknya. Tidak ada orangtua yang tak sayang dengan anaknya. Kalau bukan kamu yang mewarisi perusahaan, siapa lagi?"
"Nah, berikanlah pada Bagas. Dia lebih cocok jadi penerus Papa."
"Kamu yakin tidak mau bercerai?" tanya Mama sekali lagi dengan nada yang lebih serius.
"Tidak, Ma. Setidaknya untuk sekarang."
Mama mendengus pasrah kemudian membawa sepiring pisang kepok goreng yang masih panas. "Lakukan sesukamu, Papa dan Mama hanya bisa mendukungmu."
***
"Mau ke mana, Mas?" tanya Irene ketika suaminya sudah beeganti pakaian dengan necis.
"Mau ke rumah orangtua Karin. Setelah kupikir-pikir, ada benarnya juga ucapanmu."
"Memangnya mereka mau menemuimu?"
Adam terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan istrinya. "Sudah lebih dari sembilan tahun, masak mereka belum bisa menerimaku sebagai menantunya, sih?"
"Kalau begitu, antarkan aku sekalian ke kantor," sahut Irene datar
Adam tidak berkata-kata lagi melihat istrinya yang belakangan pelit senyum saat di luar kamar. Dia tahu persis apa permintaan istrinya, yaitu menceraikan Karin dan meninggalkan Bagas.
"Aku akan menjemputmu saat sore nanti," kata Adam begitu mobil yang dia kendarai berhenti di depan perusahaan milik Irene.
"Tidak usah. Aku bisa naik taksi. Kamu cari saja istri dan anak kesayanganmu!" balas Irene langsung keluar dari mobil.
Duh, wanita. Maunya menguasai meski sudah diberikan yang terbaik. Gerutu Adam jengkel dan langsung melajukan mobilnya menuju rumah orangtua istri pertamanya.
Adam menghentikan mobil persis di depan gerbang dan langsung menuju pos satpam. "Selamat siang, Pak. Bu Karin ada?"
"Anda siapa ya, Pak? Ada keperluan apa?"
"Saya suaminya, Pak. Adam."
Pak Ilham memang tahu majikannya kabur dengan laki-laki, tapi dia tak pernah melihat kekasih majikannya itu. Kalau dilihat dengan saksama sih termasuk ganteng, mobilnya juga bagu, entah kenapa bosnya tidak merestui mereka. Dasar orang kaya kemauannya susah ditebak. "Sebentar ya, Pak. Saya telepon ke dalam dulu."
Adam dengan sabar menunggu Pak Ilham. Jadi benar Karin dan Bagas ada di sini? Pikir Adam geram. Apakah mereka sudah bosan hidup melarat dan tinggal di rumah peninggalan orangtuanya yang reot?
"Pak, katanya suruh masuk. Non Karin menunggu di dalam."
Begitu Pak Ilham membukakan gerbang, Adam langsung langsung memasukkan mobilnya ke halaman rumah. Rumah itu tetap mewah, terlihat nyaman, pantas saja istrinya kabur ke rumah orangtuanya.
"Untuk apa kemari, Mas. Masih ingat anak istrimu?" Suara Karin terdengar lantang saat Adam turun dari mobilnya. "Aku kira kamu tak ingat aku lagi."
"Kok aku? Bukannya kamu yang tidak pernah pulang ke rumah? Aku menunggumu di rumah dan mencari-carimu."
Karin menuruni tangga dengan angkuh. Oh, rasanya dia ingin sekali memukul suaminya dan menyeretnya ke depan selingkuhannya. "Mobilmu bagus ya, Mas. Pakaianmu juga. Persis kayak orang kaya."
"Ini kan mobil bosku. Pakaian ini juga baru dibelikan bosku. Ke mana Bagas? Aku ingin membawa kalian pulang."
"Bagas sekolah. Jangan bilang Mas lupa kalau."
"Sekolah mana? Aku mencari ke sekolahannya, tapi katanya sudah pindah. Kamu kenapa sih, Rin? Tiba-tiba kabur dari rumah."
"Mas pikir saja sendiri. Kalau sudah ketemu jawabannya, besok datang lagi!" jawab Karin langsung berbalik dan mulai melangkah, tapi Adam terlalu cepat meraih tangan Karin dan menyeretnya ke dalam mobil.
"Mas, lepaskan aku!"
"Kamu istriku! Aku berhak melakukan apa saja padamu!"
0 Comments