"Kenapa sih, Mas? Ingin cepat-cepat pulang ke rumah istri tua?" tanya Irene yang sedang menyiapkan kopi untuk suaminya. Dia memang sedang memikirkan sesuatu, tapi bukan Karin. Yang dia pikirkan adalah Anggun.
Buru-buru pria itu meraih linggul Irene yang masih ramping dan mencium tengkuknya. Pagi-pagi begini, Irene sudah cantik dan wangi karena semua pekerjaan dilakukan oleh pembantu. Beda sekali dengan istri pertamanya yang tak bisa lagi menjaga badan dan penampilan. Pakaiannya selalu lusuh, badan gembrot setelah melahirkan Bagas, dan pagi-pagi sudah bau keringet. Berapa kali pun mandi, Karin tak pernah bau parfum seperti Irene. Kalau ditimbang-timbang, Adam merasa Irene jauh lebih muda daripada Karin meski usia Irene lebih tua.
"Siapa yang mikirin Karin? Aku sedang memikirkan yang lain."
"Apa?" jawab Irene judes.
"12Aku heran, kenapa istriku yang satu ini makin hari makin cantik," ucap Adam mengerutkan pelukannya dan Irene merasa berbunga-bunga karena dipuji. Tidak percuma setiap hari dia diet, seminggu sekali ke salon, dan spa. Umur boleh tua, tapi kalau ada uang beda cerita. Di kepala empat, kulit Irene tak kalah kencang dengan gadis umur duapuluhan.
"Sejak kapan pinter ngerayu?"
"Kalau aku tak pandai merayu, kamu tidak akan jatuh ke pelukanku."
Hati Irene berdenyut kencang. Seandainya Adam satu-satunya miliknya, pasti dia akan menjadi wanita yang paling bahagia di dunia.
"Sayang?" Adam menciumi bahu istrinya dengan mesra dan mampu membangkitkan gairah Irenen meski hari masih pagi
Wanita itu merangkulkan tangan di leher suaminya, mencium bibirnya, dan melumatnya dengan mesra. "Bawa aku ke kamar, Mas."
"Ternyata istriku belum puas semalam?"
Irene mengerutkan bibirnya, membalas pertanyaan suaminya dengan manja. "Aku tidak pernah puas kalau denganmu."
"Bersiap-siaplah, Sayang. Akan kujamin kamu tak bisa bangun dari ranjang!"
***
Adam meninggalkan Irene yang masih terkulai di atas kasur dan mengenakan pakaian yang yang hanya digunakan saat bersama istri keduanya. Kemeja bermerk terkenal, celana necis, dan jam tangan mahal.
"Kamu janji tidak akan pulang ke rumah Karin, kan?" tanya Irene manja dan masih terengah karena Adam begitu luar biasa.
"Janji. Aku hanya pergi sebentar setelah itu pulang."
"Gak bohong?"
Adam tersenyum dan mendekati Irene lalu mencium keningnya. "Suwer. Kalau bohong, disamber gledek!" Dan akhirnya dengan berat hati Irene melepaskan kepergian Adam. Pria itu bilang padanya bahwa dia ingin menemui Anggun di sebuah cafe yang tak jauh dari rumahnya.
"Ada apa? Tumben ngajak ketemu. Di kafe, lagi," sindir Anggun ketika Adam duduk di depannya dengan gaya bak orang kaya. Dari ujung kaki sampai ujung kepala, semuanya terlihat berkelas. Beda sekali saat sedang bersama Karin. "Enak ya punya simpanan tante-tante?"
"Dia istriku. Bukan simpanan."
"Oohhh. Istri tua atau muda?" tanya Anggun tak acuh sambil menyeruput es kopi di depannya.
"Istri muda, dia adalah bosku di kantor."
Wanita itu tersenyum sinis kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi. "Hebat kamu, Dam. Bisa menggaet bosmu sampai tempat tidur."
"Nggun, aku ke sini bukan untuk membicarakan hal itu."
"Terus?"
Dengan cepat Adam meraih tangan Anggun, tetapi gadis itu buru-buru melepaskannya. "Sorry, Dam. Aku bukan pagar makan tanaman."
"Maaf, Nggun. Aku cuma ingin minta tolong sama kamu."
"Apa?"
"Tolong jangan katakan pada Karin tentang apa yang kamu lihat. Aku akan memberikan apa pun yang kamu mau."
Sekarang Anggun benar-benar merasa muak dan jijik. Dia tidak menyangka Adam yang selama ini dikenalnya sebagai suami yang sederhana dan alim ternyata seorang buaya. Oh, sungguh bodohnya Karin meninggalkan istananya demi pria seperti dia. "Tenang saja, Dam. Aku sudah memberitahu Karin, tapi dia tidak percaya padaku. Di hatinya, suami brengsek sepertimu yang lebih bisa dipercaya!"
***
"Ma? Papa gak pulang, ya?" tanya Bagas ketika sudah jam makan malam, tetapi Adam belum pulang juga.
"Masih di luar kota, Sayang. Katanya hari Minggu baru pulang."
"Luar kotanya mana, Ma?" Nah, yang ini juga Karin tidak tahu. Dia tidak pernah tanya ke mana dia bosnya akan pergi. Lagipula, Karin merasa tak perlu tanya-tanya karena lelaki juga tidak suka ditanya-tanya, apa lagi dicurigai.
"Mungkin ke Bandung," jawab Karin asal sambil melahap nasi dan lele goreng di tangannya.
"Kok, mungkin?" tanya Bagas lagi dan Karin tak jadi mengambil sambal petai di depannya.
"Ya, mungkin. Soalnya Mama gak tahu Papa ke luar kotanya ke mana."
"Cerai itu apa sih, Ma?"
Pertanyaan Bagas kali ini langsung membuat nasi yang ada di mulut Karin menyembur keluar. Buru-buru dia mengambil minum. Untung tak tersedak. "Siapa yang cerai?" tanya Karin penasaran. Dari mana sih anaknya dapat kosakata itu? Anak SD kok pembicaraannya aneh-aneh. Gara-gara emaknya nih, pasti. Kebanyakan nonton sinetron, alhasil anak ikutan nonton.
Bagas yang sedang menggigit kepala lele pun berhenti mengunyah dan melihat ke arah Karin yang menunggu jawaban putranya. "Itu loh, Ma. Dendi. Tadi di sekolah cerita katanya orangtuanya mau cerai."
"Terus?"
"Dendi ditanya, mau ikut mamanya atau papanya?"
"Terus?"
"Dendi bingung mau ikut siapa. Memangnya kalau cerai harus milih ikut siapa?"
Hmmm. Karin diam sejenak. Membahas perceraian dengan anak umur tujuh tahun bukanlah hal mudah. Selain itu, Karin juga tak pandai bicara. Jangankan cerai, kata-kata itu mampir di otaknya saja tidak pernah. "Dengerin Mama. Cerai itu artinya mama dan papanya Dendi pisah rumah."
"Gak bisa tinggal sama-sama lagi?"
Karin menggeleng cepat.
"Gak bisa bobok bareng lagi?"
"Gak bisa."
"Hmm. Papa dan Mama gak akan cerai, kan? Soalnya kalau kalian cerai, Bagas bingung mau ikut siapa," ucap Bagas melanjutkan memakan lelenya yang kedua. Biarpun Karin tak pandai memasak, Bagas tak pernah protes rasa masakan ibunya. Apa pun yang tersedia di meja, pasti akan dia lahap. Sementara itu Karin jadi ikutan bertanya pada dirinya sendiri. Seandainya perkataan Anggun benar bahwa suaminya selingkuh, apa yang harus dia lakukan? Apakah lebih baik bertahan atau bercerai? Lagipula, bukankah dia sendiri yang meminta suaminya mencari istri? Lalu apa bedanya punya istri lagi dan selingkuh?
"Ma!"
Karun tersentak mendengar suara anaknya. "Mama ngelamunin Papa, ya?"
"Gak. Ngacok aja kamu. Gas ...."
"Apa?"
"Bagas mau gak punya ibu tiri?"
"Ogah! Kata teman-teman Bagas, ibu tiri itu jahat "
Teman-temanmu pasti keseringan nonton sinetron tak bermutu seperti Ratan Anak Tiri. Cibir Karin dalam hati.
"Ma?"
"Apa lagi?" tanya Karin yang mulai hilang kesabaran karena anaknya bertanya terus. Kadang-kadang Karin merasa seharusnya dia melahirkan anak perempuan karena Bagas begitu cerewet dan suka bertanya.
"Tante yang foto sama Papa itu siapa sih, Ma?"
Foto? Karin mengernyitkan dahinya. "Foto mana? Kok Mama gak pernah lihat?"
0 Comments