"Ma, Papa belum pulang, ya?" tanya Bagas ketika aku menemaninya makan malam. Anak semata wayangku yang berusia tujuh tahun itu selain ganteng, dia juga pintar. Gak jauh beda lah sama aku. Smart. Ya ... yang namanya buah jatuh pasti gak jauh dari pohonnya kecuali buahnya diambil monyet sebelum sempat jatuh.
"Belum, Sayang. Kenapa?" tanyaku penasaran. Jarang-jarang Bagas menanyakan soal Papanya. Lagian, Mas Adam sering pulang larut, kok. Malah dia jarang pulang kalau sedang menemani bosnya ke luar kota atau ke luar negeri. Kalau gak lembur nyupirin bosnya ke luar kota ya katanya kerja tambahan untuk biaya hidup sehari-hari. Kata Mas Adam, sebentar lagi Bagas mulai tumbuh dewasa dan mulai menghabiskan banyak biaya untuk pendidikannya. Mas Adam ingin yang terbaik untuk sekolah Bagas. Itu sebabnya dia bekerja keras untuk keluarga.
"Bagas kangen main sama Papa. Kenapa sih Ma Papa jarang ada di rumah?" tanya Bagas menghentikan acara makannya. Dia menatap ke arahku dengan sorot sedih dan bibirnya yang tipis kemerahan dimonyongkan. Dia terlihat lucu sekali kalau seperti itu. Pipinya yang berwarna kuning langsat bersemu kemerahan.
"Papa kan kerja. Doakan saja biar Papa dapat uang banyak dan kita bisa jadi kaya!" balasku penuh semangat agar tidak menambah kesedihan di hati Bagas.
"Kalau gitu Bagas mau berhenti beli mainan deh, Ma. Biar Mama bisa ngumpulin uangnya dan kita cepet kaya. Kalau gitu kan Papa gak perlu kerja terus."
Aku tersenyum mendengar perkataan bocah itu sekaligus sedih. Sejak bayi Bagas memang jarang bersama Mas Adam. "Yasudah, kalau sudah selesai makannya, cuci piringnya, gosok gigi dan belajar."
Tanpa menyahut, Bagas yang sudah selesai makan pun langsung menuju dapur. Ya, meskipun aku ini perempuan matrealistis, aku tetap mendidik Bagas dengan cukup baik. Mengajarinya agar bertanggung jawab dan tidak manja. Biar kalau dewasa nanti, dia bisa menjadi orang yang bertanggung jawab baik itu untuk keluarga maupun pekerjaannya.
Begitu selesai mencuci piring, kulihat Bagas langsung masuk ke kamarnya. Sedangkan aku memilih duduk di ruang tamu sambil membaca majalah-majalah yang entah keluaran edisi berapa. Sudah lama sekali sejak aku membeli majalah baru. Selain tak ada budget juga memang sedang berhemat.
Sejak menikah dengan Mas Adam sembilan tahun lalu, aku meninggalkan hidupku yang serba kecukupan. Demi menikah dengan pria yang kucintai, aku tidak takut kehilangan keluargaku yang sangat menentang hubungan kami terutama Papa. Dia sama sekali tidak menyukai Mas Adam dan sangat membencinya tanpa alasan. Sampai-sampai dia memberiku pilihan yang sebenarnya aku tak ingin memilih.
"Kamu tinggal pilih, Karin! Mas Adam-mu itu atau Papa akan menghilangkan namamu dari kartu keluarga dan ahli waris Santoso?!" ancam Papa kala itu sambil menunjuk ke arah wajahku. Baru kali itu Papa menentang keinginanku, padahal bisanya asal tunjuk Papa pasti akan langsung memberikan.
Karena sedang dimabuk cinta, aku tidak peduli lagi dengan yang namanya keluarga besar Santoso atau pun namaku sebagai ahli waris satu-satunya. Saat itu tak ada yang lebih baik dari cinta, tidak ada yang lebih mewah dan indah dibanding cinta. "Papa simpan saja harta Papa itu! Sampai mati pun Karin tak akan menyentuh uang Papa sepeser pun!"
Mendengar ucapanku, Papa langsung naik pitam dan melayangkan tamparan di wajahku. "Kamu! Sejak kapan jadi kurangajar begini? Ini kah hasil dari pendidikanmu selama ini? Ini kah hasil dari bergaulmu sama Mas Adam-mu itu?" teriak Papa yang tak hanya membuat pipiku panas, tetapi juga hatiku. Seumur hidup, baru pertama kalinya Papa memukulku.
"Pap ... sudah, Pap. Karin hanya sedang dimabuk cinta," ucap Mama sambil menangis. Ia memegangi lengan Papa agar tidak bertindak lebih jauh lagi. "Tidak perlu sampai menamparnua, kan?"
"Ini karena kamu terlalu memanjakan anak! Hasilnya jadi kurangajar begini!" Papa menyentakkan tangan Mama dengan kasar dan langsung pergi menuju ruang kerjanya. Sedangkan aku, masih berdiri dan memegangi pipi yang memerah.
"Karin, jangan masukkan kata-kata Papamu ke dalam hati ya, Rin ...," pinta Mama menggamit tanganku. Dia tak berhenti menangis sedangkan aku sama sekali tak bisa menitikkan air mata.
Rahangku mengeras berikut dengan hatiku. Dan sejak saat itulah aku pergi dari rumah. Meninggalkan kuliahku yang tinggal wisuda saja. Terlebih lagi menanggalkan statusku sebagai satu-satunya pewaris PT. Santoso. Salah satu perusahaan terbesar Indonesia yang bergerak di bidang properti dan juga pertambangan.
Huuuftt. Aku meletakkan majalah yang lembarannya sudah usang. Memijit kedua pelipis dan menyandarkan tubuh ke sofa yang sudah bulukan. Aku sudah lupa bagaimana rasanya duduk di sofa yng empuk sambil dipijat. Oh, betapa nymannya andai itu terjadi
Drrrt ... drrttt ....drrrttt ....
Ponsel alakadarnya yang aku letakkan di meja menyala. Dengan cepat aku mengambil dan membuka pesan. Dari Mas Adam.l
"Karin, aku gk pulang dl malam ini. Bos tiba² telepon dan mengajakku ke luar kota. Aku sudah transfer ke rek km. 500 rb."
"Oke, Mas! Hati². Ingat, cari istri kaya. BUKAN selingkuhan!"
Begitu selesai membalas pesan Mas Adam, aku melemparkan ponsel butut itu sofa dan Mas Adam pun tak membalas lagi. Baru saja aku akan menutup mata, kudengar suara mobil berhenti di rumah almarhum mertuaku yang kini jadi milik Mas Adam. Dengan cepat aku berjalan menuju pintu dan membukanya. Penasaran, siapa yang datang malam-malam begini?
"Karin!" teriak seorang wanita begitu keluar dari mobil mewahnya yang berwarna merah mengkilat.
"Anggun!" Aku langsung lari dan memeluk sahabatku itu. Sudah cukup lama aku tidak bertemu dengannya. Terakhir kali adalah sebulan lalu.
"Kangen, deh. Lama kita gak ketemu!" Anggun memelukku dengan erat dan mengelus rambutku. Dia adalah sahabatku sejak kuliah dulu dan kini dia menjadi seorang manager di salah satu perusahaan Santoso. Karier Anggun cemerlang dan dia telah menjadi perempuan masa kini yang tak hanya cantik tetapi juga mapan. Dan yang mengagumkan lagi dia mendapatkan semua itu karena kemampuannya sendiri.
"Kamu sih terlalu sibuk!" ledekku menggeret perempuan berusia tigapuluh tahun itu masuk ke dalam rumah.
"Iya, nih! Keluar kota terus! Banyak urusan kantor. Kalau gini terus kapan nikahnya?" keluh Anggun yang langsung duduk manis di sebelahku.
"Halah! Gak usah dipikirin! Kamu masih muda, cantik, sukses, laki-laki pasti bakalan ngantri!
"Jangankan ngantri. Satu aja gak ada. Dasar tukang ngacok!"
"Gak caya, ah! Anggun gitu, loooh. Primadona kampus!" balasku langsung berdiri dan berniat mengambilkan minum untuk Anggun namun buru-buru dicegah.
"Duduk aja. Mau ke mana, sih?"
"Ngambil air."
"Gak usah! Duduk aja di sini!" Anggun menarik tanganku dan langsung menggenggamnya dengan erat. "Aku barusan nebus obat buat kamu. Kamu yakin gak mau operasi, Rin?"
Aku mendengus perlahan. Operasi? Aku belum siap. Aku takut kalau-kalau aku mati di meja operasi sedangkan Bagas dan Mas Adam belum ada yang menjaga. Bagaimana nasib mereka? Aku belum sanggup melepaskan anak dan suamiku. Aku belum siap menghadap malaikat maut dn Tuhan. Masih terlalu besar dosa-dosaku.
"Karin ... aku bisa membantumu kalau mau, Rin. Mumpung tumor di otakmu masih kecil. Masih tingkat dua. Kamu tahu kan obat ini hanya bisa menghilangkan nyeri untuk sesaat?" tanya Anggun sedikit kesal lantaran aku selalu menolak idenya untuk mengangkat tumor di otakku. Ya, mau bagaimana lagi? Selain takut aku juga tidak memiliki biaya. Mau operasi maupun terapi, biayanya sama-sama tidak sedikit.
"Ini bukan soal uang, Nggun." Aku mencoba berkilah. Padahal, uang adalah faktor utama. Uang sebanyak itu dari mana? Gak mungkin kan tiba-tiba jatuh dari langit? Demi menabung biaya pendidikan Bagas saja aku harus mengencangkan ikat pinggang.
"Terus apa lagi kalau bukan soal biaya? Takut mati? Justru kalau kamu menunda-nunda, akan semakin sulit, Rin! Kamu itu lahir dari apa sih kok keras kepala banget? Suamimu pasti tidak tahu kan keadaanmu yang sebenarnya?"
Aku tersenyum dan melihat Anggun yang rahangnya mengeras. Dengan percaya diri aku mengatakan padanya tentang ide-ide yang mampir di kepalaku. "Aku mendesak Mas Adam untuk mencari istri baru yang kaya. Ya, kalau terjadi sesuatu denganku, setidaknya Bagas bisa hidup berkecukupan."
Sontak mata Anggun melotot dan wajahnya penuh tanda tanya. Mungkin dia berpikir bahwa aku adalah perempuan gila. Mana ada orang waras yang meminta suaminya untuk menikah lagi?
"Are you stupid?" Anggun langsung berdiri dan menaruh kedua tangannya di pinggang. Kalau dia benar-benar marah, Anggun biasanya akan berbicara menggunakan bahasa Inggris.
"Itu adalah ide terbaik yang mampir di otakku." Aku mengangkat kedua bahu dengan santai.
"You're crazy! Otakmu sakit, Rin! Gila!"
"Otakku memang sakit, Nggun. Kan situ yang pertama kali menemani waktu CT scan," jawabku dengan santai dan itu membuat Anggun semakin marah. Dia memalingkan tubuhnya dan terlihat memijit keningnya.
"Your parent know you're sick?" tanya Anggun pelan. Suaranya terdengar serak dan bergetar.
Aku tersenyum seraya berdiri untuk mendekati Anggun. Kupeluk gadis itu dari belakang sebelum aku menjawab. "Tidak. Aku tak ingin Papa menertawan pilihanku. Kalau dia tahu aku hidup menderita dan sakit-sakitan, dia pasti menyalahkan keputusanku menikah dengan Mas Adam. Aku juga tidak ingin Mama khawatir. Kamu tahu kan dia semakin tua?"
"Ouuhhh!" Anggun setengah menjerit dan memegangi kepalanya. Barangkali dia merasa bahwa otaknya akan meledak. "Aku tidak paham cara berpikirmu, Rin!"
Kueratkan pelukanku pada Anggun. Kusenderkan pipiku di punggungnya yang ramping dan proporsional. "Kamu tidak perlu memahamiku, Nggun. Karena aku tahu dengan pasti, kamulah sahabat terbaikku!"
Anggun tak menjawab lagi. Punggungnya terasa bergetar dan aku bisa mendengar dengan jelas gertakan giginya. "Jangan menangis. Jangan biarkan air matamu terbuang sia-sia." Aku membalikkan tubuh Anggun dan mengusap air matanya. "Dengarlah, kamu bukan putri duyung yang jika menangis air matamu akan berubah menjadi mutiara. Jadi, diamlah."
"Sinting!" Anggun langsung memukul kepalaku. Beberapa detik kemudian dia langsung tersenyum dan memelukku erat.
"Aku tidak mau kamu membanjiri rumahku dengan air matamu. Simpan saja tangismu setelah menikah nanti. Oke?"
Anggun memukul pantatku dengan keras. Sampai-sampai bokongku yang montok ini terasa bergetar. "Enak aja. Kamu kira aku bakalan punya suami otoriter?"
"Ya kali aja. Kamu punya suami komandan militer dan setiap pagi kami disuruh keliling rumah?"
"Auk, ah!" Akhirnya Anggun menyerah dan kembali duduk. Dia tak akan menang kalau melawan keras kepalaku ini. Papa saja sampai menyerah, apalagi dia.
"Rin ...." Anggun berkata Ragu. "Gimana, ya?"
"Gimana apanya? Yang jelas ah kalau ngomong? Jangan kayak orang sembelit gitu!"
"Gimana kalau suamimu selingkuh? Dan ternyata dia sudah punya anak?"
Selingkuh? Punya anak? Aku mengerutkan dahi dan menatap Anggun tajam. Kuletakkan tanganku di dahi gadis berambut panjang dan hitam itu. Selain wajahnya yang cantik, tubuhnya juga persis seperti model. "Gak panas, tuh!"
"Sialan!" Anggun langsung menyingkirkan tanganku dan cemberut. "Kamu kira aku sakit?" protes Anggun kesal.
"Ya, kali aja tadi pas mau ke sini kesambet di jembatan depan sana. Lagian ni, ya. Mana mungkin Mas Adam selingkuh. Biarpun tampangnya kayak Leonardo Lapindo,kalau miskin siapa sih yang mau, Nggun? Cuma orang yang otaknya gak waras yang mau sama dia! Apalagi perempuan sekarang. Tampang jelek yang penting fuluuus!"
"Bener juga, sih. Pantes kamu gak waras. Udah, ah. Lebih baik aku cabut dulu. Kelamaan di sini aku bisa stress!"
0 Comments