Sudah seminggu Karin dipindahkan ke ruang inap dan sudah seminggu itu pula dia terus menggerutu setiap Dokter Brian datang memeriksa. Sepertinya, hidup Karin tak akan lengkap kalau sehari saja wanita itu tidak melayangkan protes pada dokternya.
"Ini adalah hari terakhir saya memeriksa Anda. Besok Anda sudah boleh pulang," kata Dokter Brian sabar. "Tapi ingat, Anda harus tetap datang untuk kontrol sesuai jadwal."
"Dokter tidak bosan ketemu saya terus?" sahut Karin gemas. Kalau ketemu, pasti itu-itu saja yang dibahas. Jangan lupa kontrol, banyak istirahat, jangan stress, dan lain-lain, tapi memang itu kan tugas dokter pada pasiennya? Memangnya apa lagi yang diharapkan Karin?
"Mana ada dokter yang bosan ketemu pasiennya? Anda sendiri kan yang bilang, banyak pasien berarti dokter punya banyak uang?"
"Dokter mata duitan!" celetuk Karin jengkel sambil melihat Anggun yang sejak tadi cengengesan.
"Sekolah kedokteran mahal, harus balik modal, kan?"
Anggun langsung tertawa mendengar jawaban Dokter Brian. Dia senang kalau ada yang berani melawan ocehan Karin.
"Betul, Dok. Jangan kayak sahabat saya. Gara-gara kebelet kawin, langsung drop out!"
Karin sudah mengeram marah, tapi ditahannya karena ada Bagas. Sialan si Anggun, bikin naik darah aja!
"Om Dokter?"
"Ya?"
"Kapan Echa boleh pulang? Kok Mama sudah boleh pulang?" tanya Bagas yang sedang makan es krim di sebelah ibunya.
"Echa siapa, Sayang?" tanya Karin penasaran. Belum pernah anak itu cerita tentang temannya yang bernama Echa.
"Teman baru Bagas. Umur tujuh," jawab Bagas sambil menunjuk ke arah depan. "Kamarnya ada di ujung sana. Dia juga gak punya rambut kayak Mama."
Ya, Tuhan! Biar pun Karin tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia yakin pasti anak itu juga mengidap kanker. Matanya langsung tertuju pada Dokter Brian yang terlihat bingung untuk memilih kata-kata.
"Echa masih lama di sini. Kalau Bagas kangen, Bagas bisa menengoknya."
"Kenapa gitu?"
Kenapa begitu? Dokter Brian pun bertanya pada dirinya sendiri. Echa adalah pasiennya selama setahun terakhir. Semua usaha telah dilakukan tim dokter, tapi apa daya jika takdir berkata lain? Kehidupan gadis itu hanya bertahan sampai enam bulan lagi.
"Supaya cepat sembuh. Bagas gak mau kan Echa terus-terusan sakit?"
Anak lelaki itu hanya mengangguk polos. Dia sama sekali tidak memahami jika sabahabat kecilnya sedang menunggu kematian.
Karin mengelus rambut putranya lalu menciumnya. "Itu sebabnya kamu ingin jadi dokter?"
"Iya. Biar kayak Om Dokter. Kalau Mama sakit, nanti Bagas yang nyuntik."
"Kalau Tante Anggun yang sakit gimana, Gas?" sahut Anggun dari tempat duduknya.
"Nanti Bagas suntik, deh. Bayarnya pake es krim ya, Tan."
Karin hanya tertawa begitu juga dengan Dokter Brian. Dan tanpa sengaja pandangan mata mereka bertemu. Karin merasa tatapan itu tak asing dan sangat familiar. Namun, dia lupa di mana pernah melihat mata itu.
***
"Istrimu belum pulang juga, Mas?" tanya Irene ketika menghidangkan sarapan untuk suaminya. Beberapa hari ini dia pulang ke rumah istrinya, tapi Karin dan anaknya tak pernah pulang. Tetangganya pun tak tahu ke mana mereka pergi. Dia sudah berusaha mencari, tapi hasilnya nihil.
"Belum. Apakah mungkin mereka diculik?"
Irene tertawa renyah lalu duduk di kursi dan menyeruput kopi miliknya. "Penculik mana yang mau menculik orang miskin, Mas?"
Memang tak ada yang salah dengan ucapan Irene, tetapi entah kenapa dia tak suka mendengarnya. Karin tidak miskin, dia anak orang kaya, pewaris satu-satunya keluarga Santoso, dan demi dialah wanita itu rela hidup melarat.
Seolah bisa membaca raut wajah suaminya yang muram, Irene berbicara lagi. "Mungkin kembali ke rumah orangtuanya, Mas."
"Tidak mungkin Karin kembali ke sana. Selama ini dia bahkan tak mau menemui orangtuanya."
"Atau jangan-jangan dia kepincut sama juragan jengkol kampung sebelah?"
"Gak mungkin. Aku tahu siapa istriku. Dia tak mungkin berselingkuh. Karin adalah wanita baik-baik."
"Jadi, menurut Mas aku bukan wanita baik-baik karena menjadi selingkuhan Mas Adam?"
Duh, wanita. Pikir Adam gemas. "Bukan begitu, Sayang. Aku kan tidak sedang membicarakan kamu."
"Tapi Mas Adam ngomongin soal wanita, kan? Dan aku seorang wanita."
Dasar perempuan. Selalu emosinya yang didahulukan. Keluh Adam jemu. Istri dan anaknya belum ketemu dan kini istri yang satunya lagi merajuk. "Sayang, Mas kan tidak sedang membicarakan kamu. Lagipula kita sudah menikah."
"Iya, tapi kalau waktu itu aku gak hamil, Mas gak mau nikahi aku, kan?"
"Lho, siapa bilang?" Adam buru-buru mendekati Irene dan menggendongnya ke kamar. "Kayaknya istriku butuh pereda panas dalam!"
Irene memonyongkan bibirnya dan melihat ke arah lain. "Lagi gak mood bercanda!"
"Ah, masak?" Adam membanting tubuh istrinya ke kasur kemudian dengan cepat dilepaskan baju istrinya. "Hari ini aku akan bermain kasar seperti yang selalu kamu sukai."
***
Dokter Brian sengaja mengambil cuti hari ini. Dandanannya necis seperti biasa dan tetap terlihat gagah meski tanpa jas putihnya.
"Bukannya cuti, Dok? Kok ada di sini?"
Buru-buru Suster Mala menyenggol lengan teman sejawatnya. "Kamu pasti ketinggalan gosip!" balas Suster Mala separo berbisik. "Udah, Dok. Gak usah ladenin Suci. Dia memang telmi!"
"Enak aja bilang ku telmi!" protes Suster Suci kesal dan Dokter Brian hanya membalas dengan senyuman dan berjalan menuju kamar Karin.
"Terus apa, dong? Kamu gak tau kalau Dokter Brian naksir si Ratu Judes?"
"Naksir Ratu Judes?" balas Suster Suci setengah tak percaya, setengahnya lagi tak terima. Bagaimana dokter tampan, mapan, dan macho seprti Dokter Brian bisa jatuh cinta dengan nenek sihir seperti Karin?
"Iya. Jangan mimpi deh Dokter Brian bakalan naksir kamu."
"Gini-gini masih perawan, tahu! Lagian apa sih kelebihan Ratu Judes? Sudah punya suami kan dia?"
Suster Mala menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa tak ada orang lain di sana kemudian berbisik,"Yang punya suami justru lebih menantang!"
Suster Suci hanya mendengus jengkel dan mengambil status pasien. Sekilas, dilihatnya Dokter Brian terlihat ragu di depan kamar Karin. Gadis itu hanya bisa pasrah karena kalah sebelum bertanding.
***
Dokter Brian menarik napas dalam-dalam. Seumur hidupnya baru kali ini dia merasa grogi ketika akan bertemu dengan seorang wanita. Padahal, biasanya para gadislah yang salah tingkah saat bertemu dengannya. Saat koas dan memiliki dosen pembimbing yang killer pun tak begini rasanya.
"Ayolah, Brian. Tunjukkan kejantananmu!" ucap lelaki itu pada dirinya sendiri kemudian mengetuk pintu sebelum masuk.
"Selamat pagi," sapa Dokter Brian ramah dan wajah judes Karin langsung menyambut.
"Katanya libur? Kalau semua dokter seperti Anda, rumah sakit bisa bangkrut karena harus bayar uang lemburan," kata Karin yang sedang membereskan tasnya. Hari ini dia terpaksa pulang sendiri karena Anggun tiba-tiba keluar kota dan Pak Mamat juga katanya lagi sakit. Dia juga tak mungkin tega membiarkan Mama menyetir dan menjemputnya seorang diri.
Dokter Brian hanya tersenyum dan berjalan mendekati Karin. "Saya di sini bukan untuk kerja."
"Terus?" tanya Karin pura-pura bodoh. Meskipun beberapa kali Anggun bilang kalau Dokter Brian naksir dirinya, wanita itu masih tak percaya. Mana mungkin dokter muda dan tampan seperti dia kesengseng sama wanita bersuami dan penyakitan? Memangnya ke mana stok gadis-gadis cantik yang masih single? "Gak mungkin kan Dokter ke sini mengantar saya pulang?"
"Kalau kamu tak keberatan." Dan kali ini Karin merasa dia bukan hanya bermimpi, tetapi juga ada yang salah dengan pendengarannya.
0 Comments