"Ga, bisakah nanti berhenti di depan gedung?" tanya Kenanga ketika mereka berdua di dalam lift menuju tempat parkir.
Sagara mendekap istrinya ke dalam pelukannya dan mencium keningnya. "Tentu saja. Ingin makan sesuatu?"
"Ya. Aku kemarin aku lihat ada banyak yang jualan di sana."
"Apa perlu aku meminta mereka untuk jualan di depan rumah kita?"
Kenanga tertawa dan mencubit perut suaminya yang liat. Tak percuma laki-laki itu rajin berolahraga di gym pribadi miliknya. "Siapa yang akan beli? Kamu bahkan tak punya tetangga.
"Minta pak Man dan yang lain untuk ngabisin."
"Saga?"
"Hmmm?"
"Sudah menyiapkan nama untuk anak kita?"
Sagara pura-pura berpikir dan menuntun Kenanga keluar dari lift. "Bagaimana kalau Magani dan Rinjani?"
"Sungguh?"
Saga membukakan pintu mobil untuk Kenanga dan memasangkan sabuk pengaman dengan hati-hati. "Tentu, Sayang. Aku tak sabar lagi menunggu kelahiran mereka. Magani nama yang bagus. Aku yakin dia akan secantik Magani."
"Aku juga. Aku sangat bersyukur Tuhan memberiku anak lagi, Ga."
Lelaki itu berjalan memutar mengelilingi mobil lalu duduk di belakang kemudi setir. "Kau pantas mendapatkannya, Istriku," ucapnya sembari mengelus tangan istrinya sebelum dia menjalankan mobil.
Begitu sampai di depan gedung, Sagara mencari celah di antara gerobak penjual agar bisa memarkir mobilnya dan Kenanga bisa membeli makanan tanpa harus terburu-buru.
"Pak, es cendolnya dua ya, Pak. Makan sini," kata Kenanga begitu keluar dari mobil.
"Pakai duren gak, Bu?"
"Yang satu pakai, yang satu tidak, Pak."
Dengan segera penjual itu meracik pesanan Kenanga. Sedangkan Saga yang yang masih memakai pakaian necis menjadi perhatian penjual dan pembeli di sepanjang trotoar.
"Kamu tidak apa-apa makan di sini?" tanya Kenanga yang bisa menangkap keheranan orang-orang di sekitar. Barangkali, mereka menganggap Sagara adalah artis ibu kota.
"Kau lupa? Aku juga sering mancing di kali dengan bapakmu?"
Kenanga memegangi tangan suaminya dan menciumnya dengan mesra. Sagara tak kekurangan satu apa pun tapi dia tak pernah membanggakan hartanya. Tak pernah malu berjalan dengan istrinya yang jauh dari kata glamor. Lelaki itu bahkan tak pernah pilih-pilih makanan. Tak peduli apakah dibeli dari restoran mahal atau pinggir jalan, bagi Saga itu sama saja.
"Kamu tahu? Terkadang aku merasa tak pak pantas menjadi istrimu."
Pria itu menghela napas dan mengusap bahu istrinya. "Istriku, di dunia ini hanya kau yang pantas menjadi Nyonya Sagara. Kau tahu kenapa?"
"Kenapa?" Kenanga mendongak ke atas. Melihat ke arah mata suaminya yang meneduhkan dan memancarkan cinta yang begitu besar.
"Karena aku hanya mencintaimu. Aku hanya mengagumimu. Dan aku rela mati untukmu."
Kenanga menutup mulut suaminya dengan cepat. Masih jelas di ingatan bagaimana suaminya meregang nyawa tempo hari dan Kenanga tak mau hal itu terjadi lagi.
"Jangan bilang begitu. Aku tak bisa hidup tanpamu, Ga. Tak akan bisa. Kumohon, jangan pernah bicara begitu lagi."
Pria itu tersenyum dan meraih kedua tangan istrinya. Tanpa malu-malu, tanpa memperdulikan banyak mata yang melihat mereka seperti bermain drama, Saga menempelkan tangan Kenanga di bibirnya. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita bicara tentang memiliki anak lagi? Setelah Magani dan Rinjani lahir, kita akan memiliki anak lagi."
"Tidak!" Kenanga menarik tangannya dan melihat dua mangkok es cendol yang baru saja mendarat dengan mulus di meja. "Memangnya aku kambing? Yang setiap tahun melahirkan? Kalau kamu ingin punya anak lagi, kamu saja yang melahirkan!"
Sagara tersenyum lembut kemudian berbisik di telinga Kenanga. "Kau yang melahirkan, aku yang membuahi. Bagaimana, Sayang?"
Kenanga yang sedang mencicipi es cendol langsung tersedak. Dia tidak menyangka bahwa suaminya akan mengatakan itu di depan umum. Untung saja tidak keselek biji durian!
Dengan gemas Kenanga mencubit lengan Saga. "Sagaaaaaa. Jaga bicaramu!"
"Apa, Sayang? Jangan bilang kau ingin bercinta denganku sekatang?"
Ya, Tuhan! Kenanga kehabisan kata-kata. Suaminya benar-benar tak peduli mereka sedang di tempat umum sekarang ini!
Begitu menandaskan semangkok es cendol durian, Kenanga melirik ke arah mangkok suaminya yang sejak tadi hanya diaduk-aduk karena Sagara terlalu asik memandangi wajah istrinya.
"Tidak dimakan?" tanya Kenanga menelan ludahnya yang masih belum puas merasakan manisnya gula merah yang dicampur dengan santan.
"Aku sudah kenyang melihatmu makan."
"Kalau begitu, biar aku yang makan!" Kenanga menarik mangkok Saga ke hadapannya dan mulai menyendoki isinya ke dalam mulutnya. Sagara tersenyum dan mengelus rambut istrinya yang halus lalu mencium kepalanya.
"Kalau kau mau, aku bisa meminta penjualnya datang ke rumah kita."
"Tidak tidak. Itu merepotkan."
"Kita bisa mengundang banyak orang untuk datang ke rumah. Kau ingin mengadakan pesta?"
"Pesta?" Kenanga menoleh ke arah lelaki itu dan melihat senyumnya yang tulus.
"Ya. Saat pernikahan kita tidak ada pesta. Tidak ada makan-makan. Bagaimana kalau kita melakukannya sekarang? Tidak berlebihan, kan?"
"Tidak apa-apa diadakan di rumahmu?"
"Itu juga rumahmu, Sayang. Kau bisa mengundang siapa pun yang kau mau."
"Kalau begitu, aku akan mengundang teman-teman kantor!"
"Oke. Biar pak Man yang menyiapkan semuanya!"
Begitu selesai menghabiskan mangkok yang kedua, Kenanga membeli cilok dan juga manisan mangga untuk di bawa pulang. Mereka berjalan bergandengan tangan di sepanjang trotoar menuju mobil namun langkah Kenanga dan Saga terhenti ketika melihat seorang gadis ditampar oleh seorang pemuda.
"Hei! Apa yang kamu lakukan! Beraninya hanya memukul perempuan!" teriak Kenanga sambil berjalan tergopoh-gopoh.
"Jangan ikut campur! Ini urusanku dengan pacarku!" Pria itu membalas dan ketika akan mendorong tubuh Kenanga, Sagara sudah mencegah.
"Jangan sentuh istriku, Bung!" kata Saga dengan suara tegas dan mencengkeram tangan pemuda itu. "Pergi dari sini atau aku akan memasukkanmu ke dalam sel penjara?'
Tanpa berkata-kata, pemuda itu langsung lari terbirit-birit meninggalkan gadis yang sejak tadi tertunduk sambil menangis dan memegangi pipinya.
Kenanga mendekati gadis itu. Memegangi pundaknya dan bertanya dengan lembut. "Kamu tidak apa-apa? Yang tadi itu pacarmu?"
"I ... ya. Dia sering melakukan ini padaku," balasnya dengan isak tangis kemudian menghambur ke pelukan Kenanga. "Aku takut, Mbak. Dewi takut dia bakalan nyari Dewi ke kosan."
"Kamu kos di mana? Jauh gak dari sini? Kamu kerja di mana?"
Dewi melepaskan pelukannya. Begitu selesai mengusap air mata yang membasahi pipi, gadis itu mendongak ke atas dan memandangi wajah Kenanga. "Sagara Fashion, Mbak. Dewi baru magang di sana."
***Bersambung ....
0 Comments