"Kamu yakin akan meninggalkan Mama sendirian?" tanya Kenanga mengerucutkan bibirnya. Sebenarnya dia tak setuju saat Arga meminta sekolah di Amerika. Dia masih kecil, belum bisa mandiri dan membutuhkan kasih sayangnya. Tapi, Arga bersikeras dan Saga juga mendukung. Dia bilang Arga akan belajar mandiri karena sekolahnya berada satu area dengan asrama. Namun, sebagai seorang ibu tetap saja dia kuatir.
"Mama kan ada Papa!" jawab Arga melihat ke arah Saga dengan tatapan permohonan agar menjaga ibunya dengan baik.
"Kalau kau butuh sesuatu, jangan malu untuk menghubungiku. Oke?"
"Baik, Pa."
Saga memeluk putra sulungnya. Mencium kepalanya dan mengelus punggungnya. Dia tahu bahwa setelah kemtian Bram, Arga menjadi lebih pendiam, lebih sering menyendiri. Saat melakukan tes kesehatan, untung saja dia sehat baik jiwa maupun raganya. Hanya saja, Arga mengatakan bahwa ia butuh waktu. Ia ingin hidup di tempat di mana dia tak memiliki kenangan bersama papanya. Orang yang telah menyakiti ibunya, adiknya, Saga dan tentu telah menyakiti dirinya.
Arga membalikkan tubuh diikuti Rian yang akan mengantarkannya ke Amerika. Sementara Kenanga melambaikan tangannya perlahan dengan mata berkaca-kaca.
"Arga pasti akan baik-baik saja. Saat liburan musim panas, dia pasti akan pulang," ucap Saga merangkul istrinya yang kini usia kehamilannya berusia tiga bulan dan berat tubuhnya mulai mengembang. Kenanga melingkarkan tangannya di pinggang Saga, menyandarkan tubuhnya dan mengiyakan perkataan suaminya.
"Hummm! Kita juga akan baik-baik saja, kan?"
"Tentu, Sayang! Kita pasti akan baik-baik saja."
Kenanga merubah posisi dan memeluk lelaki yang sedang mengenakan pakaian casual. "Kalaupun tidak baik-baik saja, aku akan selalu bersamamu."
"Itu harus! Kalau tidak aku akan memaksamu."
"Seperti aku memaksamu agar mengijinkan aku kembali bekerja besok?" Kenanga mengerlingkan matanya, meraba perut Saga yang kencang dan terus menjalar hingga ke pinggang.
"Kau sangat nakal!" Saga meraih bibir Kenanga meski banyak pasang mata melihat mereka, dia tak peduli. Di bandara ini, yang lain seolah-olah tak kasat mata oleh Saga. Dilumatnya bibir itu, bibir yang semalam memuaskannya untuk pertama kali semenjak kehamilan Kenanga dan musibah yang bertubi-tubi. Lidah mereka saling bertahun, saling menyesap hingga napas keduanya menjadi berat.
"Sayang, aku menginginkanmu sekarang," bisik Saga terengah.
Kenanga mencubit pinggang suaminya dan lelaki itu hanya meringis. "Kita sedang di bandara."
"Aku sudah tidak tahan lagi. Rasakan lah ini." Saga merapatkan tubuhnya dan dan Kenanga bisa merasakan dengan jelas sesuatu yang menempel pada tubuhnya. Benda itu telah mengeras dan terasa sedikit hangat.
Pipi Kenanga memerah serta mendongakkan kepala. "Kamu benar-benar tidak tau malu, ya."
Saga hanya tersenyum kemudian membelai lembut pipi Kenanga. Merasakan halusnya kulit istrinya, pipinya yang kemerahan dan sorot mata penuh kasih. "Kau adalah istriku. Untuk apa malu?"
"Susah sekali berdebat denganmu!"
"Kalau begitu jangan berdebat. Kita langsung saja."
Ya, Tuhan! Telinga Kenanga memerah mendengar kalimat suaminya yang bernada nakal, napasnya yang mulai berat dan tatapan matanya yang sungguh-sungguh bahwa ia ingin menggauli istrinya.
Mereka berjalan beriringan menuju parkiran bandara, saling merangkul, menggenggam tangan layaknya sepasang remaja yang sedang jatuh cinta. Sedangkan, orang-orang yang melihatnya merasa malu sendiri dan tak sedikit yang merasa iri dengan kecantikan dan ketampanan keduanya. Benar-benar pasangan yang sempurna.
Saga dan Kenanga sampai di parkiran dan dengan sigap Saga membuka pintu belakang mobil. Kenanga mengerutkan keningnya, bukankah dia seharusnya duduk di depan?
"Aku ingin melakukannya di sini," bisik Saga penuh gairah karena membayangkan bagaimana rasanya bercinta di dalam mobil. Ia sering mendengar bahwa banyak pemuda-pemudi yang melakukannya di dalam mobil, atau seorang lelaki yang mencari teman kencan wanita di pinggir jalan dan langsung melakukannya di dalam mobil. Kalau sedang tidak apes, mereka tidak akan kepergok polisi atau masyarakat. Tapi, kalau sedang apes ya apa boleh buat.
"Kamu tidak sakit, kan?" Kenanga menempelkan punggung tangannya di dahi Saga dan pria itu hanya nyengir dan memegangi tangan Kenanga lalu di arahkan pada bagian resleting celananya.
"Yang sakit di sini. Bukan di dahi."
0 Comments