"Ke mana lagi suami, lo? Tahu istri lagi hamil tua, keluyuran melulu kayak Bang Toyib!" keluh Juwi yang hari ini bertugas menemani Putri ke dokter kandungan ditemani Jono, supir sekaligus suami Puji.
"Lo gak bosen tanya terus?" balas Putri datar. Dia bosan ditanya Juwi hal itu melulu. Kalau saja Leo ada di rumah dan mau mengantarnya pulang, tentu saja Juwi tak perlu repot-repot mengantarnya.
"Ah, kesel gue. Mending lo cerai aja deh kalau menikah cuma punya suami pajangan."
Putri tak menjawab lagi. Dielusnya jabang bayi yang makin hari makin membesar di perutnya. Sejak dia tahu di dalam tubuhnya telah tumbuh seorang anak, Putri mulai sedikit berubah. Barangkali itulah yang disebut sifat keibuan. Dia tak lagi mengomentari hal-hal buruk yang dikatakan orang lain terhadap Leo. Dan berapa banyak sakit hatinya pun, dia tak peduli. Putri terlanjur mencintai benih Leo yang tumbuh di dalam rahimnya dan dia juga tak mampu memungkiri jika kadangkala dia pun rindu akan belaian suami yang tak pernah didapatkannya.
"Selamat pagi, Bu Putri, Mbak Juwi," sapa perawat yang bertugas memanggil pasien.
"Pagi, Sus. Tumben sepi?" balas Juwi yang langsung duduk di dekat pintu.
"Iya nih, Mbak Juw. Kayaknya ibu hamil mulai berkurang. Gara-gara kemarau, nih."
Putri mengerutkan dahi dan menatap suster di depannya penuh tanda tanya. Memang apa hubungannya antara kemarau dan musim hujan dengan ibu-ibu hamil yang sering datang ke klinik?
"Oya, Bu Put. Mulai hari kita ganti dokter."
"Lho? Ke mana Dokter Mulya?"
Suster itu mendesah panjang mengingat Dokter Mulya. Dokter kandungan senior yang usianya sudah mencapai kepala enam. Meskipun jiwa mudanya masih meminta untuk berkelana, tapi apalah daya punggungnya tak bisa diajak kerjasama. Apalagi jika harus melayani puluhan wanita hamil seharian. Dokter Mulya sudah tak sanggup lagi.
"Pensiun, Bu. Maklum, penyakit orang tua." Dan begitu pasien keluar dari ruang praktik, Suster langsung mempersilakan Putri masuk diikuti Juwi yang selalu menemani di belakangnya.
"Selamat pagi, Bu." Seorang dokter muda menyapa Putri dengan senyum yang menawan. Di pipinya terlihat lesung pipi yang begitu menawan sampai-sampai, Putri lupa untuk membalas sapaan sebelum akhirnya Juwi menyenggol bahunya.
"Oh, pagi juga, Dok."
"Saya Dokter yang akan menggantikan Dokter Mulya. Nama saya Teguh. Teguh Perkasa. Silakan berbaring di sini, saya akan memeriksa Anda."
Putri menurut begitu saja dibantu Juwi. Sebagai calon dokter, Juwi memerhatikan baik-baik bagaimana Dokter Teguh ketika memeriksa pasiennya. Begitu telaten, cekatan, penuh perhatian, dan yang leboh penting lagi adalah ketampanannya. Tubuhnya tinggi, tegap, dan bisepnya itu ...oh, Juwi jadi berpikir yang bukan-bukan dan tanpa terpikirkan olehnya lebih dulu, sebuah pertanyaan meluncur dari bibirnya.
"Dokter Teguh sudah menikah atau single, Dok?"
"Juwiii ...." Putri mendelik. Antara malu sekaligus penasaran apa jawaban dokter barunya itu.
Dokter Teguh tersenyum. Dia tidak merasa tersinggung sama sekali. "Masih sendiri."
Mendengar jawaban itu entah mengapa Putri merasa lega. Padahal, lajang atau menikah, semua itu tidak ada hubungannya dengan wanita itu, bukan? Lagipula, Putri perempuan beristri. Dia telah menikah dan dia juga mencintai suaminya meski barangkaki cinta itu hanya bertepuj sebelah tangan.
***
Putri baru saja merebahkan tubuhnya di atas ranjang ketika Leo masuk ke kamar dalam keadaan mabuk. Wanita itu buru-buru bangkit dan membantu memapah suaminya yang berjalan sempoyongan. "Kamu mabuk lagi, Leo? Sampai kapan kamu begini terus?"
"Sampai uang ayahku habis. Kamu tahu kan ayahku pejabat tinggi?"
Putri hanya mendesah panjang. Dia tahu kalau adat suaminya memang buruk, yang dia tidak tahu hanyalah bahwa Leo tak bisa merubah sifat jeleknya. Dia tetap keluar masuk club, datang ke kampus hanya untuk menggoda gadis-gadis, dan menghamburkan uang ayahnya. Putri memahami kenapa Leo begitu, pria itu ingin membuat malu ayahnya. Apalagi yang dapat dibanggakan dari seorang anak yang tak punya masa depan? Apalagi berita tentangnya tak jarang menghiasi portal berita daring yang cenderung selalu negatif.
"Sebentar lagi anak kita lahir, Leo." Putri merebahkan tubuh suaminya. Melepas semua pakaiannya dan membiarkannya jatuh ke lantai. "Tidak inginkah kamu menjadi ayah yang baik untuk anak kita?"
"Tidak malukah kamu memiliki suami sepertiku?"
"Jika aku malu, aku tak akan menikahimu, Leo."
Leo pun menyentuh wajah istrinya dan untuk pertama kali, tak hanya mata mereka yang bertemu, tetapi juga bibir mereka. Ranjang pengantin yang tadinya dingin, kini menjadi panas dipenuhi gairah yang lama mereka pendam. Putri dengan kepasrahannya dan Leo dengan kegagahannya mengecap manisnya tubuh istrinya. Istri yang berbulan-bulan tak pernah disentuhnya dan diabaikannya hanya karena ketidakpercayaan dirinya sebagai pria yang tak mampu menafkahi istrinya dengan keringatnya sendiri.
***
"Kamu yakin tak menyesal menjadi istriku, Put?" Leo yang masih berbaring di sebelah istrinya mengelus rambut Putri dengan lembut. Dikecupnya kepala wanita itu dengan perasaan hangat kemudian dia juga menciumi perut Putri dengan sangat hati-hati hingga istrinya merasa kegelian.
"Harus kukatakan berapa kali, Leo? Aku sama sekali tak menyesal menikahimu."
"Apa kamu mencintaiku?"
Putri memandangi suaminya dan menangkup wajah pria itu dengan kedua tangannya. "Sejak awal aku mengenalmu, aku sudah menyukaimu, Leo. Selain kakakku, kamu-lah pria yang aku percayai. Dan sekarang, kamu telah menjadi suamiku. Ayah dari anakku."
"Kamu ingin mengikuti ke mana pun aku pergi, Put?"
"Ya, kamu adalah suamiku. Kamu adalah nahkoda dalam bahterai rumah tangga kita, Leo."
Dan sekali Leo memagut lembut bibir istrinya dan sekali lagi mencicipi manisnya bulan madu yang tertunda. "Aku juga mencintaimu, Put," bisik Leo sesaat sebelum dia mencapai puncak kenikmatan yang luar biasa setelah berbulan-bulan dikekangnya perasaan itu dengan cara melampiaskan diri ke bar dan perempuan lain. Leo tak menikmati semua itu, dia hanya berkecil hati, merasa tak bisa menjadi suami yang baik. Namun, kini ia telah bertekad akan mencari pekerjaan dan menghidupi keluarga kecilnya dengan tangannya sendiri.
***Bersambung ....
1 Comments
Udah banyak novelnya terbit ya, cucunda?
ReplyDelete