Bab 7
Leo berhenti di sebuah warung tenda bertuliskan Bakso Tulang Rangu Pak Ndut. "Ngapain sih lo ngajak gue ke sini?" tanya Putri heran sekaligus tak mengerti. Dia merasa tak mengenal pemuda itu. Bertemu pun baru sekali. Dan anehnya lagi, tiba-tiba nyulik dia dan ngajak ke tukang bakso.
Leo membuka helemnya dan menoleh ke belakang. Ditatapnya Putri yang masih menatapnya dengan tanda tanya. "Lo gak kenal gue?"
"Gaklah. Siapa juga yang mau kenal sama brandalan kayak lo!"
"Duh, galak bener, dah. Tapi rambut hitam lo bikin tambah cantik!"
"Gue emang cantik dari lahir, keles!"
Leo tertawa renyah dan Putri makin jengkel. "Bilang gak lo siapa? Atau gue teriak kalau lo udah nyulik gue!"
Pemuda itu mengambil ponselnya dan membuka galeri. Diperlihatkannya foto anak muda yang memiliki banyak tindikan di bibir, hidung, dan alisnya. Rambutnya berwarna pirang dan matanya diwarnai hitam persis mata panda. Bibirnya juga tak kalah dipakaiakan lipstick berwarna gelap. "Sekarang sudah inget?"
"Blackie?!" tanya Putri setengah berteriak. "Lo Blackie yang sering di Vados club?"
"Yoi, Non. Masak sih gak inget gue?"
Putri menjambak rambut pemuda itu dan menjewer telinganya dengan gemas. "Kalau penampilan lo kayak gini, siapa yang bakalan tau, Monyooong!"
"Eh, jangan ditarik-tarik dong, Non. Bisa putus telinga gue!"
"Salah sendiri ngerjain gue!" Putri langsung turun dan memesan bakso tulang rangu dua mangkok. Dia ingat dulu waktu kabur dari rumah, dia bertemu dengan Leo di Vados. Club malam pinggiran di kota New York yang sering didatangi anak-anak nakal dan kebanyakan adalah orang Indonesia yang tinggal di sana.
Putri ingat sekali dia hanya bertemu dua kali dengan Leo, tapi dengannyalah gadis itu menceritakan bagiamana dia bisa terdampar di Amerika. Rasanya dia ingin sekali kabur ke Indonesia, tapi papa menyembunyikan paspornya entah di mana. Ahasil, dia hanya bisa kabur di sekitaran jantung kota. Bersenang-senang, menghabiskan uangnya, kemudian kembali ke rumah meminta uang lagi pada Alex yang kala itu menyerah. Dia merasa tak mengenal lagi putrinya yang sulit dikendalikan.
"Gue akan teraktir lo bakso langganan gue kalau balik ke Jakarta!" Hibur Alex mengelus rambut Putri yang berwarna-warni.
"Lo mau pulang ke Indonesia?"
"Bokap minta gue nerusin kuliah di sana. Nyokap sekarat dan gue harus pulang."
"Mama lo sakit?"
"Kanker payudara stadium akhir."
Putri tak bertanya lebih jauh. Dia yakin pemuda yang dipanggilnya Balckie itu menyayangi mamanya, kalau tidak mana mungkin dia mau pulang. Tak terasa air mata gadis itu jatuh lagi. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Leo, dia juga ingin pulang ke rumahnya. Ke pelukan Mayang, tapi sungguh egois papanya yang memisahkan mereka hingga ribuan kilometer jarak yang membentang.
"Kok lo tahu kita ada di kampus yang sama?" Putri bertanya sambil menyeruput es kuwut di depannya. Baksonya sudah tandas sejak tadi.
"Gue denger ada mahasiswi cantik bernama Putri. Sudah puluhan cowok yang dia tolak, akhirnya gue datanglah ke kampus. Memastikan apakah itu lo atau bukan."
"Lo beneran gak di-DO? Gosip yang gue dengar, lo mahasiswa abadi."
"Biasa, Non. Duit! Ada duit, semuanya pasti beres."
"Mama lo gimana?"
"Udah di surga." Leo menunjuk ke atas dengan senyuman. "Sekarang dia gak gak perlu ngerasain sakit lagi ketika bokap pergi ke rumah istri-istri mudanya. Nyokap gak perlu lagi ngeluarin air matanya yang terbuang sia-sia."
"Gue ikut berduka cita, ya."
"It,s oke. Gue yakin kematian adalah hal terbaik buat nyokap."
Putri tak membalas lagi dan sedikit banyak, dia bisa merasakan sakit yang Leo alami. Dia bisa merasakan bagaimana kehilangan mama yang dicintai dan hidup dalam kebencian karena pengkhianatan papanya.
***
Putri mengajak Leo ke rumahnya untuk bertemu Mayang. Leo merasa di sambut hangat oleh keluarga itu, kehangatan yang tak pernah dia dapatkan di rumahnya sendiri. Justru, baginya rumah itu adalah neraka. Tak pernah ada ketenangan selain pertengkaran. Sejak papa Leo masuk ke dalam politik dan mendapat jabatan tinggi, sikapnya mulai berubah. Papa yang dulu Leo kagumi menjadi pria yang paling dibencinya. Mula-mula Leo tak tahu apa yang sedang terjadi, tapi ketika pulang sekolah didapatinya ibunya yang sedang menangis dengan pecahan gelas berserakan di dapur, barulah dia sadar apa yang sedang terjadi di rumahnya. Rumahnya sudah menjadi medan perang. Papanya sudah mati ditelan gemerlapnya dunia politik dan gadis-gadis muda yang siap melayaninya.
"Kenapa gak cerai aja sih, Ma?" tanya Leo kesal ketika melihat mama menangis. Saat itu dia baru saja pulang nonton bersama teman-teman SMP-nya.
"Kalau Mama minta cerai, bagaimana sekolahmu, Leo? Kakakmu juga masih kuliah."
"Leo bisa kerja. Leo laki-laki."
"Jangan egois, Leo. Kakakmu perempuan dan dia harus menikah." Ibu Leo berusaha meyakinkan anaknya bahwa dia baik-baik saja meski ayahnya jarang pulang dan suaminya memiliki simpanan lain di luar rumah. Namun, apa yang bisa dia lakukan selain bertahan? Sejak menikah dengan ayah Leo, ibunya tak pernah bekerja. Dia juga tak memiliki bisnis apa pun. Selama ini dia hanya ibu rumah tangga yang menerima uang dari suaminya. Tak pernah terpikirkan sedikit pun di benaknya bahwa hari ini akan tiba. Di mana suaminya selalu memukulnya jika Reni bertanya kenapa suaminya jarang pulang dan menuntuk waktunya untuk keluarga.
Leo tak berkata apa-apa lagi. Dia hanya memendam amarahnya di dalam dada. Egoiskah jika menginginkan mamanya keluar dari penjara yang selama ini menyiksa orang yang dikasihinya?
"Pulanglah setelah makan malam," kata Mayang ketika melihat pemuda itu bermain dengan Dira.
"Saya tidak akan menolak, Tan." Leo bicara terus terang pasalnya di rumah ini, dia menemukan kedamaian baru bernama keluarga.
"Tante senang ternyata Putri punya teman sepertimu di Amerika, tapi tante harap kebiasaan buruk kalian tidak muncul lagi."
"Mam!" Putri menggelayut manja dan merangkul mamanya. "Itu kan Putri saat masih remaja. Sekarang Putri gak gitu. Jangankan ke club, ngerokok aja sudah stop!"
"Iya, Sayang. Mama tahu ...." Mayang mengelus rambut Putri tanpa meneruskan kalimatnya. Dilihatnya Alex dengan penilaian seorang ibu. Pemuda itu memang baik, sopan, dia terlihat tak memiliki niat buruk pada Putri. Meskipun saat ini mereka berteman, bisa jadi kan hubungan itu menjadi lebih dari sekadar teman? Dan saat itu tiba, apa yang bisa diharapkan dari seorang Alex? Kuliahnya tak lulus-lulus, hidup masih berantakan, dan hanya mengandalkan uang ayahnya. Relakah Mayang putrinya bersama dengan pria yang tak memiliki masa depan? Dan hari yang paling ditakutkan Mayang pun terjadi. Malam itu dia mendapati Putri sedang mual-mual di kamar mandi. Tadinya Putri tak mau menjawab pertanyaan yang diajukan Mayang, tapi setelah dia didesak, Putri tak bisa menyembunyikan lagi kehamilannya.
"Maafkan Putri, Ma ...." Putri bersimpuh di kaki Mayang yang duduk di samping Rahman, pria yang sudah resmi menjadi suaminya. Sementara Andi, dia tak bereaksi apa-apa. Dia tahu saat adiknya dekat Leo, diri dalam gadis itu telah berubah. Dia tak lagi menutup diri, dia bisa membuka diri terhadap laki-laki, dan itu hanya pada Leo. Dia tahu bahwa Putri memiliki perasaan terhadap Leo.
Mayang hanya diam sesaat sebelum membuka mulutnya. "Di mana Leo sekarang? Suruh dia ke mari."
Putri hanya terdiam dengan kepala tertunduk.
"Jangan bilang kamu tidak tahu di mana Leo sekarang?"
Gadis itu menggeleng pelan. Ada kekecewaan yang menyusup ke hati Mayang, tapi apalah artinya kekecewaan itu jika dibandingkan dengan jabang bayi yang ada di perut putrinya. Dia bertekat dengan atau pun tanpa Leo menikahi Putri, Mayang akan tetap merawat dan mencintai anak cucunya.
0 Comments