"Lo yakin mau pulang pakai motor?" Juwi berusaha meyakinkan sekali lagi. Baru kali ini Putri mau naik sepeda motor lengkap dengan asap ibu kota yang tebal dan panasnya masih menyengat padahal matahari sudah bergeser ke arah barat. Bonus lengkap, kan? Beginilah nasib rakyat jelata. Kata Juwi kalau sedang kesal lantaran harus rela dan macet-macetan di jalanan. Padahal, sebelum Juwi lahir Jakarta sudah semrawut seperti rambutnya saat tertabrak angin. Tak beraturan dan tidak sed
ap dipandang.
"Yaelah. Pake nanya lagi. Kan kita udah di jalan!"
"Ya, siapa tau lo minta turun di tengah jalan dan memilih naik taksi."
"Hari ini gue mau uji nyali naik motor. Biar Mama percaya kalau gue gak masalah kena sinar matahari. Gue udah pakai tabir surya lima botol!"
"Yaelah. Dikira mau gelar paha di pinggir pantai. Ribet amat idup lo, Non! Kalau bisa beli mobil, ngapain sih ngotot beli motor?" tanya Juwi yang kesel banget sama kelakuan sahabatnya. Heran, deh. Mamanya bisa ngasih mobil kok malah minta motor.
"Gue bosen, Ju. Gue pengen naik motor. Andi aja boleh kok punya motor."
"Yaelah, bilang aja lo ngiri sama kakak lo."
"Emang!" Dan setelah merengek-rengek meminta motor, akhirnya Mayang menyerah. Dia membelikan motor matic untuk Putri. Namun, apa yang Mayang takutkan akhirnya terjadi juga. Putri menabrak anak-anak yang sedang menyeberang jalan! Itulah sebabnya wanita itu tak ingin membelikan Putri motor atau pun mobil. Putri bukan gadis yang sabaran, dia gampang capek, gampang bosan, mudah panik, dan dia juga tidak hati-hati.
"Gimana anak yang kamu tabrak, Put? Gak apa-apa?" tanya Mayang dengan jantung yang berdetak tak karuan ketika Putri bilang bahwa dia baru saja mengalami kecelakaan.
"Ih, Mama nyebelin, deh. Bukannya nguatirin Putri, tapi kuatir yang lain."
"Habisnya Mama yakin kamu gak apa-apa. Gimana bocah yang kamu tabrak?"
Putri memonyongkan bibirnya gemas. "Lecet-lecet doang sih, Ma ...."
"Gak bohong sama Mama?" Mayang tahu kalau putrinya sedang menyembunyikan sesuatu.
"Cuma perlu dirawat doang kok, Ma."
"Putriii ...." Karena tahu Mayang sedang serius, gadis itu langsung mengatakan yang sebenarnya. Anak yang dia tabrak kepalanya bocor dan perlu CT-scan.
Putri memang tak sengaja menabraknya. Lebih tepatnya, gadis itu panik ketika banyak anak menyeberang di depan sekolah. Tidak ada guru, tidak ada satpam yang mengawal, dan ketika Putri melaju tiba-tiba ada seorang anak berlari. Putri tak sempat menekan remnya dan anak itu keburu jatuh di atas aspal.
***
Mayang langsung menuju ke rumah sakit. Selain mencemaskan anak yang ditabrak putrinya, dia juga kuatir dengan anaknya. Dia yakin pasti Putri ketakutan dan bingung jika seandainya orangtua itu datang dan memarahinya.
"Sayang, kamu sama Pak Supri ngurusin motor Putri yang masih di depan sekolah, ya. Biar Mama dan Om Rahman yang ke rumah sakit," kata Mayang tergesa-gesa pada Andi. Sepanjang jalan dia meminta Rahman untuk melajukan mobilnya dengan cepat. Perasaannya tak enak dan dia ingin segera memeluk Putri. Meyakinkan padanya bahwa itu hanya kecelakaan dan Mayang sama sekali tak menyalahkannya.
Rahman menurunkan Mayang di depan pintu rumah sakit sementara pria itu ingin mencari tempat parkir ketika mereka telah sampai di rumah sakit. Mayang berlari menuju resepsionis dan menanyakan kasus anak yang ditabrak seorang gadis. "Sedang di tangani di UGD, Bu. Silakan lewat sebelah sini.
Mayang tak menunda waktu lagi dan langsung menuju ke UGD. Di ruangan yang tak terlalu luas itu terlihat orang sedang berkerumun dan begitu didengarnya tangis Putri, wanita itu langsung memecah keramaian.
Dilihatnya Putri sedang menangis memegangi kaki seorang wanita dengan perawakan garang dan bertubuh gempal. "Ampun, Mbak. Jangan pukul Putri lagi. Ampuni Putri, Mbak."
"Putri!" Tangis Mayang langsung pecah melihat anaknya. Dan ketika Putri melihat sosok malaikatnya penyelamatnya, dia langsung memegangi kaki Mayang.
"Mama ... Mama jangan pergi lagi, Ma. Putri takut dipukul Mbak Hilda."
Oh, Tuhan! Hancur hati Mayang melihat tangis putrinya. Melihat anak itu gemetar ketakutan dan juga bekas tangan yang masih memerah di wajahnya. Jadi, tamparan itukah yang membuat Putri kembali mengingat trauma masa kecilnya? Yang membuat dirinya merasa kesakitan saat Hilda memukulinya sekeras apa pun dia berteriak kesakitan dan minta ampun.
Dipeluknya gadis itu dengan perasaan lebur. Mayang mengelus punggungnya, menciumi wajahnya, dan mencoba menyeret Putri kembali ke kesadarannya. "Mama tidak akan pergi lagi, Sayang. Putri jangan takut lagi, ya."
"Putri takut, Ma. Sakit dipukul Mbak Hilda."
"Ssssttt. Mama di sini, Sayang. Jangan takut lagi, ya ...." Mayang memeluk anaknya seperti seorang bayi. Dia tak peduli orang-orang menjadikannya tontonan. Dia tak peduli mereka menganggap Putri gadis aneh dan mencomooh di belakangnya. Bagi Mayang, Putri adalah hidupnya. Tambatan hatinya. Belahan jiwanya yang tak kan tergantikan oleh apa pun.
Putri kembali tenang setelah sepuluh menit berlalu, tetapi Mayang sama sekali tak melepaskan pelukannya. Dia mengajak Putri duduk di ranjang rumah sakit yang kosong sambil mendengarkan Rahman berbicara dengan ibu dari anak yang tak sengaja ditabrak Putri.
"Ibu telah menampar anak saya di depan umum dan menyebabkan traumanya kembali. Kalau Anda bersikeras membawa semua ini ke jalur hukum, saya tak keberatan," kata Rahman dengan tegas.
"Suami saya polisi bintang tiga! Saya tidak takut!" Ancam wanita dengan tubuh gempal itu. Dan sejak tadi ketika dia datang ke UGD dan mendamprat Putri, pekerjaan suaminya-lah yang dia jadikan tameng. Wajar saja tak ada yang berani melerai. Di Indonesia, mendengar nama polisi saja sudah bikin merinding apalagi jika jabatannya sekelas jendral?
"Oke, kalau begitu." Rahman mengeluarkan dompetnya dan memgambil kartu nama. "Ini kartu nama saya. Kalau Anda berkeras, kita akan maju ke pengadilan."
"Huh, tunggu saja!" Wanita itu langsung pergi begitu saja dan meninggalkan anaknya yang terbaring sendirian. Menurut dokter umum yang tadi memeriksanya, luka Yogi bisa sembuh dalam beberapa hari. Hanya saja untuk memastikan, mereka harus melakukan CT-scan untuk berjaga-jaga kalau ada sesuatu.
"Maafin Yogi, Tante. Yogi yang salah karena nyeberang sembarangan sambil lari."
Hati Mayang terenyuh mendengarnya. Sungguh anak yang baik. Sangat beda jauh dengan ibunya. "Maafkan Kak Putri juga ya, Yogi. Seharusnya Kak Putri lebih hati-hati."
Yogi menggeleng pelan. "Kak Putri naik motornya pelan, Tante. Yogi saja yang nakal karena mau cepet-cepet beli es krim di seberang."
"Yogi anak yang baik," kata Rahman sambil mengusap rambut anak itu. Dan begitu Rahman menyelesaikan administrasi, dia langsung mengajak Mayang dan Putri pulang. "Sus, kalau ibu anak itu datang lagi dan memerlukan saya, hubungi saja. Saya akan segera datang."
"Baik, Pak."
"Besok kami akan datang lagi saat pemeriksaan Yogi."
"Baik, Pak." Dan ketika mereka sampai di dalam mobil, barulah Mayang menyadari. Dia tak bisa selamanya hidup seorang diri. Dia membutuhkan seorang suami yang bisa menopang tubuhnya saat tumbang dan membutuhkan sosok pria yang bisa menjadi ayah untuk anak-anaknya.
"Mas, ayo kita menikah." Putri sudah tidur pulas di di dekapan ibunya saat Mayang mengatakan itu. Dan Rahman langsung menghentikan laju mobilnya. Untung saja jalanan sudah lenggang, kalau tidak pasti terjadi kecelakaan. Rahman baru menjalankan mobilnya lagi ketika mobil di belakangnya membunyikan klakson beberapa kali.
"Hati-hati dong, Mas."
"Ah, aku kaget mendengarmu mengajakku menikah."
"Kalau gak mau ya sudah. Jangan ngakak bunuh diri, dong."
"Lho, kok jadi marah? Kan aku tidak menolak."
"Ah, Mas nyebelin!" Mayang pura-pura membetulkan jas milik Rahman yang digunakannya untuk menutupi tubuh Putri. Padahal yang sesungguhnya wanita itu merasa malu. Pipinya terasa panas dan ada gelepar aneh di dalam dadanya. Wanita paruh baya itu merasa dirinya menjadi seorang gadis remaja lagi. Cintanya pada Rahman mulai bergelora, meminta haknya untuk diselami dan dibelai kelembutan oleh asmara.
0 Comments