"Kak Putri!" teriak Dira ketika melihat Andi dan Putri pulang. Mereka sedang makan siang, tetapi Dira masih menunggu sesuatu datang. Sesuatu yang telah dijanjikan dan semua orang tahu, kalau sudah berjanji pada Dira, apa pun halangannya, apa pun rintangannya, janji itu harus dipenuhi. Kalau tidak, gadis cilik itu akan menagihnya hingga yang ditagih bosan.
"Nih bakso dan siomay Bu Mésem!" Putri menyerahkan bungkusan itu pada Dira dan gadis itu langsung membawanya ke dapur. Dari kemarin Putri menjanjikan akan membelikan bakso kalau dia lulus. Ya, mekipun sebenarnya dia tahu kalau dia akan lulus. SMA Harapan adalah salah satu sekolah terbaik di Jakarta dan hampir semua muridnya pintar kecuali Putri. Gadis itu malas belajar dan tak pernah menyimak apa yang diajarkan guru. Kalau saja bukan karena Juwi, murid terpintar di kelasnya, jangankan lulus. Naik kelas pun tidak.
"Maaf ya, Om. Baksonya cuma satu," kata Putri ketika melihat Rahman yang sedang ikut makan siang di rumahnya.
Pria itu tersenyum malu dengan wajah memerah. "Ah, gak apa-apa. Selamat ya atas kelulusan kalian. Minta hadiah apa, nih?"
"Gak deh, Om. Hadiahnya buat Mama aja!" Mayang langsung batuk mendengar jawaban putrinya. Anak itu memang suka sekali menggoda. Padahal, di usia Mayang dan Rahman sekarang, sudah tak pantas jika digoda seperti itu. Mereka bukan lagi anak muda..
"Kita masuk dulu ya, Om. Kekenyangan bakso, nih!" Andi dan Putri langsung menuju kamar mereka masing-masing. Sedangkan Rahman tak bisa berhenti tersenyum. Entah karena tatapan Mayang atau karena ucapan Putri.
"Tuh, kan. Anak-anak saja sudah memberi lampu hijau. Apalagi yang kamu tunggu, May?"
"Mas ... jangan bahas sekarang, ya. Gak enak ada Dira." Dan Rahman pun menurut. Apa sih yang tidak untuk Mayang? Seluruh hidupnya telah ia habiskan untuk membujang. Sampai usianya yang ke enam puluh, dia rela menunggu Mayang tanpa kejelasan. Rahman telah menunjukkan kesetiannya dengan tidak menikah dan selalu ada di samping wanita itu. Dari saat perceraiannya dengan Alex, sampai detik ini. Rahman tak pernah memaksa. Tak pernah menuntut. Dan karena keuletannya itulah Mayang perlahan-lahan jatuh cinta padanya. Bukan cinta pertama yang menggebu-gebu, tapi cinta di usia senja yang lembut, tak terburu-buru, dan matang. Namun, jika untuk menuju jenjang pernikahan, Mayang belum siap. Setidaknya untuk sekarang.
***
Akhirnya Putri dan teman-temannya resmi menjadi mahasiswa. Dia kuliah satu kampus dengan Andi dan ketiga temannya. Mereka semua mendapatkan beasiswa, hanya Putri yang tidak. Boro-boro beasiswa, keterima dengan nilai mepet saja sudah syukur. Juwi, Desi, dan Andi berada di satu fakultas. Kedokteran. Sementara Nunik dan dirinya ada di fakultas ekonomi. Di tahun-tahun pertama masa perkuliahan, keempat sahabat itu memang sering berkumpul. Namun, seiring berjalannya waktu dan banyaknya tugas, intensitas mereka bertemu semakin berkurang. Dan tempat nongkrong mereka tak lain dan tak bukan adalah kantin kampus. Habisnya, di mana lagi based camp orang-orang doyan makan?
"Gue nyesel masuk kedokteran!" keluh Juwi sambil menyendoki gado-gado di depannya. "Kepala gue sampe ngebul kayak opletnya bokap! Untung gak konslet!"
"Lo masih mending, Ju. Nah, gue kena sasaran marah dosen melulu!" Desi tak mau kalah menunjukkan kesusahannya. "Apes deh, gue! Ketiban sial terus!"
"Kakak gue fine fine aja, tuh. Kalau di rumah, kerjaannya tidur melulu," sambar Putri santai.
"Yee ... jangan bandingin kita sama si Andi dong, Put. Dia mah otaknya encer. Heran deh, gue. Cuma dia yang kayaknya gak pernah belajar, tapi nilainya selalu bagus! Lo gimana, Nun? Dari tadi diem aja."
Nuni mendesah panjang. Walaupun tugas kuliahnya tidak merepotkan, tetapi pekerjaannya yang menguras waktu, tenaga, dan pikiran membuatnya cukup stress. Semenjak bokapnya meninggal, Nunik harus bekerja untuk membantu ibunya. Untung saja ada malaikat penyelamatnya. Putri. Dia bilang ke Mayang situasi Nunik dan Mayang dengan senang hati meminta gadis itu bekerja di salah satu perusahaan milik keluarganya dengan waktu yang fleksible. Mayang tahu dengan siapa anak-anaknya bergaul, jadi dengan senang hati wanita itu selalu mendukung anak-anaknya. Dan seolah tak mau mengecewakan Mayang, Nunik bekerja mati-matian sebagai tim pemasaran. Ide-idenya selalu cemerlang dan mampu membuat perusahaan mencapai goal. Dari situlah Mayang semakin bangga dengan Nunik dan menjanjikan posisi yang tinggi ketika sudah lulus nanti. Dia tak lagi memikirkan soal keuangan keluarganya dan mau bekerja apa setelah lulus kuliah nanti, tapi lama kelamaan dia KO juga karena harus membagi waktu dan pikirannya antara kuliah dan pekerjaan.
"Pala gue hampir meledak, Bray. Kadang-kadang gue iri sama Putri yang kagak punya otak."
"Enak aja!" Putri pura-pura marah dan mereka semua pun tertawa. Dan tawa itu baru berhenti ketika seorang mahasiswa dengan penampilan dan wajah pas-pasan menghampiri gadi-gadis itu.
"Put, boleh minta waktunya sebentar, gak?" Mahasiswa itu bertanya ragu dan Putri langsung memasang wajah masam. Dia tahu apa maksud Joni datang padanya. Dan ini bukan kali pertama.
"Bisa gak ngomong di sini aja? Gue males jalan, nih."
Joni, anak fakultas kedokteran yang sebentar lagi lulus itu pun melirik ketiga teman Putri. Setengah gondok mereka pergi meninggalkan mereka. "Kita tunggu di depan ya, Put." Dan begitu mereka pergi, Joni langsung menyerahkan setangkai bunga mawar dari dalam tasnya.
"Semoga kali ini lo mau nerimanya, Put."
Putri membuang napas dari mulutnya dengan keras. Entah sudah berapa kali Joni menembaknya dan berapa kali itu juga dia menolaknya. Bukan karena Joni tidak ganteng. Sama sekali bukan itu. Namun, karena Putri sama sekali tak tertarik dengan laki-laki, siapa pun itu.
Sejak Putri sudah mulai bisa berpikir dewasa ketika ada orang yang biasa dia panggil Mbak Hilda mengaku sebagai ibu kandungnya lalu papa dan mamanya bercerai, Putri menganggap bahwa laki-laki adalah makhluk yang jahat dan tak bisa dipercaya. Tentu saja kecuali Andi. Kakak yang dengan sengaja dipisahkan darinya selama sepuluh tahun. Meskipun saat mereka kecil keduanya selalu bertengkar dan merebutkan hal sepele, Putri tahu kalau Andi sayang padanya. Diam-diam Andi memberi sontekan saat ada tes. Dia juga yang akan maju pertama kali kalau ada anak-anak yang mengusili dirinya.
Papa yang dulu dia kagumi, yang dia puja, yang dicintainya, ternyata tega mengkhianati mamanya. Membuat keluarganya hancur. Meskipun pada akhirnya Putri tahu, tanpa pengkhianatan papanya, tanpa perselingkuhan Alex dan Hilda, dirinya tak akan pernah lahir ke dunia ini.
"Sorry, Jon. Gue tetep gak bisa nerima lo."
Joni sudah mempersiapkan telinga dan hatinya untuk mendengar penolakan Putri, tapi tetap saja sakit mendengarnya. "Sebenarnya apa kekuranganku, Put? Yang ganteng saja kamu tolak. Berarti, tidak masalah kan dengan fisikku?"
"Jon ...." Putri memegang bahu pemuda itu dan berkata dengan lembut. "Jika suatu saat gue sudah percaya bahwa laki-laki itu bukan makhluk yang bejat, lo pria pertama yang bakal gue datangin."
"Tapi Andi juga laki-laki, Kan? Papa lo juga laki-laki."
"Justru karena Papa gue laki-laki bejat gue gak percaya laki-laki. Kalau Andi pengecualian. Dia satu-satunya pria yang gak akan nyakitin gue."
***
Joni berjalan lesu ke ruang praktikum. Dan saat dia melihat Andi, pemuda itu langsung bicara tanpa ragu. "Ndi, seberengsek apa sih bokap lo? Sampe Putri gak mau pacaran?"
Andi yang sedang membaca buku sebelum dosen datang pun langsung mengangkat wajahnya dan menatap Joni. "Emang harus ya lo tanya di tempat umum?"
"Harus, dong! Biar semua orang tau kalau adek lo itu perlu dibawa ke psikiater! Putri itu sakit, Ndi!"
Sialan! Rahang Andi mengejang dan hampir melayangkan bogem mentahnya pada Joni yang bertubuh kurus kering seperti orang kurang gizi. Namun, begitu dosennya datang dan berdehem, Andi mengurungkan niatnya. Ditahannya amarah yang berkecamuk di dalam dadanya. Orang lain boleh menghina papanya, tapi tak ada yang boleh menjelekkan mamanya, Dira, dan juga Putri. Jangankan hanya memukul seorang pemuda seperti Joni, melumuri tangannya dengan darah orang lain demi keluarganya pun Andi rela.
***Bersambunga ....
0 Comments