Hilda adalah pelayan hotel yang tak hanya cantik, tetapi juga cekatan. Dalam kurun waktu kurang dari setahun, dia sudah diangkat menjadi pegawai tetap. Hilda selalu menjadi favorit para tamu yang menginap di Nusa Dua, salah satu hotel bintang lima di kota Makassar. Namun, di sisi lain Hilda juga banyak dimusihi oleh pegawai perempuan yang merasa tersaingi dengan keelokan tubuh dan parasnya.
"Hil, room service kamar 303!" sentak Rahma jengkel karena Pak Ridwan hanya mau dilayani oleh Hilda. Tak mau jika makanannya diantar oleh waitress lain.
"Pesan apa lagi sih tu kakek-kakek." Hilda tak kalah jemu. Walaupun Pak Ridwan kalau memberi tips tak kira-kira, tetap saja Hilda merasa tidak nyaman. Dia mampu membaca gelagat buruk dari tamu hotel yang sudah menginap selama seminggu di sini. Berbagai cara sudah dicoba untuk mendekati Hilda. Mulai dari menawarkan nonton bioskop, belanja pakaian, sampai perhiasan. Semuanya Hilda tolak mentah-mentah. Tugasnya di hotel hanya melayani tanpa plus plus!
"Cuma jus alpukat doang."
Huh. Hilda membuang napas pelan lalu membawa nampan berisi jus alpukat dan bill yang harus dibayarkan Pak Ridwan. Semoga kali ini bayarnya tidak cash, biar Hilda tak rugi bandar karena Pak Ridwan pasti memegang tangan gadis itu ketika sedang memberikan uang.
"Room service!" Hilda mengetuk pintu hingga tiga kali dan setelah menunggu sampai kaki Hilda pegal, akhirnya seorang pria muncul dari balik pintu itu. Seperti biasa, saat melihat gadis cantik macam Hilda, senyumnya langsung merekah dan sorot matanya selalu terlihat meremehkan. Menganggap bahwa gadis-gadis zaman sekarang harga dirinya bisa dibeli pakai uang. Ya, meskipun anggapan Pak Ridwan tidaklah salah, tetapi kan tidak semua gadis mau dikencani hanya demi uang.
"Selamat sore, Pak." Hilda menyapa dengan ramah meski hatinya gondok bukan main. Dia merasa jijik pada pria tua di depannya yang hanya mengenakan handuk yang terlilit di pinggangnya. Entah apa yang membuatnya begitu percaya diri dan menganggap bahwa Hilda akan tertarik pada perut buncitnya dan juga kulitnya yang sudah mulai mengendur karena dimakan usia karena tidak pernah berolahraga. Dibayar dengan tiket PP ke Paris pun Hilda tak akan tergoda meski Paris adalah impian gadis berusia duapuluh tahun itu.
"Sore, Hilda. Masuk. Taruh saja gelasnya di meja."
Cepat-cepat gadis itu menuju meja dan menaruh segelas jus alpukat. "Untuk bill-nya, mau dimasukkan ke tagihan kamar atau cash, Pak?"
Pak Ridwan yang masih berdiri lekas menutup pintu dan mengambil dompet di atas tempat tidurnya. "Cash saja. Seperti biasa." Pria itu mengeluarkan uang dua ratus ribu dan memberikannya pada Hilda. Digenggamnya tangan gadis itu meski Hilda berusaha melepaskan diri. "Tanganmu hangat, Hil. Halus, lembut, dan saya selalu memimpikannya."
"Ah, terima kasih banyak, Pak." Hilda menarik tangannya dengan kuat lalu berjalan ke arah pintu sebelum pria tua itu bicara lebih lanjut. Gadis itu sampai merinding dibuatnya dan begitu sampai di konter room service, Hilda menaruh uangnya di depan Rahma. "Nih, duitnya."
"Banyak betul, dah! Jus cuma lima puluh, bayarnya dua ratus."
"Lumayan kan, Ma. Buat tambahan beli bakso!"
"Iya juga, sih. Tadi diapain lagi sama Pak Ridwan?"
"Biasa. Untung aku cepetan kabur. Kalau tidak, bisa tamat riwayatku!" Rahma tertawa geli lalu memberikan sisa pembayaran pada Hilda.
"Buat kamu separo deh, Ma. Kita kan jaga berdua."
"Sip, deh!" Rahma mengambil jatahnya dengan senang. Coba semua tamu hotel memberikan tips sebanyak Pak Ridwan, bisa cepat kaya dia.
***
"Room service selamat malam. Dengan Hilda ada yang bisa saya bantu?" Hilda mengangkat gagang telepon dengan ramah dan suaranya yang lembut. Ketika melihat pada layar, ternyata yang menghubunginya salah satu tamu dari kamar suite room. Kamar nomor satu.
"Halo, Mbak. Saya mau pesan makanan."
"Baik, Pak. Bapak sudah membaca daftar menu yang ada di atas meja?"
"Ya." Tamu itu menjawab singkat dan baru kali ini Hilda tak merasa ingin cepat-cepat mengakhiri telepon. Suara pria itu begitu enak didengar, macho, dan juga berwibawa. Diam-diam Hilda penasaran lelaki seperti apakah yang memiliki suara sedemikian menarik.
"Menu apa yang ingin Bapak pesan?"
"Coto makassar satu dan es lemon tea satu."
Hilda mencatat pesanannya kemudian mengulangnya dengan hati-hati. "Coto makasar satu dan es lemon tea satu dikirim ke kamar nomor ya, Pak."
"Betul, Mbak."
"Terima kasih telah menghubungi room service. Untuk pesanannya mohon ditunggu ya, Pak."
Pria itu menutup sambungan telepon dan entah kenapa Hilda tiba-tiba bersemangat. Dengan segera dia membuat pesanan ke kitchen dan menyiapkan peralatan makan yang akan dibawanya ke kamar tamu. Dibayangkannya betapa tampan dan gagahnya pemilik suara itu. Setinggi apakah badannya? Selebar apakah bahu dan dadanya? Meskipun tak mampu membayangkan seperti apa lelaki yang meneleponnya tadi, tetapi Hilda yakin dia tidak setua dan segenit Pak Ridwan.
***
Seperti biasa Hilda mengetuk pintu kamar sebanyak tiga kali sebelum akhirnya seorang pria yang masih mengenakan kemeja putihnya membukakan pintu sambil memegangi ponsel.
"Taruh saja di meja, Mbak," ucap Alex Bramantyo sebelum melanjutkan lagi berbicara di telepon. Diam-diam gadis itu memperhatikan tamu yang duduk di sofa itu dengan rasa takjub. Dia memang tampan, badannya tegap, dan yang paling penting matanya tak jelalatan padahal Hilda sempat menyapukan makeup tadi.
"Masukan saja ke tagihan kamar ya, Mbak," kata Alex begitu menutup telepon.
"Baik, Pak. Kalau begitu silakan ambil bill-nya," sahut Hilda memberikan bill warna merah muda. Dan ketika dia hendak berpamitan, suara Alex menghentikan langkahnya.
"Mbak orang asli Makassar?"
Buru-buru Hilda berpaling. "Iya, Pak."
"Bagus kalau begitu. Tahu di mana toko oleh-oleh yang bagus? Saya ingin membelikan sesuatu untuk istri saya."
Oh, rasanya hati Hilda merasa sakit saat mengetahui pria itu sudah beristri. Meskipun dia bukan siapa-siapanya, tetap saja gadis itu merasa kecewa. Ah, entah apa yang diharapkannya. Lagipula, mana ada lelaki tampan seperti dia yang masih sendiri di usianya yang matang? Kecuali lelaki itu ada kelainan.
"Kalau Pak Alex mau, saya bisa mengantar Bapak. Kebetulan besok saya libur. Kalau bersedia, saya bisa menjemput Bapak di depan."
Alex tak menolak ajakan itu. Tiga hari dia pergi ke Makassar untuk urusan bisnis tanpa ditemani sekretarisnya. Urusan oleh-oleh yang biasanya adalah urusan bawahannya, kini menjadi urusannya.
"Ini kartu nama saya. Saya ada waktu di atas jam dua belas. Jika sudah sampai, Mbak bisa menghubungi saya."
Hilda mengambil kartu nama itu tanpa ragu lalu pergi. Namun, ada sesuatu yang Hilda lupakan. Hatinya masih tertinggal di kamar itu ....
***Bersambung ....
0 Comments