"Kenapa Mama harus pergi?" rengek Andi yang sejak tadi menangis saat Mayang bilang akan menemani kakek mereka ke Singapura untuk berobat. "Di Jakarta kan ada dokter, Ma."
"Betul kata Andi, Ma. Kakek pasti sembuh kalau dibawa ke dokter."
Mayang membuang napas berat kemudian memeluk dua anaknya. Baru kali ini dia harus meninggalkan mereka. Itu pun terpaksa karena Mayang harus menemani papanya ke Singapura untuk berobat. Kalau saja penyakit papanya bisa sembuh tanpa harus ke luar negeri, Mayang tentu akan lebih senang. Sayangnya, peralatan medis dan dokter di negara tetangga lebih memadai. Mau tak mau dengan berat hati dia harus meninggalkan Andi dan Putri. Tak bisa dibayangkan bagaimana rasanya hidup tanpa anak-anaknya. Tak ada suara bising saat mereka ribut, tak ada yang merengek berebut perhatian, dan juga tak ada tangis yang membuatnya jengkel. Tujuh tahun berlalu dan selama itu juga tak pernah sehari pun Mayang hidup tanpa keluarga kecilnya. Sungguh sepinya jika di harus pergi meninggalkan mereka.
"Doakan biar kakek cepet sembuh ya, Sayang. Mama pasti akan segera pulang."
"Kalau kakek sembuhnya nunggu Putri jadi dokter bisa gak, Ma?"
Mayang terkekeh sekaligus merasa terharu. Begitu polos dan tulus. "Memangnya Putri kepengen jadi dokter?"
"Tadinya mau jadi Berbie aja, tapi karena kakek sakit, Putri pengen jadi dokter. Biar gak usah jauh-jauh ke luar negeri. Nanti kalau Mama, Papa, dan Andi sakit, biar Putri yang suntik!"
Ah, Mayang jadi menitikkan air mata yang sejak tadi ia tahan. Kalau sudah begini, jadi makin berat meninggalkan anaknya. Dan dengan terpaksa, Mayang meninggalkan mereka berdua yang menangis dan meronta di dekapan Puji dan Hilda. Sakit rasanya mendengar tangisan anak-anaknya, tapi Mayang tak punya pilihan lain. Dia segera melajukan mobilnya ke rumah orangtuanya untuk menuju bandara.
***
"Putri gak mau makan!" anak itu menyingkirkan piringnya dengan kasar. Puji sampai kewalahan menghadapi majikan kecilnya yang seharian ini nakalnya dua kali lipat. Baru sehari Mayang tak ada di rumah, Puji sudah kerepotan luar biasa. Punggungnya sampai encok.
"Andi juga gak mau makan! Masakannya gak enak!"
Alex yang baru pulang bekerja mendengar omelan anak-anaknya dan mendekati mereka. "Hayo, nanti Papa bilangin Mama kalau kalian gak mau makan."
"Makanannya gak enak, Pa," protes Andi dengan wajah yang ingin menangis. Alex tak marah sedikit pun. Dia memahami perasaan Andi dan Putri yang sudah terbiasa dengan Mayang. Diciumnya satu persatu anaknya dan dipeluknya dengan kasih sayang. "Kalau kalian gak makan dan sakit, nanti Mama bisa sedih. Putri dan Andi mau kalau Mama sedih?"
Kedua bocah itu menggeleng mantap. "Kita gak mau Mama sedih, Pa," jawab mereka bersamaan dan pada akhirnya Alex-lah yang menyuapi mereka secara bergantian. Begitu selesai, Puji dan Hilda membawa dua bocah itu ke kamarnya karena sudah mengantuk.
"Kamu boleh tidur, Puj. Jangan lupa minum obatnya. Masih pusing, kan?" tanya Hilda begitu Putri dan Andi tidur di ranjang mereka masing-masing. "Kamu tidur saja di kamar sebelah, biar aku yang jaga mereka."
"Kamu gak apa-apa, Hil? Sejak gak ada Bu Mayang, Non Putri pasti bangun tengah malam dan nangis."
"Gak apa-apa. Besok kalau sakitmu belum sembuh, bilang ke Pak Alex."
Puji tidak membantah. Sejak pagi memang kepalanya sakit, pusing, dan mual. Seperti orang hamil saja padahal cuma masuk angin. Untung aja Hilda bisa diandalkan, jadi tugasnya tak begitu berat di saat genting seperti ini karena tak ada Mayang yang membantu mengurusi anak-anak. Dan begitu tengah malam tiba, hal yang ditakuti Puji datang juga. Putri terbangun dan merengek. Agar tidak membangunkan Andi, Hilda menggendong Putri ke luar dan menenangkannya di sana.
"Putri mau Mama! Gak mau sama Mbak Hilda!" Putri memukul-mukul bahu Hilda, tetapi wanita dengan sabar menepuk punggung gadis kecil itu.
"Mama kan lagi nungguin kakek yang lagi sakit. Minggu depan baru pulang."
"Gak mau! Pokoknya Putri mau Mama!"
Hilda mendesah panjang lalu menyeka keringat di dahi Putri. "Putri sama Mbak Hilda dulu, ya. Putri lapar? Mau roti bakar?"
"Gak mau! Putri mau tidur sama Papa!"
Duh. Hilda jadi bingung sendiri. Tidak mungkin kan dia mengetuk pintu kamar majikannya? Namun, Hilda tak perlu melakukan itu. Tak perlu repot-repot mengetuk pintu karena Alex yang sedang mengisap rokok berjalan ke arahnya.
"Rewel lagi, Hil?"
Hilda tersentak mendengar suara itu. Suara yang sudah sering didengarnya, tetapi selalu menimbulkan perasaan aneh di hatinya.
"Iya, Pak. Lebih rewel dari kemarin-kemarin."
"Papa ...." Setengah mengantuk Putri meminta gendong Alex dan pria itu langsung mematikan rokok di atas asbak yang ada di meja. Disambutnya tangan Putri dan digendongnya anak itu hingga tidur terlelap.
"Kamu tidur saja, Hil. Biar saya yang menemani Putri," kata Alex dengan suaranya yang seperti biasa. Pembawaan yang selalu tenang dan berwibawa. Padahal, Hilda sudah hampir mati berdiri karena berduaan dengan majikannya.
"Tapi, Pak ...."
"Tidak apa-apa. Saya tidak mau kamu sakit."
Perkataan Alex membuat darahnya berdesir. Sungguh perhatian sekali Alex terhadapnya. "Pak Alex mau kopi?"
"Tidak, terima kasih. Oya, saya tidak menyangka bisa ketemu kamu di sini."
Hilda menggigit bibirnya perlahan. Hampir sebulan dia bekerja di rumah ini, dia mengira Alex telah melupakannya. Namun, siapa sangka malam ini ketika mereka hanya ngobrol berdua, ternyata Alex masih mengingatnya. Masih memanggil namanya yang terdengar mesra di telinga Hilda.
"Iya, Pak. Saya juga tak menyangka," jawab Hilda berdusta karena kehadirannya di rumah keluarga Alex bukanlah sebuah kebetulan. Wanita itu telah merencanakannya dengan matang dan semuanya berjalan lancar tanpa hambatan.
***Bersambung ....
0 Comments