"Kamu yakin mau berhenti kerja, Sus?" tanya Mayang pada Kani yang duduk di sebelahnya. Sudah tujuh tahun gadis itu bekerja di rumahnya sebagai baby sitter. Rasanya, Mayang tak rela melepasnya begitu saja. Apalagi Putri dan Andi sudah terbiasa dengannya.
"Iya, Bu. Orangtua di kampung minta saya untuk pulang dan segera menikah."
Mayang melenguh panjang lalu menggenggam tangan Kani. "Kalau kamu mau kerja di sini lagi, datang saja, ya. Saya, Mas Alex, dan anak-anak sudah menganggap kamu keluarga sendiri."
"Terima kasih, Bu. Maaf kalau selama ini saya merepotkan keluarga Bu Mayang." Mayang memeluk Kani dan menepuk-nepuk punggungnya. Andi pasti akan kehilangan Mbak Kani-nya. Karena sejak bayi, gadis itulah yang merawatnya, menemaninya bermain, dan juga belajar. Meskipun hanya lulusan SMP, Kani terbilang cerdas dan cekatan. Itulah salah satu alasan kenapa Mayang sangat berat melepasnya. Tak mudah zaman sekarang mencari perawat anak-anak yang tulus menyayangi. Tak jarang Mayang bergidik ngeri kalau melihat berita seliweran di media sosial. Ada yang anaknya dianiaya baby sitter-nya sendiri, bahkan ada yang dihilangkan nyawanya lantaran dendam terhadap orangtua si anak. Duh, sebagai orangtua Mayang tak berani membayangkan hal demikian terjadi.
"Justru saya yang sering merepotkan kamu, Sus. Saya tidak tahu di mana harus nyari penggantimu, Sus." Mayang melepaskan pelukannya lalu menoleh pada Puji yang duduk di sofa lain. "Jangan bilang kamu juga mau pulang kampung, Sus."
Puji hanya nyengir. Dia memang dipaksa orangtuanya untuk menikah dan sudah disiapkan calonnya, tapi Puji belum mau menikah. Ngeri kalau melihat berita sekarang yang suaminya tukang selingkuh atau jajan di pinggir jalan. Puji lebih memilih menikah di usianya yang matang dengan pria yang tepat, daripada menikah muda tanpa persiapan apa-apa dan atas dasar desakan keluarga dan orang-orang sekitar. "Tenang saja, Bu. Saya belum laku. Belum ada yang mau membeli!"
"Putri bisa marah kalau kamu keluar juga. Bisa-bisa dia mogok makan."
***
"Kamu sih nakal, Ndi. Makanya Mbak Kani minta pulang kampung," kata Putri sambil menyisi rambut Barbie yang berwarna keemasan. Sementara Andi yang sedang bermain mobil-mobilan, sedikit merasa kesepian karena Mbak Kani-nya pergi. Selain itu, sekarang tak ada lagi yang bisa membantunya mengerjakan PR menggambar. Mbak Puji gambarnya seperti Putri, sama jeleknya. Papa dan Mama, gambarnya lebih parah. Mereka tak bisa menggambar mobil-mobilan seperti Mbak Kani. Yang bisa mereka gambar hanya sawah dan gunung.
"Bukan. Mbak Kani mau nikah," bantah Andi tak mau disalahkan. Lagian dia juga gak nakal, kok. Sejak kecil sampai sekarang, Andi adalah anak yang baik. Dia selalu membereskan mainannya sendiri karena begitulah Kani mengajarinya. Berbeda dengan Putri yang selalu minta tolong Puji untuk membereskan mainannya.
"Berarti kayak Berbie, dong. Berbie juga mau nikah sama pangeran Luis. Iya kan, Mbak Puj?"
Puji yang sedang mengerjakan PR Putri hanya mengangguk. Biasanya dia bisa bertanya pada Kani, tapi kini Kani tak ada lagi. Akhirnya, Puji pusing sendiri. Maklum, otaknya tak seencer Kani.
"Non Putri, sejak kapan sih kelas satu SD sudah ada pelajaran Bahasa Inggris?" Puji menggaruk-garuk kepalanya gemas. Heran, waktu dia SD dulu gak ada yang namanya Bahasa Inggris. Bahasa kok tulisannya susah dieja.
"Mana Putri tahu." Gadis kecil itu mengangkat bahunya. "Ah, kalau tahu gini sih Putri akan mogok makan biar Mbak Kani gak pulang. Mbak Kani kan biasa nyanyi lagu Inggris. Pasti bisa ngerjain PR Putri. Iya kan, Ndi!"
Andi hanya mengangguk sambil membayangkan kapan dia akan mendapatkan ganti Mbak Kani. Lama-lama dia bosan kalau mainnya sendiri terus.
***
"Belum dapat gantinya, Sayang?" tanya Alex ketika melihat istrinya membaca biodata yang diserahkan agen baby sitter padanya.
"Belum, Mas. Belum ada yang cocok. Hari ini wawancara lima orang, gagal semua. Belum nemu yang srek."
"Memangnya seperti apa yang kamu cari? Kalau nyari yang seperti Kani, jelas susah."
"Nah, itu Mas tahu. Pokoknya dia harus penyanyang, Mas. Putri request, kudu yang bisa Bahasa Inggris."
Tawa Alex meledak. Dia tahu akal bulus putrinya kenapa meminta demikian. "Orang yang bisa Bahasa Inggris kan jarang, Sayang. Sarjana saja belum tentu bisa bicara bahasa asing. Kebetulan saja Kani otaknya encer. Sekali dengar saja dia sudah hafal."
"Ah, Mas. Sekarang aku jadi nyesel kan bolehin Kani pulang. Kalau tahu bakalan sulit begini, aku carikan jodoh deh dengan syarat masih kerja di sini. Sudah sebulan aku nyari di banyak agency belum ada yang pas. Kalau terlau tua, nanti dia pasti gampang capek dan gak bisa ngimbangi anak-anak. Kalau baru banget, belum ada pengalaman."
"Terus?"
"Ya, minimal sudah punya pengalaman dan gak tua-tua amat, Mas. Mas kan tahu sendiri gimana Putri, sejak bayi dia yang paling aktif. Kalau Andi, dia suka orang yang tahu banyak hal karena pasti banyak tanya. Puji sudah sering ngeluh sakit kepala, tuh."
Alex menyandarkan kepalanya di bahu Mayang dan meraih tangan istrinya lalu diletakkan di atas pahanya. "Kepala Papa juga sudah pusing nih, Ma. Butuh obat!"
Ah ... Mayang pura-pura kesal dan mencubit pahanya.
***Bersambung ....
0 Comments