"Kamu mencintainya, Mas?" Pertanyaan itu terdengar dingin dan tawar di telinga Alex. Dia sudah menjelaskan semua yang terjadi meski pria itu tahu kenyataan bahwa dia telah berselingkuh akan kenghancurkan hati istrinya.
"Gadis itukah penyebabnya? Kenapa kamu memperpanjang dinasmu di Makassar?"
"Maafkan aku, Sayang." Ketika hendak membelai rambut Mayang, ditepisnya tangan Alex. Tiba-tiba ada rasa jijik yang menjalar di hatinya. Belum lagi anggapannya selama ini salah. Dia mengira Alex adalah laki-laki setia, tapi siapa sangka dia bisa menyembunyikan perselingkuhannya begitu rapi. Dan hebatnya lagi, Mayang sendirilah yang membesarkan anak dari perselingkuhan itu. Dia sendiri yang menghujani anak itu dengan kasih sayang. Ya, Tuhan ... sungguh tak terduga skrenarioMU.
"Mas Alex mencintai Hilda?" Sekali lagi Mayang bertanya dengan hati yang perih. Dan di saat suaminya hanya diam, saat itu jugalah dia tahu. Ada cinta untuk Hilda. Suaminya, lelaki yang paling dipercaya selain ayahnya, telah mencintai perempuan lain, dan menodai pernikahan suci mereka.
Tanpa berkata apa-apa lagi Mayang keluar dari kamar itu menuju kamar anak-anaknya. Dilihatnya kedua anak itu sedang tidur terlelap dan mencium kening mereka secara bergantian.
"Maafkan Mama, Sayang ...." Mayang membelai rambut Putri dan akhirnya semua kebetulan yang selama ini dia rasakan terjawab sudah. Mulai dari wajahnya yang semakin lama semakin mirip Alex, alergi makanan yang serupa, dan juga golongan darah yang sama. Dan kini dia juga akhirnya menyadari satu hal. Dia ingat di mana dia melihat Hilda sebelumnya. Yaitu di wajah anaknya sendiri, Putri. Mata dan bibirnya persis seperti Hilda. Dan tanpa terasa sekali lagi air matanya mengalir ....
***
Sudah seminggu Mayang pergi dari rumah Alex. Meninggalkan suami dan juga anak-anaknya. Dia memilih pergi ke rumah orangtuanya dibanding harus melihat suami yang telah mengkhianatinya dan selingkuhannya yang dia sendirilah yang telah membawanya ke dalam rumah mereka. Dan kini Mayang baru menyadari satu hal. Kedatangan Hilda dalam hidupnya bukanlah sebuah kebetulan. Dia telah merencanakan semuanya. Mayang mengecek CCTV yang tersambung langsung dengan ponselnya. Dia mengamatinya dengan teliti satu persatu. Dan di sana, dia menemukan bayangan Hilda mengintai rumahnya. Dia yakin Hilda juga telah merencanakan tentang penyamarannya sebagai nanny. Untuk merebut kembali anak yang telah ditelantarnya berikut dengan Alex. Dan hari itu juga Mayang pergi ke panti untuk menemui Bu Jarwo.
Wanita tua itu hampir jatuh pingsan saat Mayang menceritakan semuanya. Dia malu sekaligus menyesal karena telah memberikan alamat rumah Mayang dan Alex. "Saya minta maaf, Bu. Saya benar-benar menyesal."
Seandainya maaf itu bisa mengubah kenyataan dan membuat keluarganya kembali utuh, tentu Mayang tak keberatan memaafkannya dengan mudah, tapi sekarang situasi berbeda. Dia baru menyadari bagaimana liciknya Hilda yang selama ini dianggapnya polos dan gadis yang baik. Tak hanya dia yang terkecoh. Putri pun sudah terlanjur menyayangi dan bergantung padanya.
"Nasi sudah menjadi bubur, Bu Jarwo. Sekarang, keluarga saya sedang goncang. Rumah yang saya bangun bertahun-tahun telah hancur diterjang badai. Dan badai itu adalah keponakan Ibu sendiri. Bu Jarwo-lah yang mengirim badai itu ke rumah saya."
Bu Jarwo hanya diam. Dia tidak marah. Tidak tersinggung karena dia merasa ikut andil dalam kehancuran keluarga Mayang.
***
"Kamu yakin akan meminta cerai dari suamimu?" tanya ibu yang melihat putrinya selalu terlihat murung dan mengurung diri di kamar. Jangankan makan, untuk bernapas saja rasanya sudah berat. Sejak meninggalkan Andi dan Putri, hidup Mayang serasa mati. Dia tak memiliki gairah untu melakukan apa pun.
"Lantas, Mayang harus bagaimana, Bu? Menerima begitu saja penghianatan Mas Alex?"
"Kamu tega meninggalkan anak-anakmu? Kamu yang merawat Putri sejak bayi. Kamulah ibunya yang sah di mata hukum."
Ibu akhirnya meninggalkan Mayang sendirian di kamarnya. Ia membuka galery HP yang berisikan foto Putri dan Andi. Sungguh lucunya wajah mereka. Dialah yang yang merawat Putri dari bayi. Dia jugalah yang yang memberikan susu padanya. Mengganti popoknya. Secepat itukah rasa cinta menjadi benci? Putri tak tahu apa-apa. Bagi Putri, mamanya cuma satu. Mama Mayang. Setega itukah Mayang melimpahkan kesalahan suaminya dan Hilda pada Putri? Oh, sungguh kejamnya jika dia berbuat demikian.
***
"Putri mau Mama! Putri gak mau makan kalau gak ada Mama!" Sudah seminggu ini Putri selalu marah-marah. Alex sudah berbohong kalau Mayang masih ada di Singapura, tetapi anak itu tak bisa dibohongi. Dia melihat koper mamanya. Melihat boneka Barbie terbaru yang dibelikan mamanya. Selain itu, ketika Putri meminta Puji untuk menelepon Mayang, wanita juga tak mau mengangkatnya. Puji sampai mengirimkan puluhan pesan agar Mayang mau mengangkat telepon, tapi wanita itu hanya membaca tanpa mau membalas pesannya.
Puji sampai kewalahan. Tak hanya adatnya yang berubah menjadi buruk dan tak mau sekolah, anak itu juga tak mau makan sekeras apa pun Puji dan Alex membujuknya.
"Non Putri harus makan. Nanti pasti Mama pulang."
"Nanti nanti kapan?!" Putri membuang piring yang dipegang Puji ke lantai dan nasi yang ada di dalamnya tercecer ke mana-mana. Andi yang melihat itu jadi ingin menangis juga. Dia kangen mamanya, tapi yang dia lihat hanya mainannya saja. Mainan yang dijanjikan Mayang jika pulang dari Singapura.
"Duh, gimana nih, Hil? Non Putri bisa sakit kalau gak mau makan."
Hilda yang baru saja pulang dari menjemput Andi, berjalan tergopoh-gopoh ke dapur dan mengambil makanan. Dia sudah bosan melihat rengekan Putri yang tiada henti. Tidak ada hari tanpa memanggil Mama, Mama, dan Mama. Tidak tahukah bahwa dirinyalah ibunya. Orang yang melahirkannya.
"Non Putri makan dulu, ya." Hilda berusaha menyuapi Putri. Memaksanya.
"Gak mau! Putri mau Mama!"
Hilda jengah. Dia sudah naik pitam melihat Putri begitu menyayangi Mayang. Akhirnya dia pun memaksa Putri memakan apa yang disuapkan. "Mama Putri ada di sini. Mbak Hilda Mamanya Putri. Ayo makan. Mama gak mau Putri sakit."
"Gak mau! Mbak Hilda bukan mama Putri! Mama Putri cuma Mama Mayang!"
Hilda yang lepas kendali menjejalkan makanan ke dalam mulut Putri. Ketika gadis cilik itu menolak, Hilda langsung memukul pantatnya berkali-kali hingga anak itu menjerit kesakitan dan mohon ampun. Belum pernah sekali pun Mayang memukulnya senakal apa pun Putri dan Andi, Mayang selalu bicara dengan lembut pada mereka.
"Hilda! Jangan kurangajar kamu!" Puji berusaha mencegah Hilda. Tak tega dia melihat Putri dipukul hingga sedemikian rupa, tetapi gadis itu didorong hingga tertelungkup. Putri menangis, meronta, kesakitan, dan pukulan itu baru berhenti ketika suara Alex menghentikannya.
"Hilda! Apa-apaan ini?!"
***Bersambung ....
0 Comments