Bab 84
Saat ini Roy dan Gera sudah sampai di Bandar udara Rio de Janeiro/Galeao-Antonio Carlos Jobim. Terlebih Gera, ia bernapas lega karena sudah menginjakkan kakinya di tanah kelahiran Roy dengan selamat. Roy memeluknya erat.
"Tenanglah. Jangan terlalu dipikirkan." Bisik Roy sembari mengecup pelan puncak kepala istrinya.
Gera tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, Roy. Aku sudah sedikit lebih lega sekarang."
Sejak kemarin Gera stress berat karena masalah Alea. Roy sendiri juga sangat pusing mencari jalan keluar. Gera ingin membatalkan penerbangan menuju Brazil, tetapi sudah terlanjur ada perjanjian kerja di sana. Sekaligus untuk mengunjungi Nenek Rita.
Hingga salah satu teman Gera yang menjadi psikolog, menganjurkan agar Alea dibawa rehabilitasi dulu. Dan untuk sementara waktu berpisah dari mereka, itu untuk kebaikan Alea juga. "Tenang saja, Ge. Leva pasti bisa mengatasi semuanya. Kau percayalah padanya."
"Aku benar-benar tidak bisa tenang, Roy. Anak itu sudah terlanjur merekam semuanya. Ibunya memang kurang ajar!" Gera menyeka air matanya dengan kasar. Ia teringat akan Dewi yang sangat tidak beretika pada gadis kecil yang ia lahirkan dari rahimnya sendiri. Ini salah!
"Tenanglah, sayang. Kau bisa, Alea juga bisa. Kita yang akan menjanjikan masa depan yang indah untuk ya bersama triplets." Hibur Roy. Gera mengangguk dan mengajak Roy untuk segera keluar untuk membeli minuman.
Di luar Bandara, seseorang sudah menunggu mereka. Roy sudah memberi perintah pada anak buahnya untuk menjemput mereka di Bandara. "Tuan mau kemana dulu?" Tanya seorang pria yang Gera terka-terka umurnya 50-an tahun.
"Langsung pulang saja, Pak. Aku akan mengajak Gera jalan-jalan besok pagi saja. Hari ini kami mau istirahat." Si sopir melongo melihat Roy dari kaca spion. Merasa diperhatikan, Roy membalas tatapan Bapak itu hingga membuatnya menunduk takut.
"Kenapa, Pak? Bapak kaget saya panggil Pak?" Roy terkekeh. Bapak sopir mengangguk canggung. "Memang sebelumnya kau memanggil si Bapak apa?" Tanya Gera.
"Paul. Aku memanggilnya Paul."
"Dasar tidak punya sopan santun!" Olok Gera tanpa memalingkan wajahnya dari jendela mobil. Ia terpukau melihat jalanan di sini. "Yang pentingkan aku sudah bisa berubah sekarang." Timpal Roy membela diri.
"Rumahmu masih jauh kah?" Celetuk Gera bertanya. Roy menggeleng. "Jarak dari Bandara hanya sekitar 20 km. Sebentar lagi juga sampai."
Gera tertidur di mobil karena kelelahan selama penerbangan. Roy mengelus lembut rambut istrinya itu. Dia mengerti betul bagaimana wanita ini berpikir sangat keras. Ujian tak lepas dari kehidupannya. Tapi ia tahu wanitanya sangat tangguh. Sangat tabah.
Sampai di rumah, Roy yang tidak mau membangunkan Gera menggendongnya menuju kamar. "Tidurmu sangat pulas, Nona. Kau pasti sangat lelah." Gumam Roy tersenyum melihat istrinya.
Beberapa jam berlalu....
"Eeuungghhh...." Gera melenguh sembari menggeliatkan tubuhnya yang terasa sangat pegal. Merasakan tempatnya sekarang sangat nyaman, Gera sontak terbangun. Matanya bingung menatap kesana-kemari.
"Tuhan, aku dimana?" Gumamnya. Ia segera merapikan rambut juga pakaiannya. Gera membawa kakinya melangkah keluar. Berusaha mencari sesuatu yang bisa menjelaskan keberadaannya sekarang.
Saat Gera keluar kamar, ia mendengar orang yang sedang berbicara. Suara itu sangat familiar di telinga Gera. Penasaran siapa yang berbicara, Gera mencari sumber suara dan mengikuti kemana kakinya melangkah.
"Oi!" Sapa seorang wanita usia senja dan melambai ke arahnya.
"Nenek?!" Pekik Gera. Ia menghambur ke pelukan Rita. "Maafkan Gera, Nek." Wanita itu terisak dan meminta maaf pada Rita. Ia menyadari semua kesalahannya pada Rita. Dulu Rita yang membantunya hidup, namun ia malah memilih kabur tanpa memberitahu Rita sedikitpun.
Rita menepuk punggung Gera pelan. "Stt... Jangan membingungkan masa lalu. Harusnya kau memikirkan masa depan dan tidak menyia-nyiakan air matamu, sayang." Rita menghapus air mata Gera yang masih saja mengalir di pipinya.
"Roy sudah menceritakan semuanya pada Nenek. Dan Nenek sangat bahagia untuk itu. Sungguh penasaran dengan wajah anak-anak kalian. Pasti mereka tampan dan pintar." Rita membayangkan bagaimana bahagia dirinya jika bertemu dengan anak-anak Roy. Impian yang sangat ia impi-impikan selama ini.
"Tentu saja. Tampan seperti Roy." Ujar Roy memuji diri sendiri dengan angkuhnya.
Mereka berbincang sampai lupa waktu. Gera juga sangat bahagia karena pertemuannya dengan Nek Rita. Ia sudah sangat lama merindukan ini, meminta maaf dan memeluk erat wanita yang sudah seperti Neneknya sendiri.
***
"Bom-dia!" Seru Roy berteriak girang membuat Gera tersentak bangun dari tidurnya. "Eeunngg, Roy! Kau membuatku terkejut!" Erang Gera sambil menggeliat malas.
"Maaf, sayang. Aku terlalu semangat untuk hari ini. Kau tidak boleh sedih lagi. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat agar pikiranmu tenang."
"Kau bisa membangunkanku dengan pelan. Aku tidak seperti batu kalau tidur." Omel Gera. Ia menghentakkan kakinya kasar dan berjalan menuju kamar mandi.
"Hey! Kau harus memberiku morning kiss dulu!" Teriak Roy namun tak diindahkan oleh Gera.
Dada Gera sedikit sakit jika terkejut. Itu yang dia benci jika seseorang mengejutkannya. Beberapa kali ia menekan dada kirinya dan meringis kesakitan. Rita yang mengetahuinya, hanya menatap Gera cemas.
"Ini semua karena kau, Roy! Gera jadi sakit sekarang." Omel Rita marah.
"Roy tidak tahu kalau ini akan terjadi, Nenek. Maafkan aku, sayang. Aku berjanji tidak akan membuatmu terluka seperti ini lagi." Roy memegang erat tangan Gera yang terasa begitu dingin.
"Maaf... Maaf... Awas saja jika kau menyakiti Gera lagi. Nenek tidak akan hanya duduk dan mengomel saja." Tegas Rita. Ia sangat sayang pada Gera makanya ia tidak mau melihat Gera terluka. Apalagi melihatnya seperti ini, hati Rita seakan teriris-iris.
Gera menyentuh tangan Rita lembut. Ia tersenyum. "Sudah, Nek. Gera tidak apa-apa. Nanti juga akan berhenti sendiri. Gera sudah terbiasa seperti ini, jadi Gera sudah tahu bagaimana cara mengatasinya."
"Nenek tahu kau memang wanita yang hebat dan tangguh, sayang." Rita mencium kening Gera sayang.
Roy mengira Gera membatalkan rencana mereka untuk jalan-jalan. Tetapi istrinya memang orang pemaaf, jadi dia akan melupakan masalah ketika orang yang melukainya meminta maaf dengan tulus.
"Terima kasih sudah memaafkanku, sayang." Ujar Roy sembari mencium punggung tangan Gera. Wanita itu mengangguk. "Itu bukanlah hal yang layak untuk dibesar-besarkan. Aku tahu kau tidak sengaja melukaiku seperti tadi." Timpal Gera.
"Hanya saja, lain kali jangan diulangi lagi. Aku bisa meninggal merasakan bagaimana sakitnya." Cicit Gera lirih. Andai saja Roy tahu betapa sakit dadanya ketika terkejut.
Roy menangkup wajah Gera. "Stt... Kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau sudah berjanji tidak akan pergi kemanapun tanpa aku." Kata Roy lembut.
Perjalanan mereka yang sedikit memakan waktu membuat Roy sedikit cemas akan kondisi Gera. Tapi melihat wanita itu, dia sangat antusias dan ceria. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu sebelumnya.
"Kau sudah siap?" Tanya Roy. Gera mengangguk antusias. "Memangnya kau mau mengajakku kemana?"
"Kau penasaran?" Tanya Roy diangguki Gera.
"Aku mau mengajakmu ke Sugarloaf Mountain!" Seru Roy senang. Ia tak sabar ingin mengajak Gera ke tempat yang indah itu.
Tapi ekspresi Gera berubah membuat Roy ikut bingung. "Kau mau mengajakku ke gunung? Roy, kau tahu sendiri kakiku tidak akan pernah sanggup jika harus mendaki. Kau lupa waktu kita pergi ke Sumba? No... No... No... Aku tidak mau merepotkan mu lagi, Roy!" Gera menggeleng-gelengkan kepalanya membayangkan akan selelah apa dirinya jika harus mendaki sebuah gunung.
Mendengar apa yang dikatakan Gera membuat Roy tertawa terbahak-bahak. "Kenapa kau tertawa?!" Tanya Gera bingung. Ia merasa dirinya bukanlah orang yang lucu. Apa ada yang salah dengan dirinya? Lalu kenapa Roy tidak mengatakan itu sejak tadi?
"Roy, apa yang lucu?!" Desak Gera menggeram.
"Sayang, Sugarloaf Mountain. Memang gunung, tapi belum tentu kita bisa mendaki semua gunung hingga kelelahan." Terang Roy mengatur napasnya karena kelelahan tertawa.
"Jika bukan mendaki, laku kita akan pergi menggunakan apa? Helikopter? Kau aneh, Roy!" Tuding Gera.
Roy menatap Gera dan gemas padanya. "Di sana kita akan ke puncak gunung menggunakan kereta gantung, baby! Aku gemas dan ingin menggigitmu!" Geram Roy.
"Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" Gerutu Gera malu sendiri.
Sampai di sana. Gera tak henti-hentinya berdecak kagum melihat keindahan kota Rio De Janeiro. Terlebih ketika mereka sudah menaiki kereta gantung. Gera kagum melihat pemandangan pantai Copacabana dari atas kereta.
"Roy, di sini indah sekali." Ujar Gera tanpa melihat Roy. "Nikmatilah, sayang!"
Dari atas bukit Gera semakin puas memandang keindahan kota dan pantai di bawah sana. Di sini juga sedikit ramai karena pengunjung yang berdatangan. "Tapi aku sedikit benci keramaian, Roy." Gumam Gera. Roy mengangguk karena tahu istrinya memang sangat tidak menyukai keramaian.
Roy sengaja membawa Gera menuju spot yang sedikit lebih sepi. Sudah jauh-jauh kesini, Roy tidak mau membuat Gera tidak nyaman. Hanya beberapa orang saja yang ada di tempat mereka bersantai. Namun tidak bising untuk menenangkan diri.
"Aw!" Seorang wanita memekik keras. Saat Gera berbalik, Roy ternyata sudah menolong wanita itu. Ada sedikit rasa perih dalam diri Gera, tapi jika ia melarang Roy untuk menolong orang, itu sangat tidak manusiawi.
"Aroy!" Pekik wanita itu saat melihat Roy yang menolongnya. Wajah Roy sedikit bingung dan berusaha mengingat siapa wanita ini.
"Lira!" Balas Roy tak kalah semangat. Gera menatap miris suaminya dan perempuan itu yang kini sedang berpelukan dan nampak erat sekali. Rupanya mereka memang saling mengenal.
Mereka tampak sangat asik berbincang. Beberapa kali Gera memanggil, bukannya Roy merespon, ia hanya memberi isyarat dengan tangannya seakan berkata, 'tunggu dulu!'. Gera berdecak kesal. Ia kira Roy akan mengenalkan dirinya sebagai istri pada wanita itu. Tetapi dia malah asik berbicara sampai saling menyentuh satu sama lain. Sebagai wanita normal, sangat wajar jika Gera cemburu melihat suaminya seperti itu.
"Roy!" Pekik Gera memanggil. Semakin lama ia semakin kesal melihat tingkah wanita itu yang terlihat sangat ganjen pada Roy.
"Bisa tidak kau diam dan menungguku di sana?! Kau sangat cerewet!" Bentak Roy.
Deg!
Hati Gera terasa tersayat-sayat. Roy sangat tega padanya. Bagaimana bisa ia asik dengan wanita lain sedang istrinya sendirian dan tak tahu harus apa. Karena tersulut emosi, Gera memutuskan untuk pulang dan meninggalkan Roy. Ia tidak peduli jika nanti ia akan dimarahi atau tidak. Terserah!
Ia membawa kakinya melangkah getir. Perasaannya yang teramat sakit membawa air matanya mengalir begitu deras. Ini salah! Tapi suaminya benar-benar tidak peduli.
"Aw!" Gera terjatuh dan kakinya terasa sakit tidak bisa digerakkan. Ia tidak tahu harus minta bantuan pada siapa. Satupun tidak ada orang yang ia kenal di sini. Ia pasrah dan menangis meraung-raung meratapi nasibnya yang sangat menyesakkan dada.
"Are you okay?" Tanya seseorang dengan nada cemas. Gera mendongak dan mendapati seorang pria tampan dengan wajah cemasnya. Gera menggeleng dan berkata bahwa dia tidak baik-baik saja.
Mereka berbicara sebentar dan pria itu menawarkan untuk membantu Gera. Awalnya Gera diam dan tidak mau menimpali pria itu. Ia hanya menangis tersedu-sedu tanpa mempedulikan pria itu. Ekspresi panik santer tercetak di wajah pria bule itu.
Beberapa kali menawarkan bantuan, pria bule tak gentar untuk menunggu Gera sampai pada akhirnya dia pasrah dan menerima tawaran bule yang sepertinya juga sedang berkunjung kemari.
"Thanks." Lirih Gera. Ia tak tahu harus berkata apa sekarang. Gera hanya menunduk menatap matahari tenggelam di pantai Copacabana yang harusnya terlihat indah kini menjadi suram.
Ia lelah dengan semua ini. Ia sudah pasrah dengan apapun yang akan terjadi nanti. Di kepalanya hanya ada anak-anak yang begitu ia khawatirkan. Bagaimana dengan Roy? Apa Roy akan mencarinya?
Bab 85
Hamparan lampu kota yang menyala dimana-mana seakan menjadi saksi kesuraman hati Gera. Air matanya belum juga bisa berhenti keluar.
"Leon." Pria itu memperkenalkan dirinya walaupun tidak ada jawaban sama sekali dari Gera. Tapi entah kenapa, dia sangat khawatir pada Gera. Terlebih kakinya sekarang sedang terluka.
Leon mengajak Gera untuk pulang dengan mengantarnya menggunakan jasa taksi yang sudah tersedia di sekitar sana. "Aw!" Gera memekik saat mencoba berjalan. Tak tahan melihatnya, Leon mencoba menggendong Gera walaupun beberapa kali wanita itu menolak keras. Gera masih sadar akan posisinya sebagai istri Roy. Tapi kakinya terasa sangat sakit bahkan sebelum diajak berjalan. Dengan sangat terpaksa dia menerima bantuan Leon, si bule tampan ini. Ia harus mempercayainya, karena tidak ada orang yang bisa ia tanyakan di sini. Untung saja Gera ingat alamat rumah Nek Rita.
Sepanjang perjalanan, hanya isak tangis Gera yang mendominasi selain suara gemuruh kendaraan yang bersahutan. Hari sudah gelap, segelap hati wanita malang ini. Leon miris melihat wanita cantik ini menangis. Ingin sekali dia bertanya kenapa dia menangis, tapi ia ingat. Tidak ada hak apapun dalam dirinya. Tugasnya sekarang hanya membantu wanita ini sampai ke rumahnya.
'Andai saja wanita ini tidak menangis, pasti matanya sangat indah.' Leon membatin dan tersenyum tipis.
Mereka sampai, Gera berusaha berbicara dan mengucapkan terima kasih pada Leon. Dia mengajak pria yang sudah menolongnya itu masuk dan makan malam di sana, tapi Leon menolak dan mengatakan bahwa dia akan menerima traktiran Gera jika suatu hari nanti mereka secara tidak sengaja bertemu lagi.
"Gera?! Dimana Roy?" Tanya Rita terkejut saat melihat Gera yang dipapah oleh Paul.
"Nenek bisa bertanya sendiri padanya nanti kalau dia pulang. Maaf, Nek. Gera ingin istirahat." Pamit Gera lirih. Ia menahan air matanya dan berusaha menyembunyikan mata sembabnya.
Rita mendekati Gera, memegang pundaknya tegas. "Lihat Nenek! Kau sedang tidak baik-baik saja, nak. Cerita pada Nenek. Dan kakimu kenapa?" Desaknya memaksa.
"Maaf, Nyonya. Nona Gera terkilir. Dia tidak pulang bersama Tuan Roy. Ada seorang pria bule yang mengantarnya kemari dengan taksi." Paul yang mengambil alih pembicaraan karena Gera sudah menangis sesenggukan.
"Tenanglah." Rita memeluk dan membelai lembut rambut Gera. Ini semua pasti ulah Roy. Dia yang membuat wanita ini terluka. Kenapa nasib malang tak mau pindah dan meninggalkan hidup Gera?
Rita menyuruh Paul untuk mengantar Gera masuk kamar. Kakinya benar-benar sudah lebam dan bengkak. Pria itu harus mendapat pelajaran nanti. Tunggu saja. Rita menunggu cucunya dengan perasaan bergemuruh.
Di dalam kamar, Gera memeluk lututnya dan menangis sesenggukan. Sesekali ia berteriak namun tak bersuara. Ini sangat menyakiti tenggorokannya.
"Dimana Gera?!" Roy datang dengan wajah kacaunya. Rita menghadang di pintu utama rumahnya. "Kau apakan cucuku? Kau tidak tahu diuntung!" Bentak Rita marah.
"Nek, Roy tidak berbuat aneh. Dia saja yang salah paham." Roy berusaha membela diri. "Salah paham apa maksudmu?!" Tanya Rita.
"Roy tadi sempat bertemu dengan Lira, Nek. Itu yang membuat Gera marah dan tiba-tiba pergi." Ujar Roy membela diri.
Plaaakkkk!!!
Rita menampar Roy dengan kasar. Membuat pria itu bingung akan sikap Neneknya. "Apa yang Nenek lakukan?!" Pekik Roy keras. Ia memegang pipinya yang terasa kebas.
"Lihat istrimu! Kakinya terkilir. Untung saja ada seorang pria turis yang menolongnya. Jika tidak, kau akan kehilangan dia lagi, Roy! Kau brengsek!" Bentak Rita. Wajahnya memerah karena murka.
Segera Roy berlari menuju kamar dan memanggil-manggil Gera. Namun tak ada sahutan. Yang bisa ia dengar hanya isak tangis Gera yang terdengar sangat memilukan. "Ge, buka pintunya!" Teriak Roy dari arah luar. Gera yang mendengar panggilan Roy hanya berusaha meredam suara itu dengan menutup telinganya dengan bantal.
"Gera, buka!" Ia menggedor-gedor pintu itu dengan keras. Penampilannya sudah semakin kacau sekarang. "Jika kau tidak mau menjawab atau membuka pintu untukku, aku akan membuka paksa pintu ini."
Berkali-kali Roy menggedor dengan sangat keras hingga membuat Rita marah pada sikap cucunya itu. "Biarkan istrimu tenang dulu! Jangan memburu seperti itu. Kau berpikir atau tidak?!" Bentak Rita marah.
Roy masih tak mau berhenti memanggil-manggil Gera. Nihil. Dari dalam sama sekali tak ada jawaban atau sahutan sedikitpun dari Gera. Roy sangat khawatir.
Braaakkk!!!
Pintu kayu yang sangat kokoh itu roboh dengan mudahnya saat Roy menendangkan kaki besarnya. Rita memekik melihat itu, Gera juga terkejut dan melihat di ambang pintu sudah ada Roy di sana. "Kau kemana saja?! Aku cemas dan berkali-kali mencarimu. Aku bahkan turun naik puncak dua kali untuk mencarimu. Apa kau berpikir, Gera?!" Bentak Roy. Gera semakin menutup telinganya dengan tangan.
"Lalu aku pulang dan Paul bilang kalau kau pulang bersama seorang pria! Siapa dia?! Belum apa-apa kau sudah berani selingkuh?! Sial!" Roy menggebrak meja di depannya dengan keras membuat Gera lagi-lagi tersentak kaget.
Tidak mau menjawab, Gera membuat Roy semakin kesal. Ia mencengkram pundak Gera dan menggoyang-goyangkan tubuh Gera dengan keras. "Lepaskan aku! Sakit, Roy! Sakit!" Gera menjerit keras membuat Rita yang mendengarkan pertengkaran mereka di luar ikut menangis.
"Katakan sesuatu dulu!" Bentak Roy lagi. Ia benar-benar buta karena emosi.
Gera mendongak membuat Roy diam saat menatap mata sembabnya. "Kau mau tahu kebenarannya?" Tanya Gera lirih. Ia tak mengharap jawaban dari Roy. Tapi dia juga ingin meluapkan semua beban ini pada Roy.
"Aku muak melihatmu bersentuhan dengan wanita itu. Kau sama sekali tidak mempedulikanku saat kau bersama wanita itu!"
"Ge, dia temanku. Namanya Lira." Terang Roy dengan suara tingginya.
"Aku tahu, Roy. Kalian memang berteman. Tapi bukannya mengenalkanmu sebagai istrimu, kau malah asik berdua dan tidak mau menoleh untuk melihat saat aku berkali-kali memanggilmu. Kau terus saja asik bersentuhan dengannya. Bahkan kalian hampir berciuman saking tipisnya jarak antara wajah kalian." Gera tersedu-sedu menjelaskan semua itu.
"Baru tadi pagi kau berjanji tidak akan menyakitiku lagi, lalu ketika kita pergi, kau menoreh luka yang sangat dalam hingga membuatku benci melihatmu. Telan saja omong kosongmu, Roy!" Bentak Gera marah.
Mendengar itu, Roy menatap Gera nyalang. "Ikut denganku sekarang! Aku akan membawamu kesana!" Bentak Roy sambil menyeret tangan Gera.
"Awh! Sakitt!" Gera memekik saat Roy menariknya. Tubuhnya terjatuh ke lantai rumah saat Roy menyeretnya.
"Roy! Gera sedang terluka! Kau memang bajingan!" Bentak Rita datang dengan wajah murkanya.
Roy lupa bahwa kaki Gera terkilir. Wanita itu kini tengah meringis dan menggigit bibirnya menahan sakit.
Plakkkk!
"Jadi karena seorang wanita?! Dasar tidak tahu diuntung!" Bentak Rita lagi setelah menampar pipi cucunya untuk yang kedua kalinya.
"Paul! Bantu aku memapah Gera. Kita akan membawanya ke rumah sakit." Rita dengan tubuh yang sudah lemah mencoba memapah Gera. Untung saja Paul cepat datang dan mengambil alih. Roy hanya terdiam meratapi istrinya yang sedang kesakitan.
Roy berlari menghampiri Neneknya. "Biar Roy saja yang membawa Gera, Nek."
"Jangan! Kau hanya bisa menyakiti cucuku saja!" Dengan kasar Rita menepis tangan Roy.
Ia memukuli kepalanya sendiri. Sebenarnya apa yang salah? Ia dan Lira hanya berteman dan mereka hanya berbincang biasa. Tapi ia tidak sadar jika secara tidak langsung dirinya bahkan tidak menghiraukan istrinya sama sekali.
"Aku harus mencari Gera sekarang dan minta maaf padanya." Gumam Roy sambil menyeka keringat yang bercucuran di dahinya.
Dengan kecepatan tinggi ia berusaha mengejar mobil Neneknya. Namun sudah sejauh ini tidak terlihat juga. Roy memutuskan untuk lebih cepat sedikit lagi.
"Itu dia!" Ujarnya senang saat berhasil mengejar mobil yang dibawa oleh Paul.
"Maafkan aku, Ge. Tidak seharusnya aku semakin menyakitimu." Gumam Roy sembari mencengkram kasar setir mobilnya.
Rumah sakit tidak terlalu jauh dari rumah Rita. Saat mereka sampai, Roy segera mendahului Paul untuk menggendong Gera. "Wait! Biar aku saja, Pak. Dia istriku!" Tegas Roy yang tak bisa dibantah oleh Paul. Rita sesekali marah, namun Roy tak berniat untuk menghiraukan apa yang Neneknya katakan.
Hati Roy semakin hancur saat melihat Gera yang kini pingsan. Dengan langkah berlari ia membawa istrinya menuju ruang gawat darurat. Dokter dan perawat langsung berlarian dan membawa Gera menuju ruang pemeriksaan.
Beberapa saat menunggu dengan perasaan yang tidak karuan, akhirnya dokter keluar dan Rita mempersilahkan diri untuk dijelaskan kondisi cucu menantunya. Sementara Roy masuk menemui Gera yang masih belum sadar juga.
"Bangunlah, sayang. Aku tidak bisa melihatmu seperti ini. Kau menyiksaku!" Dengan kasar ia menyeka air matanya yang lolos begitu saja.
"Maafkan aku, Ge. Sekarang tolong, bangunlah! Kau harus berbicara denganku!" Ujar Roy. Mulutnya bergetar menahan tangis. Dalam hati ia sangat marah mengingat bagaimana wanitanya dibawa pulang oleh seorang pria asing dengan cara digendong. Pria itu sudah lancang menyentuh miliknya. Tapi apa boleh buat, sekarang ia hanya bisa menggeram dalam hati saja.
"Jangan menyiksaku seperti ini, Gera! Kau jahat padaku!" Geram Roy mencengkram erat ranjang tempat Gera terbaring.
Ia terus saja menggeram marah. Bercampur antara marah pada dirinya sendiri juga pada Gera yang sudah disentuh oleh pria lain.
"Kau yang selalu saja menyiksa Gera, Roy! Kau yang jahat, bukan Gera." Roy berbalik melihat siapa yang berbicara.
"Luisa! Bagaimana bisa kau di sini?" Tanya Roy bingung.
"Nenek yang memberitahuku. Kau tenang saja, Pak David ada bersama anak-anak. Aku hanya khawatir pada Gera, makanya aku langsung terbang kemari. Aku akan membawanya dan anak-anak pergi sejauh mungkin darimu." Gumam Luisa tanpa rasa suka saat menatap Roy. Ia benci pada pria yang sayangnya dicintai oleh temannya itu.
Tatapan pria dingin itu berubah nyalang. "Apa maksudmu?! Kau sama sekali tidak ada hak atas istriku juga anak-anakku! Siapa kau?!" Suara Roy meninggi.
"Jangan sombong! Aku yang tahu istri juga anak-anakmu seperti apa. Jadi jangan coba-coba untuk mencari masalah di sini, Roy. Kau akan kalah!"
"Kau tidak tahu apa-apa! Jangan banyak bicara!" Roy menggeram sambil menuding Luisa.
"Kurang apa Gera di matamu? Dia hampir sempurna dengan segala kebaikannya. Kau malah berduaan dengan wanita lain dan bahkan hampir bercumbu." Sindir Luisa sembari berdecih sinis.
Roy mendekati Luisa, namun bukannya takut, wanita itu malah menantangnya. "Dia juga disentuh oleh seorang pria asing. Lira itu temanku, bukan orang asing!" Bentak Roy.
"Pria itu menyentuh Gera ada alasannya! Lihat kaki istrimu yang baru saja kau sakiti hingga semakin parah! Sadar Roy! Mungkin jika pria itu tidak ada, Gera sudah hilang tersesat. Dari sana apa kau tak bisa memikirkan kesalahanmu? Sialan!" Suara Luisa tak kalah tingginya.
"Dimana pun di dunia ini, tidak ada seorang istri yang suka melihat suaminya bersentuhan mesra dengan wanita lain. Walaupun hanya jalinan pertemanan saja. Kau gila! Bodoh!" Bentak Luisa lagi.
Roy menunduk melihat wajah damai istrinya. "Kau bahkan tak mau melihat saat dia berkali-kali memanggilmu. Bisa kau ingat bagaimana sakitnya dirimu saat Gera hilang dari kehidupanmu? Belajarlah dari sana. Aku berani menjamin, tidak akan ada wanita yang kau temui seperti Gera di dunia ini!"
"Luisa, sudah nak. Tenanglah." Rita datang dan memeluk Luisa. "Istirahatlah! Kau pasti lelah." Suruh Rita diangguki Luisa.
"Roy, duduk dan dengarkan Nenek." Roy mengangguk dan segera duduk di samping Gera.
Terdengar helaan panjang dari mulut wanita usia senja itu sebelum mulai berbicara. "Roy, terkait kondisi Gera, tadi dokter menjelaskan pada Nenek bahwa kaki istrimu bukan hanya terkilir biasa. Ada keretakan yang membuatnya semakin parah dan membengkak seperti itu." Terang Rita.
"Maafkan Roy, Nek. Roy janji akan merawat Gera sampai sembuh." Lirih Roy. Hatinya teriris mendengar kondisi istrinya yang jauh dari kata baik.
"Tidak perlu. Aku yang akan mengurusnya di sini." Sela Luisa datar.
"Aku suaminya!" Geram Roy marah.
Luisa membalas tatapan nyalang Roy. "Aku temannya, Roy. Aku yang lebih memahami dia, bukan kau! Lagipula dia tidak akan mau melihatmu sementara ini. Sudahlah, jangan keras kepala."
"Aarrgghhh!!!"
Rita menghampiri Roy dan memeluknya erat. "Mengertilah, semua butuh proses. Kau harus merubah sikapmu jika kau mau Gera kembali padamu. Seperti yang Nenek katakan beberapa tahun lalu padamu."
"Tapi, Nek. Roy harus merawat Gera." Cicitnya.
"Urus saja Liramu itu. Kau pasti ingin menghabiskan waktu untuk meluapkan kerinduan bersamanya!" Celetuk Luisa membuat Roy menggeram marah.
"Shit! Just shut up your f*cking mouth!" Bentak Roy.
Untuk meredam suasana yang kian memanas, Rita mengajak Luisa untuk pergi makan. Sebenarnya Luisa sangat malas, tapi Rita berhasil membujuknya.
"Biarkan Roy merenungkan kesalahannya dan meminta maaf pada Gera." Bisik Rita diangguki Luisa.
"Aku salah, Nek. Aku yang menyuruh Gera untuk kembali bersama Roy walaupun saat itu Gera menolak keras. Di otakku hanya ada bayangan anak-anak dan masa depannya, Nek. Tidak ada yang lain. Aku sangat takut jika anak-anak tidak memiliki sosok Papa selama hidup mereka. Itu salah!" Luisa terisak dalam pelukan Rita.
Sementara Roy di dalam ruang inap, ia menangis mengingat apa yang Luisa katakan tadi. Semua itu terus saja terngiang-ngiang di kepalanya. Apa benar dia salah dalam semua hal yang sudah terjadi ini? Gera memang sangat sabar menghadapinya, lalu kenapa ia begitu tega membuat Gera seperti ini? Ia takut Gera akan pergi darinya lagi seperti yang sebelumnya terjadi, persis seperti apa yang Luisa katakan tadi. Apa mungkin semuanya bisa ia perbaiki sekarang? Roy mengangguk pasti. Ia harus bisa melawan rasa ragunya. Semuanya harus bisa dia selesaikan walaupun sekiranya Gera akan sangat marah padanya. Ini demi triplets, juga rasa cintanya yang kian besar pada Gera.
0 Comments