Bab. 61
Lingerie merah.
"Apa! Pria tua itu merubah isi surat wasiatnya?!"
Diana tampak memijit pelipisnya karena merasa pusing dengan berita yang baru saja didengarnya tadi.
Tadi wanita cantik itu sedang berada di sebuah hotel bintang lima untuk menghadiri acara arisan dengan teman sosialitanya. Namun, berita yang diberikan Grace membuatnya segera meninggalkan acaranya tersebut.
"Iya Nyonya, pengacara Tuan sepuh sendiri yang telah mengonfirmasikannya kepada saya. Bahwa ada beberapa poin syarat yang telah dirubah dalam isi surat wasiat tersebut jika akan diberikan kepada Tuan muda. Salah satunya adalah dengan hadirnya seorang cicit yang dihasilkan dari pernikahan Tuan muda dan Nona Bening."
"Kenapa pria tua itu tiba-tiba berubah pikiran. Apa yang telah terjadi? Ataukah ada sesuatu yang sudah mempengaruhinya? Grace, selidiki masalah ini lebih dalam lagi. Aku curiga pria tua itu sudah mengetahui rencana kita!"
"Baik, Nyonya!"
"Pergilah sekarang!"
"Saya permisi, Nyonya!"
Nyonya Diana tampak menyandarkan punggungnya di sandaran sofa dengan sebuah gelas kristal di tangannya.
"Aku harus berbuat sesuatu sebelum pria tua itu menghancurkan rencanaku. Aku tidak mau usahaku selama belasan tahun ini berakhir dengan sia-sia," monolognya sebelum menenggak minuman beralkohol di tangannya.
*****
Waktu bergulir lambat jika digunakan hanya untuk menunggu. Begitu pula dengan Bening yang merasa jenuh berada di dalam penjara keluarga Ramiro. Apalagi semua kegiatannya dibatasi. Bahkan hanya untuk urusan masak ia pun tidak diperbolehkan. Kecuali tadi siang saat Tuan sepuh sendiri yang memintanya untuk membuat makanan.
"Kalau seperti ini terus aku pasti akan mati kebosanan. Tuan muda itu ke mana sih, kenapa belum pulang juga?" gerutunya sembari menatap jarum jam yang seakan berputar dengan sangat lambat.
Bening tampak melirik beberapa pakaian yang baru saja diantarkan oleh pelayan kepadanya. Mereka bilang itu pakaian dari sang Opa untuk dipakainya di depan suaminya nanti. Mungkin ini yang di maksud dari pembahasan mereka tadi, begitu pikirnya.
Namun gadis itu bergidik ngeri membayangkan dirinya memakai pakai seperti itu di depan Arga. Dia pasti akan merasa kehilangan muka karena saking malunya.
"Apa itu bisa disebut dengan pakaian? Bahkan aku sudah bisa membuatnya sobek sebelum memakainya karena terlalu tipis. Orang kaya memang suka aneh, kenapa harus berpakaian jika seperti ini," cela Bening sembari membolak balik lingerie di tangannya.
"Hizz! Bukankah gunanya pakain itu untuk menutupi tubuh. Kalo seperti ini apanya yang ditutupi?"
"Tapi jika aku tidak memakainya Opa pasti akan marah dan menganggap aku tidak menghargai pemberiannya. Baiklah-baiklah aku akan memakainya jika Tuan muda itu sudah datang."
Bening pun berjalan ke arah jendela kamar untuk melihat apakah suaminya itu sudah pulang atau belum. Bersamaan itu pula mobil Arga terlihat memasuki halaman kediaman Ramiro.
"Panjang umur dia, baru aja diomongin. Eh, udah nongol aja dia!"
Karena suaminya sudah pulang, Bening pun segera mengganti bajunya dengan lingerie pemberian Opa tadi di dalam kamar mandi.
Arga mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuruh kamar namun tak menemukan keberadaan istrinya. Karena terlalu lelah setelah bekerja seharian membuat Arga langsung menghempaskan dirinya di atas ranjang setelah menarik simpul dasinya. Bahkan ia melempar begitu saja tas kerja dan juga jasnya ke atas sofa.
"Astaga kenapa hari ini tubuhku rasanya lelah sekali. Ini semua gara-gara Raka yang tidak bisa mengontrol perkerjaan yang akan diberikan kepadaku. Dasar sahabat laknat!" umpatnya sebelum-
Perhatian Arga beralih ke arah sumber suara yang baru saja didengarnya. Arga tampak memicingkan mata melihat kelakuan aneh istrinya karena saat ini gadis itu terlihat mengintip dari balik pintu kamar mandi.
"Apa yang kau lakukan. Kenapa bersembunyi di balik pintu seperti itu?!" teriak Arga.
"A-aku ma-malu," cicit Bening dengan masih mempertahankan posisinya.
Arga pun semakin curiga dengan kelakuan gadis yang telah berstatus sebagai istrinya itu. Malu? Bagaimana mungkin, biasanya gadis itu melakukan banyak hal konyol tanpa rasa malu. Lalu kenapa tiba-tiba ia bersikap seperti itu. Arga pun semakin dibuat penasaran olehnya.
"Memang apa yang sudah kau lakukan? Aku tidak yakin kau masih memiliki urat malu!" cibir Arga.
"Hizz ...!" umpat Bening.
Suaminya itu memang sangat menjengkelkan bagaimana bisa ia berkata dirinya tidak mempunyai rasa malu. Yang benar saja! Begitu pikirnya.
Akhirnya Bening pun memberanikan diri untuk keluar dari persembunyiannya dengan memakai lingerie berwarna merah menyalah.
Arga yang tidak menyangkah sang istri akan seberani ini hanya diam mematung melihat pemandangan indah di depan matanya. Walaupun ia sudah sering melihat tubuh telanjang Bening tetap saja libidonya akan naik drastis bila dihadapkan hal seperti ini. Apalagi tingkat keseksian dan kecantikan Bening semakin melonjak tajam di matanya saat berpenampilan senakal ini.
"Kau-?"
"Opa yang memberikan baju ini padaku. Beliau bilang aku harus memakainya di depanmu. Bagaimana? Apa kau suka?"
"Sempurna! Jangan salahkan aku bila saat ini juga aku akan menerkammu!"
Arga pun melupakan rasa lelah di tubuhnya dengan menyerang Bening membabi buta hingga pagi menyapa.
*****
Di lain tempat Juwita tengah menikmati udara pagi dengan duduk di atas kursi malas yang berada di pinggir kolam renang saat Sandra menghampirinya.
"Hai, sedang apa?"
"Hai Sandra. Aku sedang menikmati hidupku yang sangat menyenangkan ini. Bayangkan saja beberapa waktu lalu aku seperti mendapat jackpot karena berhasil menjual salah satu anak buahku dengan harga yang sangat fantastis!"
"Oh ya!"
"Kau tahu berapa mereka membelinya? 10 milyar San, 10 milyar. Gila nggak tuh? Tapi memang sih sepadan dengan barang yang akan mereka terima. Karena anak buahku itu cantik banget dan alami karena baru saja datang dari kampung."
"Beruntung banget donk kamu!"
"Iya, tau nggak siapa yang membelinya? Salah satu konglomerat negeri ini, San. Keluarga Ramiro!"
Perasaan Sandra tiba-tiba merasa tidak enak saat mendengar nama keluarga Ramiro disebut. Kemudian ia berusaha mengalihkan pembicaraan mereka agar Juwita tidak lagi membahas keluarga itu.
"Oh iya Ta. Aku kemari karena ingin mengatakan sesuatu kepadamu!"
"Apa itu San?"
"Aku ingin mencari pekerjaan. Apa ada rekomendasi lowongan pekerjaan untuk ku?"
"Apa?! Bekerja! Tapi buat apa San? Kamu bisa tinggal dan makan di rumah ini dengan cuma-cuma aku sama sekali tidak keberatan. Bukankah aku pernah bilang, apa yang telah menjadi milikku akan menjadi milikmu juga."
"Iya tapi aku merasa tidak enak jika harus tinggal dan makan gratis di rumah ini tanpa harus melakukan apa-apa."
"Memangnya kenapa? Toh aku sendiri yang mengizinkannya. Kau ini mengingatkanku kepada salah satu anak buah ku dulu yang baru saja datang dari kampung."
"Maksudmu anak buah yang baru saja kau ceritakan itu. Yang memberimu banyak keuntungan itu?"
"Iya benar itu dia. Sifat kalian benar-benar mirip, selalu merasa tidak enakan sama orang!"
"Tentu saja. Lagian siapa sih yang mau hidup dengan menjadi benalu terus."
"Benalu apaan sih San. Aku nggak pernah ya menganggap kamu seperti itu!"
"Iya aku tahu. Tapi aku merasa nggak enak saja sama anak buahmu yang lain. Sedangkan mereka semua bekerja untukmu dan aku hanya-"
"Sudah ah ngomong apaan sih! Mereka bekerja untukku memang itu wajar karena status mereka adalah anak buahku. Tapi kau beda, kau adalah sahabatku jadi kedudukan kita di sini sama. Sudah lah lupakan pembicaraan konyol ini, lebih baik kau ikut aku pergi menghadiri pesta salah satu klienku nanti malam."
"Ih males banget pergi ke pesta macam itu!"
"Pokoknya aku nggak mau tau! Nanti malam temani aku pergi ke pesta dan sekarang kita siap-siap pergi ke butik untuk mencari gaun yang akan kita gunakan untuk datang ke pesta nanti malam!" ucap Juwita tak mau dibantah.
0 Comments