Bab. 26
Business trip.
Egerton Crescent, London-Inggris.
Penthouse megah yang berada di sebuah kawasan elite kota London. Salah satu properti milik Ramiro group di luar negeri. Sedang mengadakan penyambutan untuk kedatangan pewaris tunggalnya.
Para maid sudah berjejer rapi saat limousine hitam berhenti tepat di pelataran penthouse.
"Selamat datang Tuan muda!" sambut kepala pelayan mewakili semua orang yang berada di sana.
Arga hanya menganggukan kepalanya sejenak sebagai bentuk respon. Kemudian melenggang masuk agar bisa segera beristirahat di kamar pribadinya.
Berjam-jam lamanya berada di dalam pesawat membuatnya jet lag dan merasa sangat lelah.
"Siapkan segala keperluan Tuan muda dengan baik. Karena Tuan muda membutuhkan waktu untuk istirahat!" titah Raka kepada kepala pelayan yang bernama Anthony itu.
"Baik Tuan!"
Setelah kepergian Anthony. Raka pun menyusul Arga yang sudah terlebih dulu masuk ke dalam kamar.
"Ga, sebelum istirahat tolong periksa berkas ini dulu!"
Arga berdecak sebal kepada sahabat sekaligus asistennya itu. Tidak kah Raka tahu ia sedang merasa sangat lelah saat ini. Bahkan belum sempat ia mendudukkan dirinya Raka sudah menyodorinya dengan pekerjaan.
"Rak, loe udah gila ya! Kita baru aja nyampe. Bahkan gue aja masih jet lag. Bisa-bisanya loe ngasi gue kerjaan. Siapa sebenarnya yang bos di sini!"
"Sorry Ga. Tapi ini masalah genting, ini menyangkut perusahaan cabang. Bukan kah tujuan kita ke sini memang untuk itu," jawab Raka tanpa dosa.
"Ya, tapi gue bukan robot, Rak! Kita masih bisa membicarakannya nanti setelah gue istirahat!"
"Tapi Ga loe bisa memeriksanya sebentar saja," ucap Raka masih tak mau kalah.
"Sekarang loe keluar dari kamar gue. Gue mau istirahat!"
"Tapi Ga-"
"Keluar gue bilang!"
"Oke-oke baiklah!"
Dengan berat hati Raka melangkah menuju pintu. Kemudian terdengar suara pintu di banting dengan sangat keras hingga membuat Raka berjingkat kaget.
"Astaga!" ujar Raka sembari mengusap dadanya.
"Sudah lah sebaiknya aku juga pergi beristirahat." Raka akhirnya masuk ke dalam kamar yang biasa ia tempati jika berada di penthouse ini.
Waktu pun terus bergulir maju, jauh meninggalkan masa lalu dan kenangan.
Hari berganti hari. Namun pekerjaan seakan tiada habisnya menemani Arga dan Raka di negara orang ini.
Ini adalah meeting terakhir Arga dengan salah satu kliennya. Mereka saat ini berada tak jauh dari Tower bridge yang merupakan suatu jembatan yang membentang di atas sungai Thames di London.
"Loe tahu nggak Rak. Banyak banget kenangan gue di tempat ini dulu!" ucap Arga sembari mengingat kembali kenangan saat kuliah dulu.
"Kenangan dengan mantan terindah maksud loe!"
"Itu juga salah satunya."
"Cih, gue kira loe sudah move on!"
"Tentu saja gue udah move on. Karena semua itu hanya masa lalu. Cuma orang bego yang mau kembali lagi dengan masa lalu."
"Yakin loe udah move on? Gue rasa Maurent-"
"Jangan sebut nama itu lagi!"
"Sorry gue kelepasan. Tapi kalo loe bener sudah move on kenapa harus risih gue nyebut nama itu?"
"Berisik loe!"
Arga pun berjalan mendahului Raka beberapa langkah.
"Lah, ngambek nih bocah!"
Raka sejenak menghentikan langkahnya karena fokusnya kini telah teralihkan kepada sosok asing yang tengah duduk tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.
'Apa aku tidak salah lihat. Apa ini hanya perasaan ku saja. Kenapa aku merasa orang itu mirip sekali dengan Arga.'
Plugh-
Sebuah bolpoin mendarat tepat di pelipis Raka hingga membuat pemuda itu meringis kesakitan. Siapa lagi pelakunya kalo bukan Arga.
"Loe apa-apaan sih, Ga?"
"Loe yang kenapa. Kenapa bengong aja di situ. Kesambet loe?!"
"Emm gue, eh itu- "
"Kenapa sih loe! Am em am em ... bicara yang jelas?!"
"Itu Ga!" ucap Raka seraya menunjuk ke arah sosok yang dilihatnya tadi. Tapi kini sosok itu sudah berjalan memunggunginya.
Arga mengernyit tak mengerti dengan sikap sahabatnya itu kemudian ikut mengalihkan pandangannya ke arah sosok yang baru saja di tunjuk Raka. Sosok yang berjalan membelakanginya sehingga hanya punggungnya saja yang terlihat.
"Itu, itu apaan?!"
"Pria itu!"
"Kenapa dengan pria itu?"
"Pria itu mirip banget sama loe!"
"Ck ck ck ... ternyata bukan hanya otak loe yang bermasalah. Sekarang mata loe juga ikut bermasalah!"
"Gue serius Ga!"
"Udah! Gue laper pengen makan. Loe mau ikut apa nggak, terserah?!"
"Gue ikut!"
Ternyata godaan dari perut yang minta segera diisi lebih menggoda Raka, dari pada rasa penasarannya terhadap apa yang baru saja dilihatnya tadi.
Memang benar ada beberapa manusia yang diciptakan Tuhan dengan kemiripan wajah yang sama. Namun, apakah ini memang hanya sebuah kebetulan.
Hari terkhir di London mereka habiskan dengan menyelesaikan semua pekerjaan yang seakan tidak pernah ada habisnya. Seperti saat ini Arga dan Raka harus meninjau beberapa perusahaan cabang Ramiro yang berada di bagian kota London.
"Sudah loe siapin berkas-berkasnya?"
"Sudah gue urus semuanya."
"Bagus, kita bisa berangkat sekarang!"
Di sebuah gedung perkantoran di mana cabang perusahaan Ramiro berada. Arga dan Raka disambut dengan baik dan penuh rasa hormat.
Mereka tampak meninjau lokasi yang akan dijadikan proyek baru Ramiro group.
"Aku ingin segera bertemu dengan arsiteknya karena waktuku di sini tidak banyak!" ucap Arga.
"Seharusnya hari ini beliau bertemu dengan anda tetapi tadi pagi asisten Tuan Adam mengabarkan bahwa Tuan Adam sedang tidak enak badan dan mengajukan penundaan pertemuan," jawab seorang penanggung jawab proyek.
"Cih, kenapa kita masih menggunakan jasa orang yang tidak bertanggung jawab seperti itu?" geram Arga.
"Kejadian seperti ini baru kali ini terjadi Tuan muda. Karena biasanya Tuan Adam selalu bekerja dengan profesional. Bahkan beliau adalah arsitek terbaik di negara ini!"
"Apa gunanya terbaik kalo tidak profesional dan tepat waktu!" pekik Arga yang tak ingin mendengar alasan apapun.
"Kita bisa memberinya kesempatan sekali lagi Tuan." Kali ini Raka yang angkat bicara memberikan pendapatnya.
"Karena Tuan Adam tidak melakukannya dengan sengaja tapi karena kendala kesehatan. Jadi tidak ada salahnya memberikan kesempatan itu," imbuhnya.
"Baiklah atur kembali pertemuan dengan Tuan Adam. Dan kau bisa mewakili ku untuk menemuinya nanti!" ujar Arga kepada penanggung jawab proyek.
"Baik Tuan muda!"
"Raka jam berapa kita kembali ke Indonesia?"
"Pukul 6 sore Tuan muda."
Raka selalu bersikap formal jika di hadapan orang lain karena bagaimanapun Arga adalah bosnya jadi Raka berkewajiban untuk menjaga wibawa dan harga diri atasannya itu.
"Mari habiskan waktu yang tersisa ini untuk jalan-jalan!"
"Tapi Tuan pekerjaan kita-"
"Sampai kapan loe akan terus ngejejalin gue dengan pekerjaan. Gue nggak mau tahu sekarang gue mau jalan-jalan!"
"Astaga nih bocah kenapa lagi sih!" gerutu Raka melihat sikap kekanak-kanakan bosnya itu.
Pukul 17.45 Arga sudah duduk tenang di dalam privat jet milik Ramiro group. Dengan ditemani Raka sang asisten.
Kedua sahabat itu pun duduk saling berhadapan. Dengan Raka yang terus memandang wajah tampan yang kini sibuk dengan ponsel mahalnya.
Aku yakin tidak salah lihat. Wajah mereka benar-benar sangat mirip. Apakah di dunia ini ada orang yang memiliki tingkat kemiripan yang nyaris sempurna tanpa adanya hubungan darah?
Lamunan Raka terhenti saat suara co. Pilot terdengar menginterupsi, mengatakan bahwa penerbangan akan dilakukan sebentar lagi.
Bab. 27
Table manner.
Sudah hampir dua minggu ini Bening menjalani kelas kepribadian bersama dengan Madam Soraya sebagai sang mentor.
Gadis yang sedari awal mempunyai kecantikan alami itupun semakin bertambah cantik dan anggun dengan pembawaan diri yang lebih bagus. Karena segala ilmu yang diberikan Madam Soraya bisa diserap Bening tanpa kesulitan yang berarti. Mungkin karena bakat alami yang sudah ada di dalam diri gadis itu.
Pun dengan Madam Soraya yang merasa takjub dengan kehebatan muridnya itu. Tidak heran jika Madam Soraya menyebutnya dengan 'murid special' karena Bening memang memiliki aura/ inner beauty yang terpancar dalam dirinya.
"Pelajaran terakhir kita hari ini adalah table manner. Kau tahu apa itu table manner, Bening?"
Lagi-lagi Bening menggelengkan kepala tanda tak mengerti. Namun, Madam Soraya selalu memaklumi hal itu mengingat bagaimana latar belakang gadis cantik itu sebelumnya.
"Baiklah akan aku jelaskan apa itu table manner. Jadi tolong dengarkan baik-baik!"
Bening pun mengangguk tanda setuju, tanpa bersuara ia pun mendengarkan penjelasan Madam Soraya dengan seksama.
"Sebagai seorang calon pendamping penerus tunggal Ramiro group, pengetahuan tentang etiket di meja makan juga tak kalah pentingnya dengan pelajaran yang telah kau pelajari sebelumnya. Karena pengetahuan ini bisa mengubah rasa minder menjadi kepercayaan diri yang tinggi sebab kau akan tahu bagaimana seharusnya bersikap dan menjaga profesionalisme di segala situasi. Hal ini penting karena setelah kau menjadi bagian dari keluarga Ramiro, kau akan banyak menghadiri jamuan makan resmi untuk mendampingi Tuan muda!"
"Apakah itu harus Madam?"
"Tentu saja Bening. Sebagai seorang istri dari salah satu orang penting negeri ini kau akan banyak menghadiri acara resmi baik dari klien maupun kolega bisnis Ramiro group. Jadi mempersiapkan diri dari sekarang adalah sebuah pilihan yang tepat!"
"Baik, saya mengerti!"
Bening hanya bisa mengikuti dan menjalani alur hidup yang sudah digariskan untuknya karena sudah tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mundur.
"Hal pertama yang harus kau lakukan adalah duduk tegap dan tidak bersandar pada kursi. Setelah itu kau bisa mengambil serbet di hadapanmu dan meletakkannya di atas pangkuan. Jika serbetnya besar maka kau bisa melipatnya menjadi dua bagian!"
Bening memperagakan semua hal yang di ucapkan oleh sang guru tanpa kecuali dan tanpa suara. Karena telinganya sibuk mendengarkan penjelasan dari Madam Soraya.
"Jika kau menggunakan tas maka letakkan tas di samping bawah sebelah kanan kursi yang kau duduki."
Lagi-lagi Bening melakukan seperti apa yang diucapkan Madam Soraya.
"Sembari menunggu jamuan datang yang dibawa oleh waiters, jangan meletakkan tangan di atas meja makan dan jangan sesekali berbincang-bincang secara berlebihan. Sejauh ini apa ada yang ingin kau tanyakan Bening?"
"Tidak ada Madam!"
"Baiklah akan aku lanjutkan."
"Silahkan Madam!"
"Jangan lupa untuk selalu mengucapkan terima kasih dan kata tolong saat hendak meminta tolong kepada orang lain."
Madam Soraya menjeda kalimatnya sejenak sebelum kembali bersuara-
"Setelah makanan datang biasanya jamuan terdiri dari tiga tahapan yaitu appetizer, main course, dan dessert." Madam Soraya tampak menunjuk beberapa menu yang ada di atas meja makan.
"Bening coba perhatikan alat makan yang ada di hadapanmu sekarang!"
Setelah memastikan Bening mengikuti setiap arahan darinya, Madam Soraya pun melanjutkan penjelasannya.
"Kau bisa menggunakan alat-alat makan itu dari arah luar ke dalam. Dan hindari bunyi-bunyian saat acara makan berlangsung!"
"Sampai di sini apa kau paham, Bening?"
"Iya Madam!"
*****
Sementara di tempat lain.
"Aku rasa Papa sudah tahu tentang kabar rencana pernikahan Arga, bukan begitu?"
Tuan sepuh yang beberapa hari lalu baru keluar dari rumah sakit sudah terlihat lebih sehat dan segar. Dan kini beliau sedang berada di ruang kerja miliknya.
Ya, walaupun beliau sudah menyatakan pengsiun dari pekerjaannya beberapa tahun yang lalu dan melimpahkannya kepada sang putra satu-satunya, tetapi beliau masih ikut mengawasi kerajaan bisnis yang telah dibangunnya dengan susah payah.
Tuan sepuh menghela nafas pelan sebelum menjawab pertanyaan sang putra.
"Iya, anak itu sendiri yang mengatakannya padaku sewaktu di rumah sakit."
"Bukankah itu terlalu mendadak? Lagi pula kita sangat tahu bagaimana perangai anak itu selama ini. Apakah mungkin dia bisa mengambil keputusan secepat itu?"
"Entahlah, di satu sisi aku merasa senang cucuku ingin segera menikah. Tapi di sisi lain aku juga merasa curiga dengan keputusannya itu."
"Bahkan dia tidak pernah membicarakan apapun tentang rencananya itu kepadaku."
"Kau harus segera memperbaiki hubunganmu dengan cucuku. Ku rasa itu lebih baik!"
"Cucu kesayangan Papa itu tidak pernah memberiku kesempatan untuk melakukannya." Tuan Jordan tampak menjeda ucapannya. Kemudian-
"Bahkan dia selalu menciptakan jarak di antara kami." Tuan Jordan menyesap minuman yang ada di tangannya. Ada kilatan sendu yang terpancar di matanya. Karena bagaimana pun juga ia adalah seorang Ayah.
Walaupun selama ini ia terkesan abai kepada sang putra. Namun di lubuk hatinya yang terdalam sangat menyayangi putra semata wayangnya itu.
"Kau sendiri lah sebenarnya yang membuat jarak itu! Atas pelampiasan rasa kecewamu di masa lalu!"
"Jangan lupa aku begini juga karena dirimu. Karena pernikahan bisnis yang kau rencanakan membuat ku benar-benar merasa sangat muak!"
"Aku sudah pernah memberimu pilihan dengan cara menceraikannya!"
"Apa Papa pikir bisa semuda itu? Akan ada banyak yang dikorbankan jika aku memilih keputusan itu. Terutama tentang teputasi perusahaan. Bukankah Papa sendiri sangat tahu hidupku tidak pernah mudah!"
"Menjadi seorang Ramiro tidak akan pernah ada istilah mudah. Bahkan jika harus menyakiti diri sendiri adalah sebuah pilihan terakhir. Pasti ada yang direncanakan cucuku saat ini!"
"Apa Papa juga akan memperlakukan Arga seperti Papa memperlakukan aku dulu?!"
"Tergantung! Tergantung calon istri seperti apa yang akan dibawa Arga kepadaku nanti!"
"Jangan terlalu memaksakan kehendak Pak tua. Cukup aku saja yang menjadi korban keserakahanmu!"
"Kita lihat saja nanti! Sekarang keluarlah, aku ingin istirahat!"
"Baiklah, jaga kesehatan Papa. Aku pergi dulu!"
Tuan Jordan pun berlalu meninggalkan ruangan. Langkahnya terhenti saat melihat sosok sang istri sudah menunggunya dengan duduk di sebuah sofa besar yang ada di ruang keluarga.
"Selamat datang suamiku. Akhirnya aku bisa melihatmu lagi setelah beberapa hari kita tidak bertemu. Apa kau sehat?" Nyonya Diana yang tak lain adalah istri Tuan Jordan bangkit dan berjalan ke arah di mana sang suami tengah berdiri.
"Ya, aku baik-baik saja dan tentu saja sangat sehat!"
"Apa kau merindukanku suamiku?" tanya Nyonya Diana sembari memberi kecupan singkat di pipi kiri suaminya.
"Menurutmu?!" ucap Tuan Jordan dingin.
"Oke baiklah kita ganti topik pembicaraannya. Apa kau sudah mendengar berita tentang putra kita, Sayang?"
"Maksudmu pernikahan itu?"
"Iya, bagaimana menurutmu?"
"Hanya perempuan pilihan yang bisa masuk menjadi bagian keluarga Ramiro. Kau tentu tau apa yang aku maksudkan!"
"Ya tentu saja. Bukan sembarang gadis bisa mendampingi putra semata wayang kita," ujar Nyonya Diana sembari mengusap lembut bahu kekar suaminya.
Perbincangan antara suami istri itu terhenti dengan kedatangan seorang asisten rumah tangga.
"Maaf Nyonya ada telepon untuk anda!" ucap pelayan tersebut sembari menyerahkan pesawat telepon kepada sang Nyonya.
Tuan Jordan pun melenggang pergi tanpa sepata kata pun yang terucap dari bibirnya. Seakan keberadaan sang istri tidak begitu berarti di matanya.
0 Comments