Roy menerima panggilan dari Raden untuk kelanjutan kasus penculikan anaknya. Roy sendiri sudah tidak sabar ingin mengetahui siapa pelaku sebenarnya dibalik semua ini. Selain dibantu petugas kepolisian, seluruh anak buah Roy juga ikut andil mencari dalang masalah ini. Toni yang bisa melacak apapun yang berbau elektronik, ia memanfaatkan ponsel Ibunya Sinta untuk mencari identitas pelaku yang sebenarnya.
"Bagaimana?" Tanya Roy saat menghampiri Raden. Ia tidak mau berbasa-basi lagi. Raden mempersilahkannya untuk duduk dulu.
"Ibu itu sudah mau menyebut nama pelaku yang menyuruhnya melakukan penculikan ini. Dengan dalih akan memberinya lima puluh juta." Terang Raden.
"Nama pelakunya Deri." Tambahnya lagi.
"Wait! Aku tidak mengenal seseorang dengan nama itu. Lalu siapa dia? Apa hubungannya denganku?" Roy memijit pelipisnya yang terasa sedikit berdenyut.
"Itu yang masih kami selidiki sekarang. Tersangka sudah memberikan sketsa jelas orang yang bernama Deri itu. Tinggal mencari yang cocok saja sekarang. Kami di sini sudah mengerahkan beberapa petugas untuk menyelidiki siapa orang ini sebenarnya." Tutur Raden.
Roy berpikir sejenak, "Aku tahu siapa yang bisa diandalkan dalam hal ini." Gumam Roy namun masih bisa terdengar jelas di telinga Raden.
***
Roy segera berlari menuju ruang belakang. Tempat dimana anak buahnya berkumpul jika ada yang perlu dibicarakan. Ia sengaja menyuruh seluruh anak buahnya untuk berkumpul di sana sekarang.
"Ah ya, Bos. Ada yang ingin saya sampaikan perihal masalah ini." Toni membuka suara. "Katakan saja, Ton." Suruh Roy.
"Saya sudah menemukan titik terang dari kontak yang pernah Ibu itu hubungi. Tepat ketika saya merekamnya. Saya berhasil melacaknya dan terdeteksi satu orang. Atas nama Deri."
Deg!
Punggung Roy menegak sempurna, saat mendengar nama itu disebut oleh Toni. "Ini yang mau aku bicarakan dengan kalian semua. Raden juga mengatakan jika wanita tua itu menyebut nama yang sama dengan yang kau sebut, Ton. Apa ada informasi lain lagi?" Tanya Roy.
"Masalahnya, dia hanya tangan kedua, Bos. Ini yang mau saya periksa lagi. Sayangnya, tidak ada jejak elektronik Deri dengan siapapun lagi di kontak ini. Beberapa kali saya mencoba melacak ulang, tapi nihil. Tidak ada jawaban."
"Ini berarti, dia tidak melakukan ponsel untuk berinteraksi dengan si penyuruh. Satu-satunya cara selain itu hanya bertemu dengan si penyuruh." Gumam Roy. Beberapa anak buahnya mengangguk setuju dengan apa yang ia katakan barusan.
"Oke. Toni dan kau, Luis. Tetap pantau pergerakan Deri. Jika kalian bisa menemukan tempatnya dimana, itu akan lebih bagus lagi. Steve, bersiap-siaplah. Stand bye dengan anak-anak yang lain. Jika ditemukan, kalian yang bertindak selanjutnya." Titah Roy diangguki seluruh anak buahnya.
Ini hari ketiga Rico belum juga sadarkan diri. Selama tiga hari juga Gera tidak mau berpindah tempat. Ia masih diam memaku diri di sebelah ranjang rawat Rico. "Kapan kau akan bangun, nak? Mama, Papa, saudara-saudaramu, dan semua orang merindukan tingkah riangmu. Mama tidak kuat seperti ini terus." Isaknya tersedu-sedu.
"Sayang, ganti baju dulu." Kata Roy lembut. Selama tiga hari ini Gera sama sekali tidak mau berpindah. Makan di sana, hampir semua yang dia lakukan termasuk bekerja juga di sana. Bahkan, Gera tidak mau pergi mandi. Alhasil, Roy sendiri yang mengalah untuk mengelap setiap inci tubuh Gera dengan kain basah. Lalu menggantikan baju Gera juga di sana. Untung saja mereka mengambil ruang VVIP untuk ruang perawatan Rico.
"Bagaimana keadaan Ray dan Rio, sayang?" Lirih Gera tanpa memalingkan wajahnya dari Rico.
"Mereka baik-baik saja. Namun merengek terus memelas ingin ikut kemari. Mereka juga sangat merindukanmu. Terkadang Ray dan Rio menangis ingin bertemu denganmu, sayang."
"Bawalah mereka kemari, Roy. Aku yakin Rico sedang menunggu mereka datang. Batin mereka yang berkaitan satu sama lain bisa saja menjadi obat untuk Rico." Ini adalah kali pertamanya Gera mau berbicara panjang lebar sejak kejadian hilangnya Rico.
"Tapi sayang, aku sangat takut jika ada oknum jahat yang mengintai mereka seperti Rico. Itu yang aku takutkan selama ini." Roy terus saja mengeluh dan menahan kesedihannya. Ia menelan semua beban sendiri. Tentu saja dia tidak mau melibatkan Gera, karena ini sangat menyiksa otak.
"Its okay, babe. Suruh saja Steve atau Luis untuk mengawal mereka. Aku sangat ingin bertemu dengan mereka. Begitu juga Rico, aku sangat yakin akan hal itu."
Sesuai keinginan Gera, Roy segera menelpon Luis menit itu juga untuk menyuruh Luis agar datang bersama anak-anak.
"Mama! Papa! Dimana Rico?" Pekik Ray berlari, Rio mengekor di belakangnya.
Gera menangis merasakan pelukan-pelukan kecil dari mereka. Ia merindukan ini, tapi masih kurang karena Rico belum juga sadar.
"Bangunlah, Rico! Kami merindukan ocehanmu. Kau konyol, Rico!" Desak Ray yang sudah menangis sejak tadi.
"Ray benar. Kau konyol! Kau tega melihat kami menangis terus seperti ini. Bangunlah! Kami tidak punya teman bermain selain dirimu. Nenek Iem juga sudah membersihkan taman untuk kita bermain bersama Kakek." Sambung Rio.
Mereka terus saja menggoyang pelan tubuh hangat Rico. Mereka kecewa karena tidak ada jawaban sama sekali dari Rico. Dia masih saja tidur dan tidak mau bangun.
"Kenapa kau jahat sekali?! Kami kemari untuk menjengukmu, tapi kau malah tidur dan tidak mau bangun juga!" Ray memekik kesal. Ia bingung dengan Rico yang tidur tanpa gerakan.
"Ray! Jangan meneriaki Rico! Dia sedang sakit. Kau yang jahat!" Bantah Rio ikut meneriaki Kakaknya. Ia memberi tatapan intimidasi pada Ray karena sudah membentak Rico.
Terlihat Roy yang menyeka air matanya, lalu menghampiri Gera dan memeluknya. "Ini yang aku rindukan, Ge. Melihat mereka ribut seperti ini membuatku ingin menangis dan menjerit sekeras mungkin." Gumam Roy.
"Roy... Aku... Aku tidak sanggup melihat ini semua." Isak tangis Gera redam dalam pelukan Roy. Melihat anak-anaknya yang seperti ini seakan memukul keras jiwanya. Ini benar-benar menyakitkan.
Roy dan Gera duduk berpelukan di sofa dengan tubuh bergetar karena tangis yang ditahan. Mereka hanya bisa menyaksikan bagaimana Ray dan Rio berusaha membangunkan Rico. Dada Gera terasa sangat sesak melihat itu semua.
"Mama! Rico bergerak! Rico bangun, Ma!" Teriak Ray heboh. Gera tersentak kaget dan segera menghampiri untuk melihatnya. Roy juga bisa melihat ada pergerakan pada tangan Rico. Segera ia berlari dan memanggil dokter.
"Turun dulu, sayang. Biar Rico diperiksa Paman Lucas." Gera menurunkan dua anaknya yang tadi berada di atas ranjang bersama dengan Rico.
Lucas datang dan segera bertindak. Ia memeriksa keseluruhan tubuh Rico. Hingga tak lama kemudian, Rico membuka matanya perlahan. Gera dan Roy tidak bisa menahan haru melihat ini semua. "Papa! Kami ingin melihat Rico! Apa yang terjadi padanya?!" Rio memekik dan menarik-narik celana kerja Roy.
"Sebentar, nak. Kalian pasti akan melihat Rico. Tapi tunggu dulu, Paman Lucas sedang memeriksa Rico sekarang." Jawab Gera lembut. Duo R pun mengangguk dan diam menunggu waktunya.
Beberapa saat mereka harus menunggu respon Rico ketika sudah sadar. Lucas juga masih memeriksa beberapa bagian tubuh sensitif Rico untuk memastikan semuanya baik-baik saja.
"Papa... Mama...." Lirih Rico bergantian menatap Papa juga Mamanya. "Iya sayang, kami di sini." Timpal Roy dengan suara seraknya. Baik dirinya maupun Gera, mereka tak kuasa menahan haru melihat Rico yang sudah sadar. Air mata bahagia menyelimuti mereka saat ini.
"Ini ajaib, Roy!" Gumam Lucas sambil geleng-geleng tak percaya.
"You mean?" Tanya Roy gantung.
Lucas sekali lagi mengangguk. "Rico baik-baik saja. Ini keajaiban." Ujar Lucas tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
Lagi dan lagi Gera menangis dalam pelukan Roy. Ia terisak karena haru yang sudah hadir dalam hidupnya saat ini. "Rico baik-baik saja, Roy." Ujar Gera senang. Roy mengangguk-angguk bahagia.
"Kids, Rico mencari kalian! Kemarilah!" Seru Gera memanggil anak-anaknya yang tengah duduk menunggu di sofa.
Ray dan Rio saling mendahului dan berlarian menghampiri Rico. Perut Gera terasa geli melihat mereka berlari, takut salah satu dari mereka akan terjatuh nanti.
"Rico! Kau membuat kami merindukanmu! Good job, dude!" Ray menyilang tangannya di depan dada seolah-olah memarahi Rico. Yang terbaring hanya bisa tersenyum lemah.
"Wah, kalian ini memang sangat pintar!" Puji Lucas antusias. Karena di matanya, melihat anak kembar tiga itu langka.
"Juga tampan! Seperti Papa!" Rio yang menambahkan. Ia membusungkan dadanya angkuh. Lucas tergelak melihat itu.
"Astaga, Roy! Anakmu masih sangat kecil tapi sudah kau ajari seperti ini? Bahaya!" Ejek Lucas dengan ekspresi yang dibuat-buat.
"Sialan kau! Aku tidak pernah mengajarkan yang aneh-aneh pada anak-anakku. Mereka saja yang terlalu pintar. Kau lupa orang tuanya siapa?" Roy malah ikut membanggakan dirinya sendiri. "Dasar! Anak dan Bapak sama saja!" Gerutu Lucas. Dia memang sangat menyukai anak-anak. Tapi masih malas untuk mencari pasangan.
Tidak langsung pergi, Lucas malah ikut nimbrung dan berbincang bersama Gera dan Roy. Sesekali triplets yang menemaninya bercanda.
"Gera..." Seseorang masuk dengan membawa sebuket coklat kesukaan anak-anak.
"Hello, triplets! Tante merindukan kalian. Sangat." Luisa memeluk tiga anak itu erat.
Triplets sangat bahagia dengan kehadiran Luisa. Terutama Rico. Ia amat merindukan Tantenya itu. "Bagaimana keadaanmu, sayang?" Tanya Luisa. Gera menceritakan semuanya pada Luisa dengan sangat antusias. Sesekali Ray dan Rio yang merespon.
"Dude, tatapan matamu pada Luisa terlihat sangat intens." Goda Roy. Lucas hanya tersenyum tanpa memalingkan wajah dari Luisa yang sedang tertawa bercengkrama dengan anak-anak.
"Dia siapa, Roy?" Celetuk Lucas bertanya.
"Luisa. Saudara kembarnya Luis. Dia yang menemani Gera selama hilang dariku, Luck! Dia sangat berjasa bagiku. Anak-anak juga sangat senang jika ditemani dia." Tutur Roy.
Bukannya merespon Roy, Lucas malah fokus dan senyum-senyum sendiri melihat Luisa tanpa berkedip. Berkali-kali Roy berdeham, tidak bisa membuatnya sadar dan memalingkan tatapannya dari Luisa.
"Dia manis, Roy." Katanya lagi. Roy hanya tersenyum menahan tawa mendengar itu. Akhirnya sahabatnya ini bisa melihat seorang wanita dari sudut pandang seorang pria dewasa.
Puas menggoda Lucas, Roy pergi karena mendapat panggilan dari Raden. Sepertinya mereka sudah menemukan kebenaran. Raden juga mengatakan beberapa anak buah Roy sudah ada di kantor polisi menunggunya datang. Hati Roy sedikit bergetar, gugup. Akankah pelaku sebenarnya sudah ditemukan?
0 Comments