"Ke daerah mana yang kau inginkan di Sumba, sayang?" Celetuk Roy bertanya saat mereka dalam perjalanan pulang.
Tidak langsung menjawab, Gera hanya tersenyum. "Aku ingin pergi ke Waingapu, Sumba Timur. Dulu di sana ada temanku. Tetapi sampai sekarang aku tak pernah bisa mengunjunginya. Aku harap ketika kita ke sana, aku bisa bertemu dengannya." Tutur Gera.
"Hanya itu?" Tanya Roy.
"Tidak. Di sana akan ada banyak perbukitan sejauh mata memandang. Aku ingin sejenak di sana dan melepas penatku." Jawab Gera dengan senyum yang sarat akan kebahagiaan.
Tak mau menganggu khayalan wanitanya, Roy hanya diam dan fokus menyetir. Sesekali ia melirik Gera yang masih setia dengan senyum lebarnya. Sebenarnya Roy sendiri malas bepergian. Ia lebih tertarik untuk bermain bersama anak-anaknya yang sudah begitu lama tidak ia temani. Namun tak apa, sesekali ia harus membahagiakan Gera setelah berkali-kali membuatnya terpuruk.
"Papa!" Seru Rico saat melihat orang tuanya pulang.
"Panggil kakak-kakakmu! Papa membawakan kalian oleh-oleh!" Roy memperlihatkan paper bag yang penuh akan makanan. Rico girang melihat itu dan segera berlari mencari Ray dan Rio.
Tak lama ketiganya turun dan menghambur ke pelukan Roy. Bukannya sedih, Gera terharu melihat ini semua. Dulu yang ia takutkan Roy akan menyiksa triplets jika mereka bertemu, namun pikiran itu patah bersamaan dengan perhatian Roy pada triplets bahkan sebelum ia tahu bahwa tiga anak laki-laki itu adalah anak kandungnya.
"Makan pelan-pelan. Papa dan Mama mau packing dulu. Liburan selanjutnya kalian akan ikut!" Seru Roy membuat ketiganya bersorak gembira.
Gera memanggil Bi Iem untuk menemani putra-putranya sementara ia harus ke kamar dan packing semua kebutuhan. "Rasanya berat meninggalkan anak-anak. Tapi aku juga tidak mau mengecewakan Papa." Gera menghela napas berat mengingat bagaimana anak-anaknya di rumah.
"Sepertinya aku akan menyuruh Luisa untuk lebih sering datang kemari untuk menemani anak-anak." Keputusan yang tepat. Luisa adalah pawangnya. Anak-anak akan sangat senang dengan keberadaan Luisa. Ia juga sudah lumayan lama tidak datang berkunjung ke rumah.
"Ide yang tepat!" Timpal Roy.
Gera segera mengemas kebutuhannya bersama Roy untuk liburan besok. Senyumnya tak pernah lepas dan pudar. Roy ikut senang melihat itu.
Karena packing hanya sebentar dan menyisakan banyak waktu, Gera mengajak Roy untuk membawa triplets pergi jalan-jalan. "Kita ke pantai saja bagaimana?" Tanya Roy.
"Sebenarnya aku ingin mengunjungi Nek Rita. Tapi sepertinya akan lama sampai di sana. Terlalu jauh untuk waktu kita yang sekarang." Kata Gera lirih.
"Bisa saja. Aku akan mengajak Luis dan Clay juga. Agar aku bisa istirahat dan digantikan Luis untuk menyetir." Ujar Roy.
Ide Roy membuat Gera senang bukan main. "Ayo lakukan sekarang!" Seru Gera. Langsung saja Roy menelpon Luis dan memberinya perintah.
***
"Papa, kita akan kemana?" Tanya Rico. Ia tak henti-hentinya bertanya.
Roy tersenyum mendengar celotehan anak-anaknya yang memang sedang rewel. "Kita akan ke rumah Tante Luisa."
"Yeay!!!" Ketiganya bersorak ceria. Namun sebelum pergi, mereka menjemput Clay dan Luis terlebih dahulu.
Saat melihat Clay dan Luis, triplets terkejut. "Siapa mereka, Papa?" Celetuk Ray penasaran. "Tante Clay, sepupu Papa. Dan Paman Luis, dia saudara kembar Tante Luisa." Terang Roy.
"Astaga! Tante Luisa punya kembaran? Wow! Sama seperti kita!" Seru Rico antusias.
Clay juga terkejut melihat tiga anak kembar yang sangat rupawan ini. "Ge, anak-anak ini hasilmu dengan Roy? Apa aku tidak salah?" Tebak Clay. Gera hanya mengangguk dan tersenyum.
"Masuklah! Temani anak-anak di belakang!" Suruh Roy. Clay dan Gera duduk di belakang bersama anak-anak. Sedangkan Roy bergantian menyetir dengan Luis.
"Aku tidak sabar bertemu dengan calon iparku!" Seru Clay heboh sendiri di belakang. "Dasar aneh!" Gerutu Roy di depan.
Karena perjalanan memakan waktu sekitar 1,5 jam, triplets bermain bersama Clay di belakang. Mereka cepat sekali akrab. Luis yang melihat dari kaca spion hanya tersenyum tipis melihat bagaimana kekasihnya itu bermain dengan anak-anak. Pasti akan menyenangkan jika dirinya memiliki anak bersama Clay, pikirnya.
"Kita sampai!" Gera sangat tidak sabar. Ia merindukan tempat ini. Dan tentu saja merindukan Nek Rita juga.
Luis mendahului semuanya dan mengetuk pintu rumah minimalis itu. "Tunggu!" Seru seseorang dari dalam.
"Luis!" Seorang wanita keluar dan memeluk spontan Luis yang tepat di depannya. Luisa menangis terharu melihat kembarannya.
"Maafkan aku, Ge. Aku sampai melupakan kalian. Dan kau?" Luisa menunjuk Clay dengan wajah penasaran.
"Luisa, dia kekasihku. Clay." Ujar Luis memperkenalkan Clay pada saudaranya.
"Wah, aku sangat bahagia mendengar itu, Luis. Aku turut senang untuk kalian berdua." Kata Luisa. Ia menyeka air matanya dan menyuruh tamu-tamunya masuk. Triplets yang bertemu dengan Luisa langsung memeluk wanita itu girang. Bahkan Rico sampai menangis. "Rico sangat merindukan Tante." Tuturnya sesenggukan.
Hari sudah beranjak senja dan mereka tak mau kelewatan menyaksikan momen matahari tenggelam. Luis dan Clay, mereka berjalan-jalan di sepanjang pesisir. Sedang Roy dan Gera, mereka sangat romantis dengan terpaan sinar matahari yang hendak kembali ke peraduan.
"Aku merindukan Nek Rita. Apa sebaiknya kita mengunjunginya sekarang?" Celetuk Gera bertanya. Roy menyarankan kepada Gera agar bertanya dulu pada Luisa.
"Maafkan aku, Ge. Nek Rita sudah kembali ke Brazil beberapa Minggu yang lalu. Beliau pikir tugasnya sudah selesai. Roy sudah berubah dan bersatu denganmu lagi." Jelas Luisa lirih. Tak bisa dipungkiri, ia juga sangat menyayangi Rita layaknya Nenek sendiri. Bagaimanapun juga, selama ini mereka hidup berkat bantuan Nek Rita.
Wanita itu hanya menunduk sedih. Ia terpukul karena tidak bisa meminta maaf pada Rita. Kesalahannya sangat fatal hingga memutus komunikasi dengan Rita. Itu adalah penyesalan yang sangat besar bagi dirinya.
"Jangan sedih. Aku janji suatu hari nanti akan mengajakmu dan anak-anak menemui Nenek ke Brazil." Hibur Roy. Gera mengangguk lemah.
Mereka harus kembali sekarang. Hari sudah malam, Gera dan Roy harus istirahat secepatnya. Mereka akan pergi ke Sumba pagi-pagi sekali.
***
Sampai di Bandar udara Sumba Timur, Gera bernapas lega. Akhirnya, sesuatu yang paling dia mimpi-mimpikan terwujud hari ini. Bersama orang yang sangat ia cintai.
"Apa kau senang?" Tanya Roy. Gera menatap mata hitam Roy dan mengangguk dengan senyum lepas yang sangat damai.
"Apa kau tidak keberatan jika mengantarku ke rumah Putri? Aku masih menyimpan alamat rumahnya yang dia berikan beberapa tahun lalu." Pinta Gera. Roy mengangguk. "Aku akan menyewa mobil agar kau bisa kemanapun semaumu." Timpal Roy. Betapa bersyukurnya Gera dengan sifat dan sikap Roy yang sekarang.
Mereka sampai penginapan sudah malam hari. Setelah makan malam, keduanya langsung terlelap karena kelelahan. Beberapa kali Gera meneteskan air mata mengingat triplets yang kini berpisah dengannya. Namun Roy selalu meyakinkan Gera bahwa mereka akan baik-baik saja bersama David dan juga Luisa.
"Roy, bangunlah! Hari sudah siang!" Pekik Gera membangunkan Roy. Ia kesal karena tertidur hingga siang.
"Roy! Bangunlah! Aku tidak mau terlambat menuju rumah Putri!" Gera menjerit-jerit karena Roy belum juga terbangun.
Kesal dengan Roy yang tertidur seperti orang mati, Gera dengan langkah kasarnya mengambil air minum di atas nakas dan menyiram Roy dengan air itu. Roy langsung terduduk. "Ge, kenapa kau menyiramku? Astaga!" Roy mengerang geram karena ulah Gera.
"Tidurmu seperti orang mati. Aku sudah membangunkanmu sejak tadi. Ayo mandi! Kita akan pergi jalan-jalan sekarang. Aku sudah tidak sabar menemui Putri!" Seru Gera antusias. Roy ingin sekali marah, tapi melihat bagaimana bahagianya Gera, ia meredam semua itu dengan cintanya.
Langkah malas Roy membuat Gera tersenyum puas. Ia benar-benar tak sabar untuk hari ini.
Karena ia memang menginap di daerah Waingapu, jadi tidak akan jauh mencari Putri. Beberapa kali Gera bertanya pada penduduk lokal dimana tepatnya alamat Putri. Ternyata tidak jauh lagi. "Sekitar 50 meter lagi, Roy." Tutur Gera setelah menanyakan pada seorang wanita tua.
"Roy, di sana! Sepertinya itu rumahnya." Seru Gera menunjuk sebuah rumah bernuansa klasik. Roy segera melajukan mobilnya ke arah rumah itu.
Namun beberapa kali Gera memanggil, tidak kunjung ada sahutan. Hanya sepi jawabannya. "Apa Putri sudah tidak tinggal di sini lagi?" Lirih Gera menunduk.
"Jangan cemberut. Kau jelek dengan wajah sekusut itu." Goda Roy. Namun Gera tetap tak mau senyum atau bahkan mendongak. Rupanya ia sangat kecewa. Roy mengajak Gera jalan-jalan untuk meredam kekecewaannya.
Hingga sore Roy masih saja mengajak Gera berkeliling, bahkan hanya berbekal peta dari seorang guide di bandara kemarin. "Ge, kita ke bukit bagaimana? Bukannya kau sendiri yang bilang bahwa kau ingin menenangkan dirimu di bukit-bukit itu?" Tanya Roy berusaha mencairkan suasana.
Tak menjawab, Gera hanya mengangguk lemah. "Ayo kita ke bukit!" Seru Roy semangat, berbanding terbalik dengan Gera.
Roy menutup mata Gera dengan sebuah kain hitam. Awalnya Gera menolak. Tapi Roy memaksanya, langkahnya pun sangat lemah. Hingga Roy memutuskan untuk menggendongnya. Erat pelukan Gera di leher Roy. "Hati-hati" lirihnya.
"Bagaimana mungkin aku membiarkan diriku terjatuh saat membawamu?" Timpal Roy.
Hingga di puncak, Roy menurunkan Gera pelan. "Apa sudah sampai? Apa aku bisa membuka penutup mataku sekarang?" Tanya Gera meraba-raba.
"Iya. Biar aku yang bukakan." Jawab Roy. Ia benar-benar gugup untuk malam ini.
Saat mata indah itu terbuka, mulut Gera menganga kaget melihat semua yang ada di hadapannya. "Roy, bagaimana semua ini bisa..." Kata-kata Gera terputus.
0 Comments