Luisa sudah mendapat perintah dari Gera untuk kembali ke kota dan membawa anak-anak. Ia senang semua ini terjadi, terlebih jika Gera akan bersatu lagi dengan Roy. Ia sempat mendengar dari Alvin bahwa Roy memang sudah sangat berubah. Tidak seperti terkahir kali mereka bertemu.
"Kids, kalian sudah siap?" Seru Luisa bertanya. Ketiganya mengangguk antusias.
Tak henti-hentinya Luisa terkekeh geli melihat bagaimana ketiga anak itu berjalan riang dengan ransel di pundak mereka. "Rico tidak sabar bertemu dengan Mama." Seru Rico dengan senangnya.
"Bukan hanya Rico, Rio dan Ray juga sangat merindukan Mama." Celetuk Rio tak mau kalah. Berbeda dengan saudara sulung mereka, jalannya lurus dan tanpa kedipan. Ray dingin dan datar.
"Ray! Jangan melamun terus! Kau bisa ketempelan nanti." Tegur Rio menahan tawanya.
Sementara itu, Luisa hanya bisa menggeleng dan tersenyum geli melihat tingkah ketiga putra Gera. Kadang mereka membuat dirinya kagum karena kecerdikan mereka yang memang menurun dari Roy dan juga Gera.
"Sudah, sudah... Jangan bertengkar. Kita berangkat sekarang, tapi Tante akan membeli makanan untuk kalian terlebih dahulu. So, stay here and don't open the door!" Suruh Luisa. Ketiganya mengangguk dan Luisa segera beranjak meninggalkan ketiganya.
Duo Rio dan Rico sangatlah cerewet sepanjang perjalanan. Mereka membicarakan seperti apa sih kehidupan di kota? Bayangan mereka terus saja tertuju ke sana. Mereka terus saja berbincang hingga akhirnya terlelap dalam pembicaraan mereka sendiri.
Beberapa jam penerbangan, akhirnya mereka sampai. Luisa berniat mengajak triplets untuk bersantai dulu sebelum mengantarnya ke rumah David. Gera sudah memutuskan untuk menitip ketiga anaknya di sana.
"Tante akan mengajak kalian bersantai dulu sekalian makan siang. Ada yang mau?" Ketiganya mengangkat tangan dan ricuh.
"Wah, Ray. Kelihatannya kau sangat lapar sampai lupa akan sikap dinginmu." Goda Luisa membuat Ray mendelik kesal.
Karena tidak jauh dari bandara, Luisa mengajak tiga anak itu menuju cafe di dekat pantai. Ini kali pertama anak-anak itu melihat pantai. Tidak akan masalah jika mengajak mereka rehat sejenak.
"Pesan makanan kalian!" Suruh Luisa saat pelayan menghampiri.
"Nasi goreng, Tante!" Seru mereka bertiga kompak. Pelayan gemas dengan tingkah mereka.
"Minumnya?" Tanya si pelayan dengan senyum lebar.
"Ray jus alpukat."
"Rio jus mangga."
"Rico bingung. Ah ya, jus jeruk saja. Rico ingin minum jus jeruk!"
Mereka harus menunggu beberapa saat hingga makanan datang. " Tante, terima kasih sudah mengajak kami melihat pantai. Ini sangat indah." Ujar Ray sopan. Ia mewakili adik-adiknya.
"Tapi kami bosan. Bolehkah kami bermain ke sana?" Ray menunjuk ke arah pasir putih yang membentang luas di depan mereka.
"Boleh saja. Tapi tolong, berjanjilah kalian tidak akan bermain menuju air." Kata Luisa.
Ketiga anak itu mengangguk kompak. "Ray yang akan menjaga mereka, Tante!" Seru Ray.
Mereka girang sekali bisa bermain pasir untuk kali pertamanya. Hingga seorang pria tampan dan gagah menghampiri mereka.
"Hai, kids! Kalian bersama siapa?" Tanya pria berkaca mata itu.
"Kami bersama Tante." Tunjuk Rico pada wanita yang sedang mengenakan kaca mata hitamnya.
"Om boleh ikut bermain?" Ketiganya mengangguk senang.
Saat ketiganya asik bermain, Ray sibuk memperhatikan pria itu. "Boleh kami memanggilmu Papa?"
Pria itu mengangguk. "Tentu saja boleh. Tapi kenapa berkata seperti itu?"
"Kami tidak pernah bertemu dengan Papa. Mama bilang Papa sedang ada tugas di luar kota." Celetuk Rio.
"Nama Papa siapa?" Tanya Rico.
"Roy." Jawab pria itu dengan senyum indahnya.
"Wah! Ray! Namamu mirip dengannya!" Cetus Rio girang.
"Papa. Jadi bolehkah kami memanggilmu Papa?" Tanya Ray meyakinkan diri.
Roy mengangguk senang. Entah kenapa, hatinya sangat tentram dengan keberadaan tiga bersaudara ini. Ia sangat bahagia.
"Papa ingin membelikan kalian es krim. Mau?" Tanya Roy.
Ketiganya mengangguk senang. "Wait! Tante sudah memesan minuman untuk kita." Seru Ray ingat.
"Oke. Papa, tidak usah belikan kami es krim. Lain kali saja jika kita bertemu lagi." Ujar Rico. Roy sangat gemas pada mereka. Andai saja Gera masih bersamanya, mungkin anak mereka akan sebesar triplets sekarang.
Roy dan tiga R bermain hingga lupa segalanya. Semuanya berebut ingin dipangku oleh Roy. Namun bukannya risih, Roy malah senang hingga tertawa terbahak-bahak akan tingkah mereka. Sebelumnya ia tak pernah bisa tertawa selepas ini bahkan bersama Gera.
"Ray! Rio! Rico!" Panggil Luisa. Ia berjalan menghampiri triplets karena khawatir melihat mereka bermain dengan seorang pria asing.
"Makanan kalian sudah..." Kalimat Luisa gantung saat melihat siapa yang berbalik dan memangku triplets sekarang.
Roy!
Seketika mulut Luisa kaku dan tak bisa digerakkan. Bagaimana takdir bisa bermain seapik ini?
"Tante, kenalkan ini Papa kami!" Seru Rico girang.
Deg! Lagi-lagi jantung Luisa berdegup sangat kencang mendengar apa yang baru saja Rico katakan.
"Te-terima kasih, Tuan." Luisa terbata-bata dan memalingkan pandangannya agar Roy tak mengenalinya.
"Tak apa." Jawab Roy.
"Ayo! Makanan kalian sudah siap. Takutnya nanti dingin. Mama kalian juga sudah menelpon tadi." Ajak Luisa agar Roy tak melulu bersama mereka.
"Papa, kami pergi dulu. Sampai jumpa!" Seru Ray senang. Entah kenapa, Luisa bisa melihat cahaya lain di mata Ray. Anak itu melupakan sikap dingin dan datarnya saat bersama Roy.
Luisa takjub dengan takdir. Namun juga takut. Ray benar-benar berbeda saat bersama Roy. Ia sangat senang bisa bersama orang yang mereka sebut Papa. Karena ya memang Roy adalah Papa mereka.
Melihat kepergian tiga anak itu, hati Roy melorot dan terasa sakit. Kesepian melandanya lagi. Hingga bayangan anak-anak itu menghilang, Roy masih kepikiran. Dimana tempat ia dan anak-anak itu bermain, di sanalah pertama kali ia melihat Gera sedang menangis meraung-raung dengan kebaya yang membungkus tubuh cantiknya.
"Dan sekarang kau semakin jelita, Ge. Aku merindukanmu. Sangat." Lirih Roy.
Kembali ke hotel, Roy langsung menelpon Luis untuk bercerita. Akhir-akhir ini Luis lebih berperan sebagai teman curhatnya. Ia sudah lebih bisa menghormati Luis, terlebih dia adalah pacar dari kakak sepupunya, Clay.
"Sialan! Jika aku tak ada, pekerjaanmu hanya bersenggama dan bercinta dengan sepupuku! Brengsek!" Seru Roy tak kalah kerasnya dari tadi.
"Yah, Anda tahu bagaimana saya dan dia." Balas Luis menahan senyumnya.
"Sudahlah, aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu karena entah kenapa ini menjadi pikiran untukku." Kata Roy.
"Katakan saja, Bos." Suruh Luis
"Aku sempat mengunjungi tempat aku menemukan Gera pertama kalinya. Di sana aku menemukan anak-anak yang entah kenapa membuat hatiku hangat." Tutur Roy.
"Anak-anak?" Tanya Luis dari seberang sana.
"Ya. Tiga orang anak. Kembar. Semuanya laki-laki. Aku menyebut mereka 3R. Mereka sangat menggemaskan dan pintar." Tambah Roy lagi.
Luis bingung. "Lalu apa yang membuat Anda bingung, Bos?"
"Entahlah. Mereka memanggilku Papa. Dan saat mendengarnya, aku ingin menangis. Mereka terasa sangat mirip denganku." Tutur Roy lagi.
Luis menggeleng. 'Tidak mungkin anak Gera. Gera mengatakan bahwa dia sudah menikah dengan Alvin. Dan anaknya dengan Roy, sudah tiada karena keguguran.' pikir Luis.
"Wah, saya jadi ingin melihatnya, Bos." Luis berniat menghibur Tuannya.
"Aku berharap bisa bertemu mereka lagi. Dan pada saat itu aku akan mengenalkanmu pada mereka." Sambungan terputus sepihak oleh Roy.
***
"Vin! Maksud kamu apa sih?! Kamu sengaja kan kirim aku ke kantor pusat agar bisa bertemu dengan Roy?!" Bentak Gera dari telpon. Ia sangat marah. Semakin ia melihat Roy, maka akan semakin sulit ia melupakan Roy.
"Kau bilang aku pilihan kantor?! Basi, Vin! Itu basi! Aku sudah mati-matian berusaha lupain Roy, dan sekarang aku melihatnya lagi. Di sentuh olehnya. Lalu bagaimana aku bisa lupa?!"
"Kau egois! Aku tidak tahu Luis akan memberitahu Roy atau tidak, yang jelas aku mengatakan kalau aku sudah menikah bersamamu." Tentu saja di seberang sana Alvin terkejut bukan main.
Gera menangis ketika sambungan terputus. Ia bingung. Rasa itu semakin besar karena memang tidak pernah bisa mati dalam hati Gera.
Tok... Tok... Tok...
Saat pintu hotel terbuka, Gera kaget. "Mama!" Pekik tiga putranya. Refleks ia memeluk erat ketiga anak tampan itu.
"Mama, tadi kami bertemu Papa! Dia sangat tampan!" Ujar Rico girang sembari menggandeng tangan Gera.
"Wah, bagaimana bisa kalian memanggil orang asing dengan sebutan Papa? Kalian tidak sopan!" Tuduh Gera dibarengi candaan.
Ray yang paling dulu menggeleng. "No, Mama. Dia sangat baik. Ray yang meminta agar kami boleh memanggilnya Papa. Rasanya sangat seru!" Ujar Ray bahagia.
Gera menatap Luisa seakan meminta penjelasan. "Kalian istirahat di kamar. Nanti sore Mama akan mengajak kalian ke rumah seseorang."
"Kemarilah Luisa! Aku ingin berbicara." Wanita itu menurut dan segera menghampiri Gera setelah triplets pergi.
Jantung Luisa berdegup kencang. Apa yang harus dia katakan sekarang. "Apa yang mereka maksud, Luisa? Siapa yang mereka panggil Papa?" Tanya Gera cemas.
"Hanya seorang pria tua yang kebetulan bermain di dekat mereka. Aku juga bersama mereka. Jadi jangan cemas." Jawab Luisa dengan ekspresi meyakinkan. Dia sama saja dengan Luis. Pintar berekspresi.
"Huuftt... Syukurlah." Gera bernapas lega.
Gera menyuruh Luisa istirahat sementara ia mengepak pakaian triplets untum dibawa menuju rumah David.
Sorenya mereka pergi menuju rumah David. Rupanya beliau sudah menunggu sejak tadi. Ia tak sabar menunggu kehadiran cucu-cucunya. Tak sabar ingin melihat bagaimana lincahnya mereka.
"Tidurlah jika kalian masih mengantuk. Perjalanan masih lumayan panjang. Mama akan membangunkan kalian nanti." Suruh Gera namun ditolak triplets.
Sepanjang perjalanan mereka kagum melihat lebih banyak lagi gedung-gedung pencakar langit yang menjuntai memenuhi kota. Lalu tak lama, mereka juga dibuat takjub oleh lebatnya hutan Pinus.
"Kita sampai!" Seru Gera riang. Dan saat gerbang terbuka dengan sendirinya, triplets sangat senang dan bersorak ria.
Semakin mendekat, pintu utama semakin terlihat. Wait! Sepertinya pintu dan rumah itu dihias! Astaga Tuhan! David menyiapkan semuanya.
"Mama, kita dimana?" Tanya Rio penasaran.
"Rumah Kakek." Jawab Gera simpel namun penuh kebahagiaan.
"Wah... Mama anak orang kaya ternyata." Seru Rico tak mau kalah.
Melihat mereka turun dari mobil, David dengan langkah sedikit berlari menghampiri anak dan cucu-cucunya. "Gera!"
"Pa, mereka cucu-cucu Papa. Anak Gera." Tutur Gera.
David berdecak kagum melihat tiga orang anak cowok yang sangat tampan dan menggemaskan. Mereka terlihat angkuh seperti Roy, namun sederhana seperti Gera. Perpaduan yang tak henti-hentinya membuat David terkagum-kagum.
"Peluk Kakek! Kalian harus terbiasa dengan beliau!" Suruh Gera. David membuka lebar tangannya dan memeluk triplets erat. Air matanya menetes tak tertahan merasakan kehangatan dari cucu-cucunya.
"Apa kita akan tinggal di rumah Kakek, Ma?" Tanya Rio. Gera mengangguk. "Untuk sementara tinggal bersama Kakek dulu. Mama tidak mau kalian tinggal di rumah Mama yang sempit." Kata Gera.
0 Comments