"Astaga, Roy!"
"Apa yang kau lakukan, brengsek?!" Pekik Clay yang baru saja masuk ke dalam ruangan Roy.
Seketika kegiatan Roy terhenti dan tatapan Clay beralih menuju Sinta yang kini memeluk tubuhnya yang gemetaran. Clay bisa mendengar dengan jelas, bagaimana Sinta meminta tolong. Walaupun suara wanita itu terdengar samar.
"Kenapa diam, sialan?! Kau benar-benar tak tahu malu! Aku malu menjadi sepupumu!" Bentak Clay, wajahnya memerah karena emosi.
"Clay, ini bukan salahku." Cicit Roy seperti anak kecil. Ia memang tidak bisa membantah perkataan Clay. Walaupun ia dingin dan keras, tetap saja keluarganya mengajarkan untuk tetap menghormati keluarga yang lebih tua. Seperti Clay, dia lebih tua dari Roy. Walaupun usia mereka terpaut tidak jauh.
Clay melotot nyalang. "Sudah nyata kau masih bisa mengelak dan bilang ini bukan salahmu?! Kau memang tak tahu diri, Roy!"
Dengan keras Roy menghempaskan diri di sofa yang biasa Gera tempati dulu. Hingga kini sofa itu tidak mau diganti oleh Roy.
"Dia yang membubuhi perangsang di dalam kue yang sudah dia berikan padaku." Bentak Roy tak terima.
"Bodoh! Aku baru tahu kalau kau sangat teledor. Bagaimana bisa kau asal makan kue, tolol?!" Tak tanggung-tanggung, Clay memang sangat kasar jika sedang marah. Apalagi itu bersangkutan dengan Roy.
Mendengar umpatan Clay untuk dirinya, Roy menatap tajam. "Aku mengingat Gera saat melihat kue itu. Jadi jangan menyalahkan ku hanya karena sebuah kue. Aku memakannya untuk melampiaskan rinduku untuk Gera."
"Lalu apa kau berpikir, jika suatu hari Gera kembali dengan atau tanpa anakmu, dan dia mengetahui bahwa kau sudah dengan entengnya menyetubuhi gadis lain, apa kau yakin dia akan kembali padamu?!" Tanya Clay keras.
"Aku orang pertama yang akan melarangnya untuk memilih bersamamu lagi!" Tambah Clay meradang.
Clay segera menutupi tubuh Sinta dengan blazer yang ia pakai. "Ikut denganku!" Dia memapah wanita yang masih gemetaran itu dengan pelan.
Sementara Roy masih terduduk syock dengan apa yang baru saja Clay katakan. Clay benar, bagaimana jika ia melakukan itu bersama Sinta dan Gera mengetahuinya?
"Tidak... Tidak...!!" Roy menggeleng menepis semua bayangan buruk yang hadir dalam otaknya.
"Sabar, Roy! Itu semua godaan! Jika kau melakukannya, maka usahamu selama bertahun-tahun akan sia-sia." Gumam Roy mengingatkan dirinya sendiri.
"Aarrrgghh!!" Roy menggeram seraya menjambak rambutnya yang memang sudah kacau.
Di tempat lain, Clay memilih mengantar Sinta pulang agar tidak mengundang rasa penasaran karyawan lain di kantor.
"Tak apa. Menangislah! Aku tahu ini bukan salahmu. Jangan tahan air suaramu. Itu hanya akan membuatmu kesakitan." Ujar Clay menatap miris Sinta yang masih sesenggukan di kursi belakang.
"Terima kasih, Bu. Saya benar-benar tidak melakukannya." Cicit Sinta lirih.
Clay mengangguk. Ia mengerti bagaimana frustasinya Sinta setelah diperlakukan seperti itu oleh sepupu brengseknya.
Rumah Sinta tidak jauh dari kantor, Clay mengantarnya hingga depan rumah. Sama seperti Roy, Clay juga melihat Sinta mirip seperti Gera. Polos dan lugu. Andai saja wanita itu Gera, Clay sangat merindukan wanita itu.
"Astaga, itu kan ponselnya Sinta. Aku harus mengembalikannya sekarang. Kelamaan jika menunggu hingga besok." Gerutu Clay.
Ia segera turun dari mobil dan menuju rumah Sinta. Namun langkah Clay mengantarnya terhenti karena mendengar keributan dari dalam rumahnya Sinta. Tidak sopan jika ia masuk begitu saja. Oleh karena itu dia memilih untuk menunggu sebentar.
"Jadi Ibu yang sudah mencampur obat perangsang di dalam kue itu?! Untuk apa, Bu?!" Mendengar teriakan Sinta, Clay memasang telinga menyimak pertengkaran mereka.
Terdengar suara tawa seorang wanita yang mungkin adalah ibunya Sinta. "Ibu memang sengaja mencampurnya dan menyuruhmu untuk memberikannya pada Bosmu. Ibu sudah lama ingin mempunyai menantu kaya raya."
"Sedangkan kau! Kau belum bisa memberikan itu pada Ibu. Makanya Ibu menolongmu dengan cara ini. Bagaimana? Berhasil?" Tanya wanita itu tanpa rasa bersalah. Clay semakin mempertajam pendengarannya.
"Ibu tega! Ibu tega melihatku kehilangan kehormatan demi materi! Ya Tuhan, Bu! Ibu sadarlah, itu dosa, Bu." Pekik Sinta geram. Suara tangisnya pecah hingga mengundang tatapan penasaran dari beberapa tetangganya.
"Jangan banyak bicara! Baguslah jika sudah berhasil. Sebentar lagi rencana Ibu akan berhasil. Semoga saja kau langsung hamil setelah ini." Ujar wanita itu dibarengi tawa bahagianya.
Sinta hanya bisa geleng-geleng kepala melihat bagaimana tingkah buruk Ibunya.
"Permisi..." Clay masuk dengan wajah datarnya.
"Bu Clay..." Lirih Sinta.
"Iya, Sin. Ini ponselmu tertinggal di mobil." Sinta menunduk malu. Pasti Clay sudah mendengar perdebatan mereka, pikir Sinta.
"Dan maaf, Bu. Saya mendengar sedikit perdebatan Ibu dengan putri Ibu." Kata Clay datar. Sinta semakin menunduk malu mendengar pertanyaan Clay untuk Ibunya.
"Kenapa Anda licik sekali? Anda rela mempertaruhkan kesucian anak Anda hanya demi harta dan materi yang Roy punya? Ups, how poor of you!" Ujar Clay dengan wajah sinisnya. Ia menampakkan ekspresi jijik di depan Ibunya Sinta.
"Jangan ikut campur kamu! Kamu siapa berani sekali menyindir saya seperti itu?! Tidak tahu malu!" Bentak Ibunya Sinta.
Clay tersenyum tipis mendengar respon Ibu itu. "Maaf, Bu. Ibu mau tahu saya siapa? Saya saudaranya Bos anak Ibu. Dan sepertinya Ibu salah, Ibu sendiri yang tidak tahu malu. Bukan saya!" Seru Clay sedikit keras.
"Bu, sudahlah. Tidak enak didengar tetangga. Mereka melihat dengan sangat penasaran." Bujuk Sinta lirih. Matanya sudah sembab karena kelelahan menangis.
"Baiklah, Sinta saya pamit pulang ya. Ini ponselmu tertinggal di mobil." Sinta mengangguk berterima kasih.
Baru beberapa langkah akan keluar, Clay berhenti dan berbalik lagi. "Ah, dan satu lagi, Bu. Roy sudah memiliki istri. Jadi tolong jangan diganggu." Peringat Clay lalu beranjak pergi.
Ia merasa ia benar-benar harus memberitahu Roy masalah ini agar tidak ada masalah antara dirinya dan juga sekretaris baru itu.
***
Gera sudah sampai satu jam yang lalu dan sekarang masih rehat di hotel yang ia sewa. Hatinya sangat berat meninggalkan triplets. Sebenarnya mereka sudah terbiasa ditinggalkan oleh Gera untuk rapat atau sekedar bertugas ke luar daerah. Tetapi entah kenapa dirinya sangat tidak tenang sekarang.
"Istirahat, Ge. Besok akan menjadi hari yang berat untukmu. Dan kau juga harus mencari tempat tinggal sesegera mungkin agar triplets dan Luisa bisa menyusul secepatnya ke sini." Gumamnya pada dirinya sendiri.
Pikirannya pun tak lepas dari bayangan Roy. Pria itu memang tidak bisa ia lupakan. Terlebih ada triplets yang benar-benar mirip dengannya. Apalagi Ray, bukan hanya tampang saja yang mirip, sikap dan sifatnya pun persis seperti Roy.
Keesokan paginya....
Gera bersiap untuk pergi ke kantor dengan dress selutut berwarna abu muda yang terlihat sangat pas membungkus tubuhnya. Dipadukan dengan heels setinggi 7 cm terpaut di kaki jenjangnya. Serta polesan make up tipis yang melengkapi penampilan sempurnanya hari ini.
Di depan kantor itu, Gera berdiri seakan kakinya terpaku. Ia masih ingat betul bagaimana dirinya dulu di kantor ini.
"Ayolah, Ge. Kau hanya akan bersikap netral di sini. Rapat penting akan segera dimulai. Aku harus segera masuk."
Dengan penuh percaya diri, Gera melangkah masuk dengan penampilan yang berubah 180 derajat. Ia mengabaikan tatapan penasaran dari mereka yang mungkin masih mengingat jelas wajahnya.
"Selamat datang." Ujar Sinta saat Gera memasuki ruang rapat. Di sana sudah banyak petingi-petinggi kantor termasuk Clay.
Gera duduk dan membuka kacamata hitamnya dengan sangat anggun. "Gera?" Lirih Clay tak percaya. Ia memejamkan matanya lalu membukanya lagi lebar-lebar.
"Hai.." Sapa Gera berbisik melambaikan tangan pada Clay. Tapi mereka tidak bisa meluapkan rindu sekarang. Rapat sudah mau dimulai.
Clay masih menatap Gera tak percaya. Ia melihat sahabatnya itu tanpa kedipan mata. Sudah lama sekali mereka tidak bersua.
"Selamat pagi semua..." Datanglah Roy dengan setelan abu-abunya. Seolah sudah ditakdirkan sama, mereka memakai pakaian dengan warna yang sama.
Jantung Gera berdegup sangat kencang. Pipinya memerah melihat pria yang selama ini diam-diam ia rindukan. Sedangkan Roy masih belum menyadari kalau Gera ada di sana.
Rapat berjalan dipimpin oleh Roy. Ia masih belum menyadari keberadaan Gera. "Kau masih seperti yang dulu. Tidak akan peduli dengan apa yang ada di sekelilingmu. Bahkan keberadaan ku pun tidak kamu sadari, Roy." Batin Gera. Ia hampir menangis tapi tidak boleh sekarang.
"Ada pertanyaan?" Tanya Roy karena ia sudah selesai menjelaskan rencana pembangunan dari proyek yang akan dijalankan.
Gera mengangkat tangan. "Apa sebaiknya pembangunan sebelumnya dirampungkan terlebih dahulu agar tidak mengganggu proyek yang ini?"
"Saya setuju dengan pertanyaan dari Nona Gera." Ujar salah satu rekan rapat.
Mendengar nama Gera disebut, Roy terpaku dan menatap dalam wanita dengan rambut tergerai itu.
"Ge-Gera? Itu k-kau?" Tanya Roy terpaku. Clay hampir saja menangis melihat bagaimana pertemuan tragis ini terjadi.
"Bagaimana, Pak?" Tanya salah seorang rekan. Roy masih terpaku dan tidak menjawab. Matanya masih fokus menatap dalam mata Gera.
Seakan mereka sedang berbincang walau hanya dengan tatapan mata. Beberapa kali Roy dipanggil oleh rekannya, tetapi tetap tidak ada jawaban.
"Pak Roy?" Sepi tidak ada jawaban.
"Roy!" Pria itu terkesiap saat Clay sedikit meneriakinya. Segera Roy mengembalikan keadaan seperti semula dan menyelesaikan rapat ini.
Saat semuanya bubar, Clay langsung berlari dan memeluk Gera. "Aku kira bukan kau!" Pekik Clay dengan air mata yang sudah berurai.
Sementara Roy, ia masih terpaku di tempat menyaksikan bagaimana Geranya yang sekarang. Semakin sempurna dengan penampilannya yang semakin membuat Roy tak bisa berpikir lagi.
"Aku sangat merindukanmu, Clay sayang!" Balas Gera memekik.
"Jangan menangis, aku ada di depanmu sekarang." Kata Gera mengusap air mata Clay.
Air mata Roy lolos setetes demi setetes. "Gera, apa kau melupakanku?" Celetuk Roy bertanya.
Melihat pria yang menangis di depan sana, Gera ingin sekali memeluknya dan menumpah semua kerinduannya selama ini.
Roy berlari menuju Gera dan memeluknya erat. Ia menyingkirkan Clay yang masih memeluk Gera tadi.
"Aku sangat merindukanmu, sayang. Kau kemana saja? Aku gila mencarimu!" Ujar Roy terisak. Gera miris melihat kondisi Roy yang kacau ini.
"Katakan Gera, apa kau sudah melupakanku?" Desak Roy lagi.
"Tentu saja saya tidak lupa pada Anda, Pak!"
0 Comments