Empat tahun kemudian....
Seorang balita kisaran umur 3 tahun berlarian di arena taman bermain. Anak laki-laki itu terlihat sangat ceria bersama seorang perempuan muda yang menemaninya di sana.
"Tante, Rico mau es krim. Boleh?" Tanya anak itu seraya menunjukkan wanita muda itu penjual es krim keliling.
"Of course, cute. Kau boleh membeli sesukamu!" Jawab wanita yang baru saja dipanggil Tante oleh anak yang menyebut dirinya dengan nama Rico tersebut.
Rico girang bukan main hingga meloncat-loncat dan berlari menuju penjual es krim itu. Tak berselang lama, Rico kembali dengan dua es krim di tangannya.
"Es krim vanila untuk Rico. Dan ini untuk Tante, es krim rasa coklat." Wanita itu tersenyum lebar melihat perlakuan Rico padanya.
"Kau sangat cerdas, Rico! Mamamu pasti bangga!" Ujar wanita itu sambil mencubit hidung mancung Rico.
"Dan seharusnya Papa juga akan bangga padaku." Mendengar Rico menyebut kata Papa, wanita itu berpaling. Menampilkan senyum palsu dan beradu akting lagi untuk yang kesekian kalinya.
"Tentu saja Papamu juga bangga! Kau anak yang sangat membanggakan! Kau anak hebat, sayang!" Rico memeluk wanita itu dengan erat. Di balik dekapan hangat Rico, wanita ini meneteskan air matanya.
Tiba-tiba ada dua anak lain yang datang pada wanita itu. "Tante! Es krim kami mana? Rio dan Ray juga ingin es krim." Rengek Ray dengan wajah marahnya.
"Kau benar-benar tak bisa bersaudara, Rico! Bagaimana bisa kau makan tanpa kami?!" Sungut Rio marah. Tangan mungil nan menggemaskan itu menyilang di depan tubuhnya.
Rico hanya menunduk merasa bersalah. "Maafkan Rico, Kak. Kalian entah dimana. Jadi Rico hanya membeli dua dan satunya untuk Tante." Cicit Rico menahan air matanya.
"Sudah. Jangan bertengkar. Kalian anak-anak cerdas. Tidak boleh berdebat. Kalian harus kompak. Tunggu di sini, akan Tante belikan untuk kalian berdua." Ujar wanita muda yang berusaha membujuk dua saudara kembar Rico.
Mereka, Ray, Rio, dan Rio adalah triplets menggemaskan yang sangat cerdas. "Maafkan, Rico." Cicitnya lirih. Ia mengusap air matanya pelan.
"Jangan menangis, Rico. Kami tidak marah padamu. Tenanglah!" Kata Rio sembari mengelus pelan pundak adiknya itu.
Tante mereka datang membawa tiga es krim dengan wajah ceria. Memancing senyuman mereka agar tidak kaku dan membuat mereka bertengkar lagi.
"Coklat untuk Ray. Vanilla untuk Rico. Dan Strawberry untuk Rio!" Ujar wanita itu dengan suara riangnya.
Triplets gembira bukan main. Mereka kembali akur dan saling mencicipi es krim satu sama lain.
"Oke, triplets. Hari sudah sore. Mama kalian sebentar lagi akan pulang. Ayo kembali ke rumah!" Ajak wanita itu. Namun wajah ketiganya malah murung.
"Kenapa wajahnya kusut semua?" Tanya wanita itu lembut.
"Pulangnya cepat sekali." Lirih Rio.
Wanita itu tersenyum sabar menghadapi tiga anak laki-laki ini. "Mama kalian lelah dan pasti ingin melihat kalian sebagai obat. Tante curiga, sepertinya kalian sudah tidak sayang pada Mama kalian." Goda wanita itu. Ia tahu letak kelemahan tiga bocah imut ini.
"Ayo, Rico, Rio, kita pulang!" Ajak Ray dingin. Dia memang sedikit berbeda. Lebih kaku dan pendiam. Tetapi sebagai kakak tertua, dia memang bertanggung jawab dan tegas.
***
"Wah, Tante Luisa sudah mengajak kalian kemana, sayang?" Tanya Mama mereka dengan wajah lelah namun penuh senyuman.
"Aku mengajak mereka ke taman, Ge. Semakin hari mereka semakin menggemaskan. Jika kau mengizinkan, aku ingin memakannya satu persatu." Gemas Luisa.
"Becandamu, Luisa.." Kekeh Gera geli.
Sudah empat tahun berlalu, Gera masih tinggal jauh dari Roy ditemani Luisa. Entahlah, ia tidak pernah tahu menahu perihal kabar pria itu. Pria tidak bertanggung jawab dan sangat egois.
Dua wanita itu memutuskan untuk tidak bergantung lagi pada Nek Rita setelah beberapa bulan tinggal di villa. Mendekati hari bersalin, Luisa mengajak Gera untuk tinggal seadanya agar mereka tidak selalu bergantung pada Rita.
Menjadi seorang single mommy bukanlah hal yang mudah bagi Gera. Sangat banyak ujian yang ia lewati bersama Luisa untuk hidup cukup selama beberapa tahun belakangan. Hingga ia berhasil mendapatkan pekerjaan dengan gaji lumayan tinggi. Dan usaha kerasnya berbuah manis. Sekarang ia menjadi manager di sebuah perusahaan properti yang cukup besar di daerahnya.
"Anak-anak, ayo turun dan makan malam!" Seru Gera dari pintu kamar anak-anaknya.
"Wait, Mama. Kami akan turun beberapa menit lagi." Teriak Rico dengan suara lantangnya.
"No! Mama bilang sekarang! Kalian harus makan tepat waktu. Jika tidak, Mama tidak akan memberi kalian izin untuk membeli es krim lagi." Ancam Gera sengaja.
Suara deru langkah kaki yang berlari dari kamar itu menandakan kalau ia berhasil mengancam anak-anaknya. Ia tersenyum tipis melihat tingkah lucu anak-anaknya.
"Ayo, Mama!" Tiga balita ini memang menggemaskan.
Pikiran Gera melayang setiap kali melihat tiga anak lucu dan tampan itu. Ia teringat akan masa lalunya yang terus terang saja begitu ia rindukan.
Ray yang mengambil sifat dingin dan kaku dari Roy, namun ia sangat tegas dan bertanggung jawab. Sedangkan Rio anak yang netral. Seringkali ia menjadi penengah dan pemikirannya tidak pernah berlebihan. Rico, ia lebih cenderung mewarisi sifat Mamanya. Sensitif tetapi sangat cerdik.
Selama ini ia menjadi wanita kuat akibat masa lalu yang lumayan keras untuknya dan juga Luisa serta anak-anaknya.
***
"Luis, jangan menyembunyikan sesuatu dariku! Ini sudah tahun ke empat aku tetap tidak bisa menemukan Gera. Kau pasti bersekongkol lagi dengan saudaramu itu atau bahkan Nenekku!" Hardik Roy. Luis hanya menggeleng dan menunduk. Pasalnya ia juga tidak mengetahui dimana keberadaan dua wanita itu.
Baik Roy ataupun Luis, mereka berdua sangat khawatir selama bertahun-tahun ini. Bagaimana kondisi mereka? Apakah anaknya selamat atau tidak? Roy sangat ingin mendengar satu saja kabar dari Gera.
"Saya benar-benar tidak tahu menahu, Bos. Murni tidak ada persekongkolan dengan siapapun. Bahkan saya sendiri masih tetap mencari keberadaan mereka sampai saat ini." Bantah Luis.
"Ini semua gara-gara Nenek. Dia yang membuat Gera pergi tanpaku! Aarrrgghh!!" Pekik Roy lalu menggebrak meja kerjanya. Membuat kertas berhamburan kemana-mana.
"Katakan, Luis! Kemana kita harus mencarinya?!" Bentak Roy sembari menjambak rambutnya sendiri. Membuatnya kacau dan tak beraturan.
Empat tahun terakhir adalah tahun-tahun menyakitkan bagi Roy. Luis dan David pun juga begitu. David sendiri selalu menangis dengan kondisinya yang semakin menua dan renta. Memang tidak sakit, tapi batinnya sangat terganggu dengan kehilangan Gera.
"Kasihan Papa juga. Ia sangat sedih dan tak pernah bahagia." Lirih Roy sambil menyeka air matanya.
Selama ini banyak sekali datang godaan untuk Roy. Mulai dari wanita hingga keuangan yang menjanjikan. Namun ia sudah berjanji pada dirinya sendiri terlebih pada Gera, ia akan berubah demi Gera. Dan ia harus membuktikan itu semua.
"Aku akan menemukanmu, Gera! Kau harus kembali padaku, sayang!" Ujar Roy menggeram.
Mata legam itu menandakan bahwa tekadnya begitu sempurna. Bagaimanapun caranya, ia harus menemukan wanita itu.
***
"Luisa, aku ingin membicarakan sesuatu." Ujar Gera saat menghampiri Luisa yang sedang bermain handphone.
"Kau bisa berbicara sepuasmu, Ge. Silahkan saja!" Jawab Luisa dengan senyum hangatnya.
Dari raut wajah Gera, bisa dilihat bahwa dalam diri wanita itu ada masalah. Luisa yang sudah mengenalnya semakin dalam otomatis mengerti akan hal itu.
"Tak apa. Katakan saja. Aku tahu hatimu sedang berat sekarang." Celetuk Luisa membenarkan dugaannya.
"Alvin memilihku untuk mewakili kantor dan bertugas di kantor pusat. Aku sangat bingung harus memutuskan apa, Luisa!" Erang Gera frustasi. Ia memegang kepalanya yang terasa berdenyut karena lelah berpikir.
Alvin. Temannya sekolah dulu, yang waktu itu membuat Roy murka dan menyiksa Gera tanpa ampun. Gera tidak sengaja bertemu dengannya beberapa tahun lalu. Dia yang membantu Gera hingga mencapai posisinya saat ini. Karena kebetulan perusahaan tempat Gera bekerja adalah milik Alvin.
"Itu bagus, Ge. Kita bisa berjelajah dengan senang." Seru Luisa girang.
"Bagus apanya, Luisa?!" Hardik Gera geram.
"Kau bisa mendapat kesempatan besar dalam hidupmu. Ingatlah, Gera. Kesempatan tidak datang dua kali." Tegur Luisa mulai serius.
"Kau memang benar. Tapi,,"
"Apa masalahnya, Gera sayang?" Tekan Luisa geram.
"Dengan kau tinggal di kota, anak-anak akan lebih mudah mengakses pengetahuan yang jauh lebih luas." Ujar Luisa keras. Ia memang yang nomor satu jika menyangkut triplets.
Gera menatap tajam Luisa. Entah apa arti yang menggenang dalam mata yang rapuh itu. "Jika saja bisa semudah yang kau katakan, Luisa. But its not easy for me!" Pekik Gera.
"Kenapa?! Katakan alasanmu menolak masa depan yang lebih cerah karena apa?! Pikirkan anak-anak!" Bantah Luisa tak kalah keras.
Air mata yang ditahan lama kelamaan menetes deras tak mampu menahan lagi.
"Aku harus kerja sama dengan perusahaan Swara, Luisa! Aku harus berurusan dengan Papa dari anak-anakku! Bagaimana aku bisa?!" Pekik Gera. Ia menjambak rambutnya dan meringis menahan tangisnya yang ingin pecah. Dadanya sudah terasa begitu sempit dan sesak.
Mendengar itu, Luisa terdiam. Ia salah karena sudah membentak Gera tanpa tahu masalah yang sebenarnya.
"Bicarakan pada Alvin. Minta dia untuk membantumu mengubah semuanya agar tidak dikirim ke kantor pusat." Cicit Luisa lirih. Ia tak tahu harus apa.
Gera mengangguk-angguk setuju. Ia akan mencoba membujuk Alvin agar membatalkan semua ini dan menggantinya dengan karyawan lain.
"Aku tidak mau bertemu dengan dia walaupun aku sudah muak melakukan drama di depan anak-anak." Gera menyeka air matanya kasar. Ia bertekad dan harus bisa ia lakukan.
"Kau bisa, Ge. Aku di sini selalu bersama kalian. Walaupun sebenarnya aku juga sangat merindukan Luis." Lirih Luisa. Bagaimana pun juga, ia tidak bisa menahan rindunya pada kembaran yang selama ini menjaganya.
"Maafkan aku, Luisa. Ini semua karena keegoisanku. Aku berjanji akan mempertemukanmu dengan Luis suatu hari nanti." Janji Gera sambil memeluk sahabatnya itu erat.
Wanita malang yang kini menjadi seorang Ibu itu tak bisa tidur hingga semalam suntuk. Ia memikirkan bagaimana caranya ia harus memberitahu dan membujuk Alvin. Tapi ia harus melakukan itu.
"Pagi cepat sekali datang." Erang Gera dengan helaan napas panjangnya saat sinar mentari sudah mengintip dari sela korden rumahnya.
Dengan malas ia bersiap dan pergi ke kantor. Ia harus bisa! Demi anak-anak. Entah kenapa ia masih takut akan Roy. Ia takut dendam Roy akan berimbas pada anak-anaknya.
"Permisi.." Gera mengetuk pintu pelan.
"Hai, Ge! Masuklah!" Suruh Alvin yang sedang duduk sembari menelisik setiap kertas yang ada di depannya.
"Ada apa? Tumben sekali kau datang sepagi ini?" Alvin memicingkan mata melihat ke dalam mata Gera yang terlihat begitu sendu.
"Alvin, maaf mengganggumu sepagi ini. Aku ingin berbicara penting." Ucap Gera canggung. Tangannya terasa sedingin es sekarang. Ia sangat gugup.
Alvin semakin menatap Gera bingung. "Katakan saja, Ge! Kau aneh hari ini." Gerutu Alvin dengan kekehan ringannya.
"Hmm, Alvin. Bisakah kau membatalkan surat kepindahan ku dan menggantinya dengan karyawan yang lain?" Tanya Gera sambil menunduk.
Pria yang merupakan teman lamanya ini menatap tajam. "Ge, tidak bisa segampang itu, dong. Semua sudah disiapkan. Tinggal menunggu keberangkatan mu saja. Ini tidak bisa dibatalkan." Jawab Alvin tegas.
Pupus sudah harapan Gera. Ia menunduk sedih. Bagaimana bisa sekarang? Bagaimana ia akan menghadapi orang-orang di sana yang memang sudah mengenalnya? Ini sangat menyulitkan! Bagaimana jika Gera bertemu dengan Roy?
0 Comments