Author: Blacksugar
Bab 35
Terus terang saja, Luis prihatin dengan kondisi Gera yang saat ini mengalami trauma ringan. Ia juga sangat kasihan melihat Tuannya yang terlihat sangat sedih karena kata-kata Gera.
Tatapan Gera beralih menatap Luis. "Luis... Luiss.... Tolong aku! Antar aku pulang. Aku tidak mau disini bersama dia! Dia sudah memukulku, Luis."
Gera ingin bergerak, namun tubuhnya terasa remuk. Terutama di bagian pangkal pahanya. "Awwh!! Hikkss... Sakitt.. Kenapa ini terasa sangat sakit?!"
"Maaf... Maafkan aku, Ge. Aku menyesal." Ujar Roy terbata-bata.
"Ayo Luis bantu aku! Tolong bawa aku pergi dari sini. Aku ingin pulang. Aku takut, Luis. Jika kau tak membawaku pergi, nanti dia akan menyiksaku lagi. Hikss.. Hikss.." Luis merasa iba melihat Gera yang merengek meminta bantuannya. Tapi itu tidak mungkin.
Mendengar penuturan Gera, Roy merasa seakan dirinya hanyalah seorang yang kejam. Psikopat berdarah dingin yang sebengis harimau.
"Boss, saya tahu Boss bisa menenangkannya." Ujar Luis menguatkan Tuannya.
"Pergi kau! Aku tak sudi melihatmu!" Begitu dalam hati Roy terasa tersayat.
Roy kewalahan dan tak tahu harus berbuat apa. Pikirannya benar-benar kacau.
"Luis, bantu aku memegangnya. Aku akan menyuntikkan obat penenang." Hati terdalam Luis menolak untuk menyuntikkan obat penenang untuk Gera. Tapi ia tak bisa menolak. Tidak ada kuasa sedikit pun untuk itu.
Roy segera memeluk Gera seerat mungkin untuk meminimalisir pemberontakan dari Gera. "Luis, ayo cepatlah!" Geram Roy. Sedang Luis masih memilih tempat tepat untuk menyuntikkan obat tersebut. Ia takut akan terjadi kesalahan jika sedikit saja ia teledor.
"Kau jahat, Roy. Kau sangat jahat!" Perlahan tubuh Gera mulai melemah dalam pelukan Roy.
"Luis, kau bisa pergi sekarang." Luis mengangguk patuh. Dengan berat hati ia melangkah keluar.
Saat ini Gera sudah dalam keadaan terlelap. Mungkin efek obat penenang yang langsung bereaksi dalam tubuhnya yang memang sedang lemah.
"Ge, maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf. Aku yang terlalu bengis dan egois. Seharusnya aku mendengar penjelasanmu terlebih dahulu. Bukannya menyiksamu hingga kau trauma seperti ini. Tolong, maafkan aku." Sebulir cairan murni menggelinding dari pelupuk mata Roy.
"Kau wanita pertama yang membuatku meneteskan air mata. Bahkan ibuku sendiri tidak pernah bisa membuatku menangis seperti ini." Roy terkekeh menertawakan keegoisannya. Segera ia hapus jejak bulir murni itu dari pipinya.
Dengan sangat erat Roy memeluk Gera. Seolah tak ingin melepasnya barang sedetik pun. "Entah mengapa aku merasa kau sangat berharga. Melebihi apapun. Aku bersyukur bisa menyadari itu semua sejak awal aku melihat kepolosanmu."
"Aku masih ingat, hari itu kau menangis tersedu-sedu dengan kebaya anggun yang melekat di tubuh indahmu. Sejak saat itu kau menyiksa batinku, Ge. Kau wanita istimewa. Jika aku ingat lelaki yang ingin menyakitimu, rasanya ingin kubunuh hingga tubuhnya hancur lebur." Roy terus saja meracau, menceritakan semuanya pada Gera yang tertidur lelap.
"Aku sangat murka melihat siapa pun yang berani menyentuh bahkan menyakitimu. Tetapi aku tidak sadar, aku sendiri adalah pelaku yang sebenarnya. Aku yang menyakitimu. Aku yang menyiksamu. Kau benar. Aku brengsek, biadab, semua hal buruk ada pada diriku." Air mata itu tak hentinya mengalir membuat saluran di pipi pria tampan itu.
Tak tahu harus berkata apa lagi, Roy memainkan surai indah wanita itu. Menyelipkan ke belakang telinganya. "Jika saja aku sadar dari dulu, bahwa ada wanita seindah dirimu. Tapi sayang, Tuhan baru mempertemukan kita sekarang. Dan tidak dengan cara baik-baik."
"Mungkin aku memang harus mendengarkanmu sesekali." Ujar Roy mengangguk-ngangguk sendiri. Air mata masih menggenang hingga menghasilkan kaca alami.
Roy masih menangis dan menertawakan dirinya sendiri. Memeluk erat tubuh wanita manis itu.
***
"Roy, dimana asisten cantikmu itu? Aku ingin mengajaknya makan malam." Celetuk Devan saat mereka ada pertemuan.
Mendengar itu, Roy menatap tajam Devan. "Sekali lagi kuingatkan kau, jangan berniat menggoda milikku! Gera itu milikku. Dan tak ada yang boleh melakukan apapun padanya selain aku. Termasuk kau!" Geram Roy.
'Kau terlihat yakin sekali, Roy. Kita lihat saja seperti apa kelanjutannya.' Batin Devan menyeringai menatap balik Roy yang kini menusuk matanya dengan tatapan tajam.
"Wow... Tenang dulu, dude! Aku hanya bercanda dengan ucapanku. Mana berani aku menganggu seorang Aroy! Kau sudah tahu itu!" Devan tertawa garing berniat mencairkan suasana.
'Belum saatnya kita berdebat, Tuan Aroy!' Batin Devan lagi.
Mereka melanjutkan meeting dan tentu saja Roy menganggap gurauan Devan tadi benar-benar hanya sebuah candaan.
Pekerjaan yang menumpuk tidak membuat Roy melupakan masalah besar yang terjadi padanya dan Gera. Rasa bersalah masih melingkupi otaknya.
"Gera.... Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku? Brengsek kau, Roy!" Roy membanting keras berkas yang berserakan di depannya. Melempar apa saja yang ada dalam jangkauannya.
***
Gera sangat marah saat mengetahui dirinya masih berada di rumah Roy. Ia murka dan hampir saja mengamuk disana. Jika saja tidak memikirkan dan menghormati Ros, ia sudah lakukan itu.
"Luis, aku benar-benar muak disini. Apa kau tak mau berbaik hati melepaskan aku dari Boss mu?" Tanya Gera kesal.
Tentu saja Luis menggeleng. "Tentu tidak bisa, Nona Gera yang terhormat. Kau harus disini dan tetap disini."
"Aarrghhh! Menyebalkan! Shit! I'm bored here!" Luis menertawakan kekonyolan Gera yang beteriak kesal.
Gera memikirkan berbagai cara agar bisa keluar dari kungkungan tembok mewah ini. Tapi bagaimana?
"Hm, Luis, aku percaya padamu. Tolong, izinkan aku keluar. Hanya dari kamar ini. Aku janji tidak akan keluar dari gerbang rumah ini. Janji." Gera tersenyum berniat membujuk Luis.
Luis nampak berpikir. "Bisa saja."
"Yes! Aku tahu kau memang teman yang baik." Ujar Gera girang. Tubuhnya sudah mulai membaik dengan cepat.
"Tapi... Kau sendiri yang berbicara pada Roy. Aku tidak mau mengambil resiko besar!" Ujar Luis membuat tawa Gera patah. Bibir manis itu manyun membuatnya semakin terlihat menggemaskan.
"Tidak jadi. Membayankan dirinya saja malas, apalagi berbicara atau bertemu dengannya. Aku benci itu." Ujar Gera dingin. Ia menolak keras apa yang Luis katakan.
"But wait, kulihat saat melihat Roy kau berteriak histeris. Tetapi sekarang, saat bersamaku, kau biasa saja. Trauma macam apa itu?!" Luis mulai menginterogasi Gera.
Gera terdiam mendengar pertanyaan Luis. "Kau tahu, Luis? Ketika aku melihatnya, aku seperti melihat setan. Menyeramkan. Dan aku takut akan hal itu. Entah kenapa, sejak dia menyakitiku kemarin, aku merasa takut padanya. Semua sangat menyakitkan, Luis."
"Tubuhku terasa hancur. Sangat sakit." Tambah Gera. Ia menghela napas berat. Masih merasakan sakit yang teramat sangat terutama pada bagian kemaluannya.
Luis mengangguk mencoba mengerti keadaan Gera. "Aku sangat kasihan melihatmu. Apalagi ketika aku masuk dan melihat tubuhmu sudah terbujur di lantai dingin itu. Itu menyakitiku, Ge."
"Cih! Kau kasihan, kau tersakiti melihatku seperti itu. Lalu bagaimana bisa kau bertanya trauma macam apa itu? Teman macam apa kau?! Sialan!" Tutur Gera malas.
"Wahhh.. Temanku ini sudah bisa berbicara kasar sekarang. Kau tertular Roy!" Luis menunjuk-nunjuk Gera.
"Ini sudah lama, Luis. Hanya saja kau baru tahu dan baru saja mendengarnya. Dasar!"
Luis sangat senang dengan keceriaan Gera. Ini perlu ia laporkan pada Roy. Memberi masukan. Apa yang harus Bossnya itu lakukan.
"Ge, apa sebaiknya kau berbaikan dengan Roy? " Dengan hati-hati Luis mencoba menyampaikan pendapatnya.
"Solusi darimu sangat tidak masuk akal, Luis!" Seru Gera jengah.
"Kenapa? Apa alasanmu menjadi seperti ini. Walaupun aku baru mengenalmu, aku tahu sifatmu yang sebenarnya. Dan ini bukan kau!" Luis menimpali dengan nada sedikit keras.
"Biasa saja. Jangan pakai nafsu! Aku bisa mendengarmu." Ujar Gera dingin.
"Ahhh! Kau menyebalkan, Ge! Aku berbicara serius." Kata Luis lagi.
Nafas kasar keluar dari mulut Gera sembari ia menatap malas Luis. "Kau bisa lihat apa yang sudah dia lakukan padaku, Luis! Jangan pura-pura buta hanya untuk kepuasan Tuanmu!"
"No, Gera. Kau mau tahu suatu kenyataan? Kenyataan yang aku dengar sendiri dari Roy. Kebenaran saat kau pingsan berjam-jam waktu itu."
Karena pada hakikatnya Gera adalah orang yang gampang penasaran, kata-kata Luis mengundang rasa penasarannya. Wajahnya sarat akan mimik ingin tahu.
"Kau mau aku melanjutkannya?" Tanya Luis dan Gera mengangguk antusias.
"Hari itu, ketika kamu pingsan, dia menangis tersedu-sedu. Aku mengetahuinya karena saat itu aku berada di depan kamarmu. Otomatis bisa mendengar semua pembicaraannya."
"Dia benar-benar mencintaimu, Ge. Aku jamin itu seribu persen." Ujar Luis.
"No, Luis! Dia hanya memanfaatkanku saja. Kau bisa lihat, esok ketika dia sudah menemukan seorang wanita, dia pasti akan membuangku." Tolak Gera sembari memutar bola matanya malas.
Luis menghela napas panjang melihat respon Gera yang memang sangat sulit mempercayai orang lain.
"Aku malas sekali menceritakan kebenaran kepada orang sepertimu, Ge. Itu hanya akan berujung menyebalkan!" Luis melangkah pergi. Jengah dengan Gera yang tidak juga mau mendengar masukan darinya.
Gera terkekeh melihat Luis yang mengehentak-hentakkan kakinya kasar. "Woy! Kau persis seperti wanita. Dasar!" Teriak Gera.
"Kau tak mendengar masukan dariku. Dasar keras kepala! Aku malas berbicara denganmu!" Balas Luis tak kalah keras.
Setelah Luis keluar, Gera termenung memikirkan apa yang Luis katakan tentang Roy.
"Luis benar. Jika aku terus saja melawan Roy, besar kemungkinan dia akan semakin mengurungku seperti seekor binatang. Kali saja, jika aku sedikit lebih lunak, dia bisa melepaskanku. Baiklah, akan kucoba nanti. Aku harus berani menghadapinya dan mengalahkan traumaku."
***
Roy tidak langsung pulang ke rumah sore ini. Ia stress, dan merasa harus menenangkan diri. Club miliknya adalah tujuan terakhir.
"Siapkan beberapa minuman untukku. Antar ke ruanganku, dan jangan ulangi kesalahan kalian sebelumnya!" Perintah Roy lalu berlalu tanpa menunggu respon dari bartender dan karyawan yang lain.
Roy terus saja memikirkan cara untuk melunakkan hati Gera. Ia sangat bingung jika sudah seperti ini. "Aaarrgghhh!!"
"Gera... Kau benar-benar keterlaluan! Dan aku sangat bodoh bisa menyakitimu tanpa berpikir terlebih dahulu. Brengsek!"
Praaannnggg!!
Bab 36
Dengan keras Roy melemparkan botol minuman keras yang sudah kosong ke sembarang arah.
"Aku harus bagaimana, Ge?! Kau membuatku gila!" Teriak Roy. Ia kehilangan akal setiap kali mengingat Gera yang menolaknya keras.
"Aku sangat menyesali apa yang telah aku lakukan padamu!" Teriaknya lagi. Ia menjelaskan seolah ada Gera di depannya.
Brakkkk....!!
Dengan kasar ia menggebrak meja dan berteriak sekencang-kencangnya. Tak akan ada yang mendengarnya, sebab disana sangat bising hingga membuat suaranya tertelan dentuman musik.
***
Sudah berjam-jam Gera menunggu kepulangan Roy, namun yang ditunggu belum juga pulang. Membuat Gera merasa sedikit resah.
"Roy, kau dimana? Astaga!" Gera menghentak-hentakkan kaki pincangnya kesal.
Menunggu membuatnya merasa sangat bosan dan jengah, namun di menit berikutnya, ia melihat Luis begitu terburu-buru.
"Gera?! Bagaimana kau bisa keluar?! Aku sudah melarangmu, bukan?!" Tanya Luis dengan terburu-buru.
"Nanti aku jelaskan. Sekarang kau mau kemana? Buru-buru sekali." Ujar Gera.
"Aku mau menjemput Roy. Dia sangat mabuk di club hingga pingsan. Dan aku yakin ini semua karenamu!" Tunjuk Luis membuat Gera terperanjat kaget.
"Boleh aku ikut?" Entah ide darimana, Gera ingin ikut mencari Roy. Dan masih dengan idenya untuk mencoba bersikap lebih friendly dengan Roy.
Luis menghentikan langkahnya dan menatap tajam Gera. "Apa kau bercanda, Gera?! Boss bisa membunuhku jika melihat kau ikut kesana! Kau gila!"
"Luis, aku ingin bersikap baik padanya. Dan aku akan memulainya sekarang. Aku sudah lelah menunggunya sejak tadi." Wanita manis itu terus saja merengek meminta ikut bersama Luis.
"Dan itu tidak mungkin! Aku tak akan membiarkannya. Aku tak mau mengambil resiko besar, Gera. Kau tahu itu!"
"Kau...! Isshh,, kau menyebalkan Luis! Shit!" Jerit Gera seperti anak kecil.
Luis tersenyum mengejek. "Terserah apa katamu, Gera! Yang pasti, kau bisa merawatnya nanti setelah dia di rumah. Baru kau bisa memulai akting menyebalkanmu itu!"
Luis berlari meninggalkan Gera membuat wanita manis itu merengek dan menjerit kesal.
Gera tak tahu harus melakukan apa untuk menunggu Roy pulang.
"Baiklah. Sepertinya aku harus mencari Bibi Ros untuk menanyakan makanan apa yang bisa meredakan efek mabuk. Good idea, Gera!" Ia sangat heboh dan berlari mencari Ros ke kamarnya.
Tokk.... Tok.... Tok....
"Bibi Ros..! Bibi Ros..!" Sambil menggedor pintu kamar Ros Gera berteriak.
Tidak perlu menunggu lama, pintu kamar itu terbuka dan menampilkan Ros yang keluar dengan daster tidurnya.
"Ada apa, Gera? Ini sudah tengah malam dan kau belum tidur? Astaga, nak. Jangan biasakan seperti itu! Kau bisa sakit." Ros menasehatinya seperti seorang ibu. Hal itu membuat hati Gera menghangat.
"Hmm, Bibi, maaf aku membangunkanmu
Tidurmu jadi terganggu karenaku. Tapi aku membutuhkanmu saat ini." Ujar Gera dengan wajah memelas.
Ros menggandeng pundak Gera lembut. "Cepat katakan! Apa yang kau butuhkan, sayang?"
"Maaf, Bibi. Aku harus belajar sesuatu selarut ini. Aku yakin kau pasti tahu apa yang Roy butuhkan jika sedang dalam keadaan mabuk. Aku akan membuatkannya sekarang. Kata Luis, Roy sedang mabuk berat di club." Tutur Gera.
Ros tersenyum mendengar itu. "Ayo, Bibi ajarkan langsung di dapur. Setelah itu, kau bisa memberikannya untuk Roy. Ahh, kau manis sekali, sayang!" Ros mencubit gemas pipi Gera.
Gera tersenyum malu mendapati perlakuan Ros padanya. Ia jadi teringat akan mendiang Mamanya.
"Luis! Gera dimana? Aku ingin menemuinya. Kau tahu buka, aku sangat merindukannya. Sudah sangat lama aku ingin memeluknya dan memohon ampun darinya." Racau Roy.
Gera tersentak mendengar suara Roy. Roy sedang mencarinya. Ia harus kesana dan membawakan minuman yang sudah ia buat tadi bersama Ros.
"Gera... Kau dimana, sayang? Kemarilah!" Roy terus saja meracau tak jelas memanggil-manggil Gera.
"Gera...."
"Gera...!!"
Terus terang saja, Gera jengah mendengar Roy memanggilnya terus menerus. Ia benci. Tetapi ia harus fokus dan keukeh jika ingin segera terbebas.
"Aku disini, Roy! Kenapa kau susah-susah mencariku padahal kau tahu aku ada di rumahmu dan tidak akan kemana-mana." Gera berusaha agar suaranya dibuat selembut mungkin.
Roy tersentak mendengar suara Gera. Ia melihat ke segala arah mencari keberadaan Gera. "Gera..! Ini aku, Roy."
"Iya, Roy. Aku tahu dan sangat tahu itu kau!" Judes secara lembut. Sangat lembut malah.
Roy tersenyum lebar. 'Damn! Pria menyebalkan itu sangat menawan jika tersenyum.' Gera membatin.
Sahutan Gera disambut heboh oleh Roy. Ketika melihat dimana Gera, Roy segera menghamburkan diri ke pelukan Gera. Dengan sangat-sangat erat Roy memeluk Gera. Seolah mereka tak bersua bertahun-tahun lamanya.
"R-roy.. Kau mencekikku! Aku tak bisa bernapas. Lepaskan!" Kata Gera lirih. Napasnya benar-benar tercekat.
"Luis, bantu aku! Cepatlah!" Gera melambaikan tangannya ke arah Luis. Namun jahilnya Luis, ia hanya tertawa melihat Gera sembari menjulurkan lidahnya.
"Awas kau, Luis! Kau mau melihatku mati?!" Jerit Gera tertahan
Luis mengangguk-ngangguk. "Oke. Sabarlah!" Ujar Luis sambil terkekeh gemas.
Segera Luis menghampiri Gera dan membantunya melepas tangan Roy. "Boss, tolong lepaskan Nona Gera. Ia kesulitan bernapas jika Anda terus memeluknya terlalu erat."
Roy menampik kasar tangan Luis. "Jangan menyentuhnya, sialan!" Bentaknya pada Luis.
"Maaf, Boss. Saya yakin Anda masih ingin Nona Gera hidup. Boss, Anda memeluknya terlalu erat." Tegur Luis sekali lagi.
Mengerti ucapan Luis, Roy langsung melepas pelukannya pada Gera dan nyengir kuda. Gera bernapas lega.
"Ayo masuk kamar. Aku akan mengobatimu." Gera segera memapah Roy. Luis hanya tertawa mengejeknya.
Segera Gera membawanya ke dalam kamar. "Ini. Minumlah! Agar besok tubuhmu tidak linglung." Ujar Gera seraya menyodorkan gelas berisi minuman rerempahan itu.
"Lain kali jangan mabuk-mabukan. Aku menunggumu di rumah." Tambah Gera datar.
Bukannya menyahut, Roy hanya cengar-cengir tidak jelas karena masih dalam kondisi mabuk.
Dalam sekali teguk, minuman dalam gelas itu sudah bersih. "Astaga! Itu masih panas. Lidahmu bisa terbakar jika minum seperti itu." Ujar Gera panik.
"Tak terasa, sayang. Semuanya hambar, kecuali kau." Racaunya sembari tersenyum lebar.
Buugghhh....
"Sempat-sempatnya kau gombal!" Dengan keras Gera menimpuk kepala Roy dengan bantal.
Selesai memberi Roy minuman rempah, Gera berniat untuk pergi dan kembali ke kamarnya.
"Wait! Temani aku. Aku ingin berbicara kepadamu." Roy menahan tangan Gera agar tidak pergi.
"Berbicaralah padaku saat kau sadar, Tuan! Jangan sekarang." Jawab Gera datar.
Namun Roy tak mau melepas tangan Gera. Bahkan ia menariknya hingga Gera terbaring di samping Roy.
"Tetaplah disini. Kau tahu, aku sangat merindukanmu." Gera tersipu malu mendengar penuturan Roy. Ia merasa tubuhnya terkunci saat ini. Ingin memberontak, tapi tak bisa.
Canggung. Itu yang terjadi di antara mereka. Gera terdiam mendengar racauan demi racauan Roy.
Tangan nakal itu mulai bergerilya kemana-mana. "Euunngghhh.." Gera melenguh saat Roy meremas gunung kembar itu pelan.
"Jangan, Roy!" Bantah Gera. Ia masih takut. Pasalnya, jika sudah seperti ini, Roy akan meminta lebih. Terlebih dia juga bermain dengan buas. Membayangkannya saja membuat Gera bergidik ngeri.
"Aku ingin, Gera. Kenapa kau menolaknya?" Tanya Roy. Terdengar sarat dengan kekecewaan.
"Apa kau lupa, kau yang membuat organ intimku terluka! Belum saja tiga hari, sudah mau kau siksa lagi." Gerutu Gera kesal.
Walaupun dalam keadaan mabuk, Roy tersentak seakan sadar. "Maafkan aku, Gera. Aku sudah sangat keterlaluan padamu." Cicit Roy lembut.
Gera sedikit luluh dengan kata-kata Roy. "Aku benar-benar menyesal akan hal itu." Tambah Roy.
"Sudahlah. Lupakan saja. Aku sudah memaafkanmu." Timpal Gera.
Roy tersenyum mendapati Gera yang sudah membuka diri lagi untuknya. Ia benar-benar bingung jika harus seperti kemarin lagi. Itu sangat menyakitinya.
0 Comments