-Selalu Ada Hal Baik di Dalam Ketidak Baikan- Belakangan ini, di sela-sela padatnya aktifitas yang cukup menguras tenaga dan pikiran, aku merenungkan banyak hal. Mulai dari nanti masak apa untuk makan malam, besok harus bangun pagi karena rutinitas menunggu, hingga permasalah negara yang tak pernah ada habisnya karena korupsi di mana-mana dan ketimpangan sosial yang jaraknya makin terlihat antara si kaya dan si miskin.
Kalau dipikir-pikir, semua pikiran itu memang tidak terlalu penting. Toh, hanya dengan memikirkannya saja, semua permasalahan atau hal-hal yang dianggap masalah tak lantas hilang begitu saja, kan? Namun, ketika berpikir itulah ada sekelebat pertanyaan mampir di otakku yang secuil ini. "Benarkah keberadaan Covid-19 merugikan masyarakat? Benarkan sama sekali tidak ada kebaikan di dalamnya?"
Dari pertanyaan yang tiba-tiba muncul itulah aku berusaha mencari jawabannya. Berpikir, melihat keadaan sekitar maupun media sosial. Hingga akhirnya, aku menarik sebuah kesimpulan berdasarkan penilaian pribadiku sendiri.
Covid-19 mampu mempererat kekeluargaan.
Di antara Teman Cantik, adakah yang satu pemikiran denganku? Yaitu, sejak Covid-19 menyebar, kekeluargaan semakin erat. Semakin banyak memiliki waktu untuk bersama dan berbincang-bincang.
Belum hilang diingatan ketika pemerintah melakukan lock down untuk pertama kalinya. Tak hanya sekolah yang harus dilakukan secara daring, begitu pun soal pekerjaan. Meski satu keluarga tetap melakukan aktifitas bekerja dan sekolah, namun ada hal lain yang berbeda. Satu keluarga ada di rumah dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama lebih dari biasanya.
Jika biasanya, pukul tujuh pagi seisi rumah sudah kosong karena harus berangkat kerja dan sekolah, maka ketika covid, keluarga melakukan sarapan bersama dan mengobrol sebelum melakukan pekerjaan secara daring. Begitu pun untuk makan siang. Yang biasanya hanya makan siang di tempat kerja dan sekolah, sejak lock down, maka setiap hari bisa makan bersama.
Mungkin, tak banyak yang sadar akan hal ini. Bahwa, kita para orangtua yang biasanya bertemu anak hanya di waktu sore atau bahkan malam hari, sekarang kita bisa menghabiskan banyak waktu dengan anak-anak. Nonton televisi, bermain, bahkan belajar. Bukankah hal-hal semacam itu jarang terjadi? Apalagi jika suami dan istri sama-sama bekerja yang bahkan, di akhir pekan pun justru sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seolah tak ada habisnya dan menguras tenaga.
Lebih berpikir untuk produktif.
Di waktu sebelum pandemi, kita hanya disibukkan dengan rutinitas pekerjaan yang itu-itu saja. Walaupun memiliki pikiran untuk membuka usaha, misalnya. Namun, hal itu terhenti hanya sebatas keinginan saja karena menganggap bahwa gaji yang didapat setiap bulannya masih cukup untuk memenuhi kebutuhan. Belum lagi jika memulai usaha atau bahkan mencari pekerjaan sampingan, makan akan membutuhkan materi, waktu, dan juga tenaga yang tidak sedikit.
Nah, ketika pandemi mulai muncul di Indonesia dan memberikan efek yang luar biasa di masyarakat, tak sedikit dari kita yang kena PHK atau hanya mendapatkan separo gaji. Karena hal semacam inilah otak kita dipaksa berpikir bagaimana caranya agar kebutuhan rumah tangga tercukupi.
Ibu-ibu yang tadinya mengurusi rumah tangga karena merasa gaji suami cukup, dipaksa harus berpikir bagaimana caranya agar mendapatkan uang tambahan karena suami kehilangan pekerjaan? Muncullah berbagai macam ide. Mulai dari jualan makanan secara online, berkebun, atau bahkan mencari freelance yang bisa dikerjakan secara online. Hal-hal semacam ini dilakukan bukan tanpa pemikiran takut akan risiko. Tapi, karena keadaan memaksa, ya nekat saja. Selain itu, biasanya manusia akan lebih berani jika sudah kepepet. Iya, kan?
Dari hal-hal semacam di ataslah pelan-pelan aku mulai mensyukuri apa yang ada. Melihat musibah pandemi ini dari perspektif yang berbeda. Bahwa, selalu ada hal baik didalam ketidak baikan. Karena, bagaimanapun juga semua hal yang ada di dunia ini terjadi atas kehendak Tuhan. (*)
0 Comments