Pukul 14.00 WIB.
Bunyi mesin jahit portable memenuhi ruang. Sinar menekuni pekerjaannya menjahit pesanan baju gamis yang dipesan oleh pelanggannya yang memesan via-WhatsApp beberapa hari yang lalu. Dia memasarkan jasanya lewat media sosial dan banyak yang tertarik dengan hasil jahitannya dan tidak jarang dari mereka merekomendasikan nya pada kerabat, sahabat atau tetangga mereka.
Dia bersyukur keahliannya dalam menjahit semasa masih tinggal bersama ibunya yang juga seorang penjahit.
Dia sudah melokoni pekerjaan ini selama tahun lamanya, setelah dia di usir dari rumah karena keserakahan sang istri muda yang ingin menguasai suami mereka untuk dirinya dan dua bulan setelahnya giliran si ibu mertua yang menjadi ketamakan sang menantu yang memfitnah ibu mertuanya mencuri perhiasannya dengan mengatur skema jahat hingga Faruq sampai hati mengusir ibu kandungnya sendiri demi menenangkan madunya yang mengancam untuk pergi kalau si ibu mertua masih tinggal di rumahnya.
Untung ibu mertuanya tahu tempat tinggalnya dan dialah satu-satunya tempat yang dia tuju dan dia senang karena hidup di Jakarta yang berat ini dia memiliki ibu mertuanya yang menyayanginya bak anak sendiri.
Orangtuanya tinggal di Padang dan dia mengadu nasib ke Jakarta untuk kuliah dan mencari penghidupan sendiri dengan menjadi pelayan toko yang hanya buka hingga pukul enam petang, jadi dia bisa mengambil kuliah malam untuk mengenyam pendidikan ke jenjang universitas. Di sanalah dia bertumu dengan Faruq yang sama-sama mengambil kuliah malah karena pekerjaannya sebagai karyawan administrasi perusahaan jasa.
"Sudah berhenti dulu," tegur ibu mertuanya lembut menaruh teh dengan dengan tatakan gelas putih di meja putih yang dia peruntukan untuk menaruh mesin jahitnya. Ada beberapa laci yang tersusun rapi di bawah meja sebelah kanan kaki Sinar.
Sinar menggunting obrasan terkahir di bagian lengan. Dia mengulas senyum sambil berucap, "Iya, Bu." Meletakkan gamis itu di meja. "Suadh berapa kali Sinar bilang kalau Ibu tidak perlu repot-repot menyeduh teh," keluhnya pelan. "Sinar bisa menyeduhnya sendiri."
"Tidak apa-apa, Nak," timpal ibu Mertuanya hangat. Tangannya mengusap bahu menantu yang sudah banyak menderita akibat ulah anaknya. Suaminya telah meninggal dua puluh tahun lalu dan dia hanya memiliki Faruq tanpa sanak saudara di Jakarta ini. Setelah anaknya sendiri dengan tega mengusirnya karena fitnah menantunya yang lain yang memang sudah tidak menyukainya sedari awal Amara memasuki rumah yang dibangun dari hasil kerja keras anaknya. "Lagipula menyeduh teh bukan pekerjaan berat. Semua pekerjaan hampir rumah hampir kau semua yang mengerjakan aku hanya kebagian memasak saja, padahal aku masih sanggup untuk mencuci pakaian."
"Aku tidak mau ibu capek," sergahnya.
"Badanku malah tidak enak kalau kebanyakan diam."
"Aku malah lebih senang kalau ibu tidak banyak bekerja, aku tidak mau ibu kelelahan lalu jatuh sakit karena terlalu lelah membantuku."
Ibu Hartati menanggapi dengan tatapan ibuan. Dia beruntung memiliki menantu yang peduli dan sangat menjaga perasaannya. Sinar memberi tempat untuk berteduh, sementara anaknya malah mengusirnya. Walau sejak dua bulan yang lalu Faruq sudah berubah dan berupaya untuk merebut hati Sinar yang sudah hancur lebur karena penghianatan Faruq dua tahun yang lalu yang lebih menyakitkan lagi Faruq malah menikahinya tanpa izin darinya atau dari Sinar sendiri. Nafsunya untuk memiliki istri cantik dan di tambah lulusan dari luar negeri dengan gelar MBA membuat Faruq gelap mata dan melupakan istrinya yang menurut Faruq tidak bisa disetarakan dengan Amara. Sinar hanya lulusan S1 lulusan universitas dalam negeri. Wajah Sinar juga tidak secantik Amara, tapi Sinar memiliki kecantikan lain yang tidak tidak dipunyai Amara, yaitu inner beauty yang terpancar dalam dirinya. Tutur katanya yang halus dan sabar menghadapi sikap Faruq yang tidak adil dalam pembagian uang bulanan dan juga perhatian dihadapi Sinar dengan lapang dada. Tapi kesabarannya terkikis jua, ketika Faruq kembali mendekati Sinar dan membujuknya untuk kembali ke rumah, Sinar dengan muka dingin dan tegas menolak dan meminta Faruq untuk menceraikannya. Namun Faruq menolak dan berlutut untuk memohon maaf pada Sinar atas segala kekhilafan nya. Ibu Hartati juga tidak ingin pindah dari kontrakan kecil ini, karena dia tidak ingin meninggalkan Sinar dan lebih memilih tinggal bersama menantu yang bukan hanya menyayanginya tapi juga menghargainya.
Dia memang sudah memaafkan anaknya tapi dia tidak bisa meninggalkan Sinar dan ikut tinggal dengan anaknya yang pernah mengecewakan. Apalagi Faruq baru mendatangi Sinar dan dirinya ketika Amara meninggal dua setengah bulan yang lalu karena kanker yang menggogotinya hingga dia harus kehilangan anak mereka yang masih dalam kandungan ketika Amara harus mengonsumsi dan berbagai metode pengobatan yang menjadi salah satu penyebab keguguran yang Amara alami. Lalu, apakah masih ada tempat untuk putranya untuk kembali? Entahlah, sebab dia sudah menyerahkan keputusan di tangan menantunya --Sinar. Ibu Hartati meneruskan, "Kau seperti anak kandungku sendiri meski kau tidak terlahir dari rahimku."
Sinar mengenggam kedua tangan ibu mertuanya yang masih berdiri di depannya. Sementara dia sendiri duduk di bangku plastik putih. "Ibu itu ibuku," ujarnya lembut dengan nada kasih yang menghangatkan relung hati sang ibu mertua. "Ibu itu ibu mas Faruq, jadi ibu sudah menjadi ibuku sendiri. Jadi jangan menganggap aku berbeda dengan mas Faruq."
Ketukan pintu mengalihkan perhatian. Dari jarak tiga meter mereka bisa melihat pintu. "Ibu yang akan bukakan." Ibu Hartati kemudian menghampiri pintu dan seorang pria dengan satu kantung belanjaan besar membuat mood Sinar anjlok seketika ketika pintu itu dibuka oleh mertuanya. "Ibu aku ke dapur dulu ingin membuat minuman," kata datar pada ibu mertuanya yang ada di depan pintu. Lalu beranjak pergi ke dapur dan memunculkan kekecewaan dalam diri Faruq. Memudarkan senyum yang sempat sumringah ketika ibunya membuka pintu. Faruq tahu kalau sikapnya pada Sinar sudah melewati batas, tapi dia tidak akan menyerah sebab teguran Tuhan dengan mengambil Amara dan calon anak mereka membuatnya sadar akan kesalahan yang telah dia perbuat pada ibu juga istrinya. Dia menaikan plastik besar itu ke atas. "Aku membeli beberapa keperluan dapur."
Ibu Hartati berkomentar dengan helaan, "Seharusnya kau tidak perlu repot, kami masih memiliki stok di dapur."
"Tidak apa-apa. Ini bisa menambah stok di dapur. Aku akan membawanya ke dapur."
"Ibu mau ke rumah tetangga dulu. Ada yang mau ibu bicarakan. Kau tidak apa-apa kan ibu tinggal sebentar?" Ibu Hartati harus pergi sebentar untuk memberi waktu bagi anak dan menantunya berbicara berdua. Siapa tahu dengan berbicara dari hati ke hati Sinar bisa memaafkan anaknya.
"Oke, aku akan menemani menantu kesayangan ibu."
Ibu Hartati tersenyum lalu pergi dan menutup pintu. Faruq menyusul Sinar yang tengah menyeduh kopi di gelas belimbing bening. "Aku taruh di mana ini?"
Sinar mengaduk kopi Sachetan itu dengan menunduk. "Taruh di mana saja," katanya tak peduli. Faruq mempatkannya di atas meja dapur. Plastik putih berisi minyak goreng, gula, teh, nuggets dan keperluan kamar mandi. Lalu menarik amplop putih berisi uang empat juta itu dari kantung celananya dan mengangsurkannya ke Sinar yang masih mengaduk-ngaduk kopinya meski dia yakin itu sudah termasuk sempurna. "Ini untukmu dan ibu."
"Aku masih memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan kami." Sinar melempar pelan sendok ke meja menciptakan dentingan kecil. Melewati Faruq begitu saja. Dia masih belum mampu mengobati luka yang suaminya tusukan ke hatinya. Dia tidak pernah membelanya saat dia beradu mulut dengan Amara dulu, dia juga bersikap biasa-biasa saja saat dia demam dan malah pergi makan malam dengan istri barunya. Dia tidak pernah menengok keadaan hatinya yang buka hanya remuk tapi juga hancur terserak dan tak sulit dia satukan kembali. Sekarang apa pantas lelaki itu kembali dia saat dia sudah terlalu sulit untuk memaafkan. Dia dulu berjanji akan selalu menjaganya, tapi setelah empat tahun pernikahan janji itu terbang menghilang entah ke mana dan hanya luka ada air mata. Faruq menarik lengan Sinar cepat memutar setengah badannya. "Ini hakmu dan ibu." Menempatkan amplop itu dia telapak tangan istrinya. "Terserah kau mau menggunakan nya untuk apa."
Sinar mencabut lengannya dan membuang amplop itu ke meja. "Aku tidak butuh. Sekalipun aku masih istrimu aku tidak mau menerima apapun darimu," serangnya mendesis. "Cukup bagiku empat tahun terakhir pernikahan kita kau menghadiahi ku berupa rasa sakit dan luka yang sampai saat ini belum juga mengering. Jadi sudahi saja usahamu untuk membawaku kembali, karena aku tidak lagi mau menjadikanmu imam dalam rumah tangga kita."
"Aku minta maaf atas kesalahanku selama ini," kata Faruq lirih. " Tapi aku mohon beri aku satu kesempatan. Biar kita mulai dari awal lagi dan melupakan semua yang terjadi. Aku janji aku tidak akan menyakitimu lagi."
"Kesempatan itu masih ada sebelum kau mengusirku dulu, tapi tidak untuk saat ini," tandasnya tajam. "Dan untuk kesekian kalinya aku minta ceraikan aku."
"Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi. Aku sangat mencintaimu."
Omong kosong!
"Dulu kau juga mengatakan hal sama tapi tiga tahun setelah pernikahan kita kau berselingkuh hanya karena aku belum juga mengandung. Kau membenarkan persengkuhanmu karena kekurangan ku yang belum memberimu keturunan."
"Aku salah." Dia meraih kedua tangan Sinar. "Aku merasa terlalu hampa tanpa anak di saat teman-teman ku sudah memiliki satu sampai dua anak."
Sinar menarik tangannya kasar. "Kalau begitu kau bisa mencari wanita lain yang bisa menghasilkan anak yang kau dambakan."
"Tidak, tidak. Aku tidak butuh yang lain aku hanya butuh dirimu. Aku tidak peduli pada anak lagi, aku hanya inginkan dirimu."
Sinar bergegas pergi. "Arrgh," ringisan dari arah belakang membuatnya lekas berbalik. Faruq menekan pisau tajam berkilat putih ke telapak tangannya. Darah menetes ke lantai. Sinar tercengang. Berlari mengambil pisau dan melemparkan ke lantai. "Kau gila!" Marahnya disisipi kecemasan dan ketakutan.
"Aku bisa melakukan hal yang lebih gila lagi kalau kau tidak mau kembali," katanya sendu menahan sakit, nyeri dan perih yang menyengat. Sinar membawa Faruq ke ruang tamu. Mengambil kotak obat di laci kabinet bupet dan membersihkan luka itu dengan kapas duduk di sebelah sang suami yang sedang tidak waras. "Izin aku kembali ke sisimu," pinta Faruq sedih. "Aku kesepian selama kau dan ibu pergi."
Sinar yang sedang fokus membubuhi obat merah ke telapak tangan suaminya menyahut, "Serahkan semua aset-asetmu. Ubah kepemilikan rumah, mobil dan asetmu yang lain atas namaku. Serahkan semua gaji bulanan mu padaku biar aku yang mengelola keuangan mu." Dia menaikan matanya dan bersitatap dengan Faruq yang terlihat sedang menelan ludah memikirkan syarat berat yang barusan istrinya katakan. Sinar menurunkan tatapannya dan mengambil kain kasa membalut tangan Faruq hati-hati. Wanita itu menyunggingkan senyum sinis. "Kalau kau tidak sanggup, kau boleh menyerah dan telan keinginanmu kembali karena itu syarat yang harus kau penuhi."
Dia yakin Faruq tidak akan berani. Dia bukan tipe pria yang mau di atur oleh istri yang menurut Faruq tidak lebih baik dari Amara. Dia memang tidak apa-apa nya jika dibandingkan dengan mendingan madunya. Tapi dia juga punya hati yang sama dengan wanita lain, yang akan merasakan sakit kalian disakiti. Jadi dia akan menggunakan syarat yang menjadikan terkesan seperti wanita yang materialistis untuk mengusir Faruq dari hidupnya. "Aku akan mengurusnya." Itu suara Faruq. Sinar tertegun menghentikan gerakannya yang masih melilitkan perban tersebut. "Aku akan mengubah semua kepemilikan asetku atas namamu," sambung Faruq tanpa keraguan. "Aku juga akan menyerahkan semua gaji bulanku padamu. Hingga kau bisa mengaturnya dengan baik."
Sinar bangkit setelah membuat simpul pada ujung kain kasa tersebut. "Aku akan pikirkan. Setelah ini lebih baik ke dokter untuk memeriksa lukamu dan pulanglah, karena aku ingin istirahat." Secepat kilat Sinar masuk dan setengah membanting pintu. Faruq terkekeh. Dia tahu ini strategi Sinar untuk memukulnya mundur tapi dia tidak akan tertipu. Dia akan membalik nama kepemilikan surat-surat berharganya dan akan menyerahkan pada Sinar secepat mungkin. Dia tahu Sinar bukan orang mata duitan, kalaupun dia mengubah kepemilikan aset-asetnya nanti wanitanya pasti bsia menjaganya dengan baik.
Beberapa bulan kemudian ...
Pukul 07.00 WIB.
Sinar muntah-muntah dan Faruq yang masih setengah telanjang mendekati Sinar yang berbalut piyama tidur berjongkok di closet memuntahkan semua makanannya tadi malam.
"Kita ke dokter." Faruq mengusap bekas muntahan itu dengan tisu yang dia ambil dari westafel. Sinar yang pucat, memeluk suaminya menyandarkan kepalanya pada dada sang suami dan mengangguk pelan sembari bergumam menyetujui.
Dia sudah memboyong ibu dan istrinya kembali ke rumah mereka. Dia juga sudah menuruti kemauan Sinar dua setengah bulan yang lalu. Sekarang keuangan dipegang oleh Sinar dan dia tidak memiliki harta apapun karena semua asetnya sudah berpindah ke tangan sang istri. Tapi dia tidak peduli, selama Sinar senang dia akan tetap bahagia. Lagipula Sianr bukan orang borong dan senang berbelanja. Dia lihat dia ingin menjaga harta miliknya saja dan sebagai jaminan baginya agar tidak berselingkuh.
Meski di satu bulan pertama dia masih sulit mendekati istrinya tapi di bulan berikutnya sang istri mulai luluh dan kembali melunak. Mereka juga sudah berhubungan intim kembali dan itu membuatnya semakin bergairah dan bahagia.
-Tamat-
Nama pena : Musim Semi
Umur : 31 tahun
Hoby: Menulis😁
Jenis kelamin . Wanita
0 Comments