Kenanga membolak-balikkan album foto yang ia bawa sebelum meninggalkan rumah yang ditinggali ketika masih berstatus sebagai seorang istri. Sedangkan Arga dan Maga, sudah terlelap dan terbuai mimpi yang indah karena sesekali mereka tersenyum.
Wanita yang mengenakan daster bercorak batik itu pun menarik napas dalam dan mengeluarkan dari mulut ketika melihat foto keluarga yang ada di tangannya. "Kamu tidak kangen anak-anak, Mas?" tanya Kenanga pada foto Bram.
Sudahberhari-hari semenjak mereka tak lagi seatap, Bram sama sekali tidak menelepon anak-anaknya. Setidaknya, kirim lah pesan. Kenanga kerap kebingungan saat kedua bocah kembarnya bertanya "Ke mana Papa, Ma?"
Huuffttt. Nanga tak tahu harus menjawab apa. Ia belum siap memberitahukan bahwa mereka, Papa dan Mama mereka telah bercerai. Tapi, apa yang Arga dan Maga katakan? Cerai? Anak berumur enam tahun, tahu apa tentang perceraian? Kalau pun tahu, bagaimana Nanga akan menjawab kalau anak-anaknya bertanya alasan orangtuanya bercerai? Tidak mungkin, kan, Kenanga menjawab kalau Papa mereka lah yang mengkhianati cintanya, pernikahan, serta anak-anaknya demi seorang wanita yang baru dikenalnya kemarin sore?!
Tok ... tok ... tok ....
Mendengar suara pintu kamarnya diketuk, Kenanga langsung berdiri dan membukanya. "Iya, Bu?" tanya Kenanga dengan pelan karena tak ingi membangunkan anak kembarnya.
"Besok Bapakmu akan pulang. Bapak nyuruh kamu masak yang enak-enak."
"Kenapa, Bu? Tumben. Bapak biasanya kalau makan gak suka yang mewah. Hampir tiap hari makan sayuran seperti seorang pertapa."
"Ibu juga gak tahu. Yasudah, tidur sana lagi. Sudah malam," balas Ibu yang langsung pergi dari hadapan Kenanga. Sementara Kenanga, kembali duduk di kursi dan membuka laci yang berisi dompet.
"Sepertinya aku harus bekerja," batin Kenanga dengan wajah yang datar sambil memandangi lembaran-lembaran uang yang makin berkurang di dompetnya. Tak mungkin, kan, Kenanga bergantung pada Ibu dan Bapaknya? Yang jadi masalah adalah kerja apa? Ia telah berumur. Pengalaman, minim. Koneksi apalagi? Biasanya dia hanya tinggal menggesek ATM milik Bram atau memakai kartu kridit suaminya ketika berbelanja. Kalau tahu pernikahannya akan kandas, Kenanga akan memilih bekerja dan menjadi ibu rah tangga di waktu yang bersamaan.
***
Sekeras apapun Bram berusaha memejamkan mata, tetap saja sulit. Matanya bisa saja tertutup. Tetapi, tidak dengan pikirannya. Hari ini, mantan mertuanya datang menemui dirinya. Dan itu membuat Bram kembali mengingat masa silam.
Saat-saat di mana orangtua Kenanga, terutama Bapaknya menentang hubungan mereka. Bram berjuang mati-matian. Ia berjuang susah payah untuk membuktikan kalau dirinya bukanlah pria kota yang kaya, tampan dan playboy. Dan mampu membahagiakan Kenanga!
Namun, kini? Bahagia kah Kenanga? Menyesalkah Kenanga menikahi dirinya? Toh, nyatanya kini me mereka bercerai. Bram lah mendustai Kenanga. Menelantarkan anak-anaknya. Atau jangan-jangan, Bapak Kenanga memiliki indera ke-enam. Ia tahu bahwa akhirnya akan seperti ini pernikahan putrinya. Dikhianati suaminya. Papa dari anak-anaknya.
"Belum tidur?" suara Angel yang sedang ada di sebelah Bram pun akhirnya terdengar setelah sedari tadi sibuk dengan pemikirannya sendiri. Lebih tepatnya jengkel karena sejak kedatangan Handoko tadi siang, Bram berwajah murung dan mengacuhkan dirinya.
"Hmmm."
"Kapan kamu akan bertemu orangtuaku?" tanya Angel melingkarkan tangannya di perut Bram yang rata.
"Tidak sekarang. Aku akan datang kalau memang sudah tiba waktunya." Bram menjawab malas. Ia baru beberapa hari lalu bercerai dan kini ditanya kapan menikah lagi? Memang, saat status Angel masih sebagai selingkuhan. Bram rasanya ingin menikahi gadis itu secara diam-diam. Tapi, kini? Entah melebur ke mana keinginan itu.
"Iya aku tahu. Tapi, kapan? Aku butuh kepastian karena Mama dan Papa selalu menanyakan kapan pernikahan kita dilangsungkan."
"Kalau waktunya sudah tepat," jawab Bram singkat. Ia sedang bingung dengan perasaannya sendiri. Saat menikah dulu, bertemu dan bercinta dengan Angel sungguh sesuatu yang meyenangkan. Menggairahkan. Tapi kini? Semuanya terasa hambar dan Angel begitu membosankan karena sering uring-uringan. Tidak semanis dulu dan manjanya yang menggemaskan, pudar begitu saja.
"Kamu menyesal telah menceraikan istrimu?"
Bram tidak menjawab. Benarkah ia menyesal dan kini ia merasakan sesak yang teramat sangat di dadanya. Ia rindu di kembar. Rindu keluarganya. Rindu Kenanga ... tapi, pantaskah ia merindukan mantan istrinya? Perempuan yang dengan tulus mencintainya namun disia-siakan.
***
Handoko sedang mengamati di dalam helikopter pribadi milik Saga. Barunkali ini dia tahu rasanya naik helikopter. Ternyata, besar dah mewah. Serba kinclong!
"Dimakan, Om," tawar Saga yang menyodorkan kue di hadapan Handoko.
"Halah ... kok repot-repot. Biasanya Om makan singkong rebus dan singkong bakar! Hahaha. Namanya juga orang kampung."
"Sesekali, Om. Sebentar lagi kita akan mendarat."
"Om Ndak nyangka sekarang kamu jadi ganteng dan sukses."
"Maksud Om, dulu Saga jelek?"
Handoko mulai memotong kue dengan garpu kecil. Manis. Rasa coklat. Dia jadi ingat cucu-cucunya. Mereka pasti suka. "Ya ... dulu kan kamu kurus. Gak kayak sekarang. Gede!"
"Hahaha. Bisa saja, Om. Tapi sayangnya, gak ada yang mau sama Saga, Om."
Gak ada yang mau? Ah, masak? Handoko mengamati lelaki yang berpakaian necis di depannya. Hanya gadis buta kalau sampai tak tertarik dengan pemuda itu. Tampan, gagah, kaya, baik hati, lagi! Kalau saja anaknya masih perawan, Handoko pasti akan menyodorkan putrinya. Sayangnya ... kenanga kini hanyalah seorang janda. Mana mungkin Saga mau padanya? Melirik saja itu hal mustahil.
*Bersambung
2 Comments
duuuh mau deh stok om Saga satu aja thor buat aku, eh anakku ding...
ReplyDeletehahahhaaa
kak, aku mau izin bacain kisah ini ke cenel yt Toni FS, Bolehkah? sumber blog dan penulis akan sy sertakan.
ReplyDelete